Categories: Travelling

Ini Keunikan Megebeg-gebegan dan Meprutput, Tradisi Unik saat Nyepi

SINGARAJA – Ragam tradisi unik saat Nyepi menjadi kekayaan budaya masyarakat Bali. Tak luput dengan masyarakat adat Buleleng.

Tradisi itu biasanya dilakukan pada hari pengrupukan, hingga saat ngembak geni. Saat pengrupukan, Banjar Adat Pakraman Paketan

di Desa Pakraman Buleleng punya tradisi ngoncang, sedangkan Desa Pakraman Bengkala punya tradisi mejuk-jukan.

Desa Pakraman Dharmajati, Desa Tukadmungga juga punya tradisi tersendiri, yakni megebeg-gebegan. Tradisi ini akan dilangsungkan di simpang empat desa, dekat Kantor Perbekel Tukadmungga, setiap pengrupukan.

Biasanya tradisi ini dilangsungkan pada pukul 18.00 sore, seusai persembahyangan di Pura Desa Pakraman Dharmajati.

Tradisi diawali dengan rangkaian ritual. Seekor godel (anak sapi, Red) yang dijadikan sarana caru, dikuliti hingga tersisa bagian kepala, keempat kaki, serta ekornya.

Begitu banten boleh di-lungsur, para truna langsung menerjang merebut godel itu. Akhirnya terjadi peristiwa megebeg-gebegan, atau saling rebut, hingga salah satu kelompok pemuda berhasil mendapatkan kepala sapi.

“Dalam tradisi ini hanya ada kegembiraan, kebersamaan, dan kekompakan warga, terutama kalangan pemuda,” kata Kelian Desa Pakraman Dharmajati, Ketut Wicana.

Tradisi unik juga terjadi di Desa Pakraman Padangbulia. Di sana ada tradisi meprutput yang juga digelar saat pengrupukan.

Para pria, dengan mengenakan kain poleng dan bertelanjang dada, akan berkumpul di jalan. Mereka lantas menyalakan api pada daun kelapa kering.

Api yang telah menyala itu langsung dipukulkan ke pria lainnya. Suasananya pun mirip dengan perang api.

Kelian Desa Pakraman Padangbulia, Gusti Kopang Suparta mengungkapkan, tradisi itu bermakna menghilangkan amarah.

“Kalau orang tua dulu bilang, emosi itu seperti aprakpak danyuh, seperti bara api pada daun kelapa kering,” kata Suparta. Maka api emosi itu pun harus dipadamkan.

Dulunya, tradisi itu dilaksanakan secara spontan usai krama melaksanakan pecaruan di rumah masing-masing.

Usai melakukan pecaruan, daun kelapa kering yang tersisa digunakan sebagai sarana perang api. “Kalau dulu habis mebuu-buu,

sisanya langsung dipakai. Sekarang sudah berkembang jadi tradisi dan belum pernah ada yang terluka,” kata Suparta. 

Donny Tabelak

Share
Published by
Donny Tabelak

Recent Posts

Rapor Merah Mees Hilgers Bersama Timnas Indonesia, Rizky Ridho dan Justin Hubner Siap Mengkudeta

Timnas Indonesia harus menerima kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam laga lanjutan Grup C Kualifikasi…

8 bulan ago

Menolak Menyerah, PSSI: Kesempatan Timnas Indonesia Kejar 15 Poin Masih Ada

Target 15 poin masih dibebankan oleh PSSI kepada Timnas Indonesia untuk lolos dari putaran ketiga…

1 tahun ago

SW House, Rumah Berkonsep Tropis Match dengan Warna Earthy yang Klasik

kawasan Menteng, Jakarta Pusat, SW House berdiri kokoh dengan segala keanggunannya.

2 tahun ago

Hasil Quick Count Pemilu 2024 Bisa Segera Dilihat, Ini Lembaga Survei Resmi yang Menyiarkan

Sejumlah lembaga survei bakal menggelar penghitungan cepat atau quick count Pemilu 2024

2 tahun ago

5 Cara Membersihkan Meja Granit Agar Permukaannya Tetap Mengkilap Sepanjang Hari

Granit merupakan bahan bangunan dari campuran white clay, kaolin, silika, dolomite, talc, dan feldspar yang…

2 tahun ago

Hengkang dari Koalisi Perubahan, AHY Akan Kumpulkan Seluruh Kader Demokrat Besok

Partai Demokrat secara tegas telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) serta menarik…

2 tahun ago