Categories: Nasional

Bea Caravan

Sesekali. Sebelum melanjutkan Riau 1 saya memuji Trump. Dengan ide barunya: mengenakan bea masuk barang Meksiko. Yang tidak ada hubungannya dengan perang dagang.

Lewat senjata ampuh tweetnya, Trump mengancam Meksiko: kalau tidak bisa mencegah imigran masuk Amerika hukuman dijatuhkan. Barang Meksiko yang dikirim ke Amerika dikenakan bea masuk. Bulan pertama 5 persen. Kalau bulan kedua masih ada imigran dinaikkan lagi 5 persen. Begitu terus. Tiap bulan. Lima bulan lagi, Oktober, menjadi 25 persen.

Kalau bea masuk sudah mencapai 25 persen matilah Meksiko. Yang ekonominya tidak sekuat Tiongkok. Yang ketergantungannya pada Amerika nyaris mutlak. Kalau kena bea masuk 25 persen ekspor Meksiko macet total. Pabrik-pabrik di Meksiko tutup. 

Ini memang ide gila. Bagi kebanyakan orang. Atau ide normal. Bagi Trump. Atau bertanyalah pada psikiater: apakah orang gila itu justru menganggap orang waras yang gila?

Trump kelihatannya memang memenuhi syarat saya. Yang sering saya nasihatkan kepada orang waras: jangan melawan tiga jenis orang berikut ini.

Pertama, orang kaya. Ia akan banyak menangnya.

Kedua, orang yang punya kuasa. Ia akan banyak menangnya.

Ketiga, orang gila. Ia akan banyak menangnya.

Bayangkan kalau orang kaya itu juga punya kuasa dan apalagi juga lagi gila. Habislah. Ide yang lebih ruwet dari Riau 1 pun akan bisa ditemukan.

Tidak akan terpikirkan oleh siapa pun. Soal imigrasi dikaitkan dengan bea masuk. Tidak ada di pelajaran ilmu ekonomi. Pun di tingkat doktoral. 

Tapi terbukti. Ancaman Trump itu efektif. Meksiko langsung bertekuk lutut. Pejabat tingginya langsung ke Washington. Ngemis kelonggaran.

Tapi Trump tetap Trump. Ia tetap kenakan tarif 5 persen itu. Dan tetap akan terus ia naikkan. Trump tidak perlu orang nangis. Trump ingin lihat kenyataan di lapangan.

Kalau Meksiko sudah berbuat maksimal bea masuk itu akan dicabut. Kembali pada kewarasan: perjanjian free trade seluruh Amerika Utara berlaku lagi. Tanpa bea masuk sama sekali. 

Kemarin Meksiko mulai keras kepada imigran. Yang mencoba ke Amerika lewat negerinya. Benar-benar dihadang di perbatasannya. Di selatan. Di garis antara Meksiko dan Guatemala. Dekat kota Tapachula.

Yang bikin pusing Trump memang bukan hanya imigran dari Meksiko. Juga dari Guatemala. Bahkan dari Honduras, selatannya Guatemala.

Secara politik Trump pernah dipermalukan. Saat ribuan orang Honduras konvoi berjalan kaki menuju Amerika. Melewati Guatemala dan Meksiko.

Trump dianggap tidak manusiawi. Menghadang dengan keras. Tidak mau menerima mereka. Sampai mereka terlantar di perbatasan. Banyak yang kekurangan pangan. Atau meninggal. 

Trump pun jadi sasaran. Digebuki di mana-mana. Trump memang lagi sensi soal imigran. Lantaran anggaran tembok perbatasannya tidak disetujui DPR-nya.

Konvoi tahun lalu itu memang jadi berita dunia. Sangat dramatik. Ribuan orang jalan kaki sejauh lebih 3000 km. Saat masuk Guatemala mereka diloloskan. Alasannya: kemanusiaan. Dan toh hanya numpang lewat.

