Categories: Nasional

Sopir Pribadi Dicoret Jadi Pecalang Karena Tak Satu Jalur, Disel…

DENPASAR – Seorang pecalang Made Sutama asal Banjar Angas Sari Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dicoret karena tidak mendukung paslon Koster – Cok Ace.

Sutama selain menjadi pecalang juga menjadi sopir pribadi anggota DPRD Bali dari Fraksi PDIP Disel Astawa.

Disel Astawa saat dikonfirmasi membenarkan Sutama memang dicoret sebagai pecalang hanya karena berbeda jalur politik.

Disel Astawa mengaku tidak pernah berdiskusi soal politik apalagi memaksa Sutama untuk memilih pilihan yang sama dengan dirinya.

Disel menyebut urusan politik berbeda dengan urusan pekerjaan. Untuk pilihan politik, dirinya tidak ikut campur sekalipun berbeda dalam pilihan.

“Saya tanya Sutama. Apakah Sutama memilih Mantra-Kerta hanya karena saya sebagai majikannya memilih Mantra-Kerta.

Kalau itu yang terjadi saya akan minta dia untuk mengikuti arahan di banjarnya. Sutama mengaku jika dirinya memilih Mantra-Kerta karena pilihannya sendiri dan tidak ada paksaan dari siapa pun.

Kalau pun Sutama memilih pasangan lain, saya tidak masalah dan tidak mungkin saya pecat Sutama sebagai sopir. Pekerjaan itu berbeda dengan pilihan politik. Inilah demokrasi yang sebenarnya,” ujar Disel.

Menurutnya, tidak ada hubungan sama sekali antara keanggotaan sebagai pecalang dengan pilihan politik.

“Pecalang itu benar-benar pengabdian total kepada desanya, kepada banjarnya secara adat. Apa hubungan dengan memecat orang sebagai pecalang dengan pilihan politik.

Seharusnya, siapa pun menjadi gubernur, pengabdian warga Bali kepada adat dan budaya tidak boleh diutak- atik,” ujarnya.

Janji politik melalui bansos dan hibah, terang Disel, sudah merusak tatanan budaya masyarakat Bali di tingkat yang paling bawah.

Disel menilai, dalam Pilgub kali ini tekanan dan intimidasi sungguh luar biasa terjadi di tingkat desa dan banjar.

Khusus  di Kabupaten Badung, seluruh desa telah dijanjikan hibah dan bansos dengan syarat harus memenangkan Koster-Ace.

Bila tidak, maka bansos di desa yang bersangkutan tidak akan dicairkan. “Ini pemaksaan luar biasa. Masyarakat ditekan, diintimidasi.

Padahal hibah atau bansos itu bukan uang pribadi sang bupati, tetapi uang rakyat, dari APBD. Kewajiban pemerintah untuk membangun berbagai infrastruktur masyarakat seperi pura, wantilan, jalan desa dan sebagainya,” ujarnya.

Kontrak politik seperti ini merusak tatanan hidup sosial dan budaya masyarakat Bali. Perpecahan di tingkat bawah tinggi, demokrasi dan pendidikan politik tidak berjalan.

“Adat dan budaya Bali jangan ditarik ke politik. Kalau pun menang, gubernurnya milik rakyat, bukan milik kelompok tertentu,” sesalnya. 

Donny Tabelak

Share
Published by
Donny Tabelak

Recent Posts

Rapor Merah Mees Hilgers Bersama Timnas Indonesia, Rizky Ridho dan Justin Hubner Siap Mengkudeta

Timnas Indonesia harus menerima kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam laga lanjutan Grup C Kualifikasi…

8 bulan ago

Menolak Menyerah, PSSI: Kesempatan Timnas Indonesia Kejar 15 Poin Masih Ada

Target 15 poin masih dibebankan oleh PSSI kepada Timnas Indonesia untuk lolos dari putaran ketiga…

1 tahun ago

SW House, Rumah Berkonsep Tropis Match dengan Warna Earthy yang Klasik

kawasan Menteng, Jakarta Pusat, SW House berdiri kokoh dengan segala keanggunannya.

2 tahun ago

Hasil Quick Count Pemilu 2024 Bisa Segera Dilihat, Ini Lembaga Survei Resmi yang Menyiarkan

Sejumlah lembaga survei bakal menggelar penghitungan cepat atau quick count Pemilu 2024

2 tahun ago

5 Cara Membersihkan Meja Granit Agar Permukaannya Tetap Mengkilap Sepanjang Hari

Granit merupakan bahan bangunan dari campuran white clay, kaolin, silika, dolomite, talc, dan feldspar yang…

2 tahun ago

Hengkang dari Koalisi Perubahan, AHY Akan Kumpulkan Seluruh Kader Demokrat Besok

Partai Demokrat secara tegas telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) serta menarik…

2 tahun ago