Categories: Ekonomi

Pandemi Covid-19, Petani Garam di Les Tejakula Pilih Tetap Bertahan

SINGARAJA – Para petani garam di Desa Les, Kecamatan Tejakula, tetap bertahan di masa pandemi covid-19. Para petani juga tetap bertahan dengan cara tradisional.

Sayangnya jumlah petani garam tradisional di Desa Les kini tak banyak lagi. Sebagian besar sudah berusia sepuh.

Salah satu warga yang masih menjalani hidup sebagai petani garam ialah Nengah Malik Karsa. Pria yang tinggal di Banjar Tegallinggah, Desa Les ini sudah menjadi petani garam sejak tahun 1976 silam.

Sejak dulu hingga kini ia masih melakukan proses bertani garam secara tradisional. “Kalau saya sudah dari pas gempa Seririt (tahun 1976) sudah mulai jadi petani garam. Sampai sekarang masih seperti ini,” katanya.

Setiap pagi dan sore ia mendatangi Pantai Ponjok Ati di sisi utara Desa Les. Setiap tiga atau empat hari, ia akan melakukan panen garam.

Hasilnya cukup dijual di pasar desa. Meski hasilnya tak seberapa, hasil itu sudah cukup baginya. Karsa menuturkan, proses pembuatan garam harus dimulai dari mematangkan lahan.

Selama sepekan, ia harus menyiapkan lahan untuk membuat garam. Setelah lahan siap, ia mengangkut air laut menggunakan alat yang disebut sene. Air laut kemudian disiramkan ke lahan  tersebut.

Setelah tuntas menyiram lahan, tanah langsung digemburkan. Proses ini disebut dengan mangkrak. Proses ini dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pada pagi dan sore hari.

Selanjutnya bila tanah sudah kering, maka tanah diangkat ke palung penampungan yang disebut tinjung. Setelah tanah dipadatkan, tinjung kembali disiram dengan air laut.

“Fungsinya menyaring air laut yang mau dijemur. Nanti tunggu tiga hari, kalau terang, sudah bisa panen. Tapi kalau mendung, bisa empat hari, malah bisa lebih lama,” katanya.

Dalam sekali panen, biasanya Karsa mendapat hasil maksimal sebanyak 50 kilogram. Garam itu kemudian dibawa ke pasar tradisional di pusat Desa Les.

Untuk satu kilogram garam, biasanya dijual dengan harga Rp 5.000. Sehingga dalam sekali panen, paling banyak ia mendapat uang sebesar Rp 250ribu.

Hingga kini masih ada 23 orang pedagang yang menggeluti profesi sebagai petani garam. Karena hasil panen yang terbatas,

produk garam dari Desa Les hanya bisa ditemukan di luar desa. Hasil panen belum mencukupi jika harus dijual ke luar desa. 

Donny Tabelak

Share
Published by
Donny Tabelak

Recent Posts

Rapor Merah Mees Hilgers Bersama Timnas Indonesia, Rizky Ridho dan Justin Hubner Siap Mengkudeta

Timnas Indonesia harus menerima kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam laga lanjutan Grup C Kualifikasi…

8 bulan ago

Menolak Menyerah, PSSI: Kesempatan Timnas Indonesia Kejar 15 Poin Masih Ada

Target 15 poin masih dibebankan oleh PSSI kepada Timnas Indonesia untuk lolos dari putaran ketiga…

1 tahun ago

SW House, Rumah Berkonsep Tropis Match dengan Warna Earthy yang Klasik

kawasan Menteng, Jakarta Pusat, SW House berdiri kokoh dengan segala keanggunannya.

2 tahun ago

Hasil Quick Count Pemilu 2024 Bisa Segera Dilihat, Ini Lembaga Survei Resmi yang Menyiarkan

Sejumlah lembaga survei bakal menggelar penghitungan cepat atau quick count Pemilu 2024

2 tahun ago

5 Cara Membersihkan Meja Granit Agar Permukaannya Tetap Mengkilap Sepanjang Hari

Granit merupakan bahan bangunan dari campuran white clay, kaolin, silika, dolomite, talc, dan feldspar yang…

2 tahun ago

Hengkang dari Koalisi Perubahan, AHY Akan Kumpulkan Seluruh Kader Demokrat Besok

Partai Demokrat secara tegas telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) serta menarik…

2 tahun ago