Saat memasuki Meksiko juga sama. Kemanusiaan. Dan hanya numpang lewat. Tiap hari mereka berjalan sejauh 30 km. Sebagian ada yang cari nunutan truk. Jarak pendek. Ganti-ganti nunutan. Wanita dan anak-anak. 

Guatemala memang miskin. Penduduknya 20 juta. Negara itu kecil. Di leher benua. Seperti hanya selebar kain. Yang menghubungkan Amerika Utara dan Amerika Latin.

Tanahnya pun bergunung-gunung. Gunung berapi pula. Terutama di wilayah baratnya. Yang menghadap ke lautan Pasifik. 

Negara sekecil itu punya 30 gunung berapi. Pun sangat tinggi-tinggi. Yang melebihi 3.500 meter ada tujuh. Yang tiga lagi melebihi 4.000 meter.

Pendapatan perkapitanya mirip kita: USD 4.000. Tapi indeks GNI (gross national income)-nya 4,3. Kaya-miskinnya sangat timpang. Andalannya kopi. Kopi Guatemala. Perkebunan. Di mana-mana perkebunan lebih banyak menghasilkan ketimpangan.

Honduras lebih miskin lagi. Pendapatan perkapitanya hanya USD 2.800. Timpangnya juga luar biasa. Kriminalitas tinggi. Preman dan geng merajalela.

Mereka mimpi Amerika.

Penduduk Honduras hanya 10 juta. Tapi yang sudah tinggal di Amerika 3 juta. Lebih separonya pendatang gelap. Mereka inilah yang terus memberi kabar: hidup di Amerika lebih enak. Biar pun harus sembunyi-sembunyi.

Mimpi Amerika terus seperti mimpi surga.

Honduras juga mengandalkan perkebunan: kopi dan tebu. Tapi produksi premannya lebih menonjol.

Negara-negara di bentangan kain Amerika Tengah ini bisa jadi bahan kampanye Hizbut Tahrir: lihatlah mereka. Sudah sejak tahun 1820-an merdeka. Dan sejak itu sudah menggunakan sistem demokrasi. Toh tidak berhasil. 

Di sana demokrasinya tua. Sangat tua. Tapi kemiskinannya membuat sembako lebih menarik. Dibanding selembar kartu suara.

Kemiskinan kadang menyenangkan. Di sana. Bagi pedagang suara. Di sana. Yang ingin menghasilkan pemimpin sekelas sembako. Di sana.(Dahlan Iskan)

Donny Tabelak

Share
Published by
Donny Tabelak

Recent Posts

Rapor Merah Mees Hilgers Bersama Timnas Indonesia, Rizky Ridho dan Justin Hubner Siap Mengkudeta

Timnas Indonesia harus menerima kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam laga lanjutan Grup C Kualifikasi…

8 bulan ago

Menolak Menyerah, PSSI: Kesempatan Timnas Indonesia Kejar 15 Poin Masih Ada

Target 15 poin masih dibebankan oleh PSSI kepada Timnas Indonesia untuk lolos dari putaran ketiga…

1 tahun ago

SW House, Rumah Berkonsep Tropis Match dengan Warna Earthy yang Klasik

kawasan Menteng, Jakarta Pusat, SW House berdiri kokoh dengan segala keanggunannya.

2 tahun ago

Hasil Quick Count Pemilu 2024 Bisa Segera Dilihat, Ini Lembaga Survei Resmi yang Menyiarkan

Sejumlah lembaga survei bakal menggelar penghitungan cepat atau quick count Pemilu 2024

2 tahun ago

5 Cara Membersihkan Meja Granit Agar Permukaannya Tetap Mengkilap Sepanjang Hari

Granit merupakan bahan bangunan dari campuran white clay, kaolin, silika, dolomite, talc, dan feldspar yang…

2 tahun ago

Hengkang dari Koalisi Perubahan, AHY Akan Kumpulkan Seluruh Kader Demokrat Besok

Partai Demokrat secara tegas telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) serta menarik…

2 tahun ago