Categories: Nasional

Sambut Pekerja Migran, Sekaa Truna di Buleleng Pasang Baliho Jumbo

SINGARAJA – Ada cara menarik yang dilakukan para truna di Desa Adat Beratan Samayaji. Mereka menyambut para pekerja migran, dengan memasang baliho berukuran jumbo di tapal batas desa.

Uniknya lagi, bahasa yang digunakan dalam baliho menggunakan dialek khas Buleleng. Baliho berukuran 4x6meter itu dipasang di tepi Jalan Raya Singaraja-Denpasar.

Tepatnya di sebelah utara RTH Bung Karno. Baliho itu bertuliskan “Semangat PMI. Ake sing ngidih parfum, sing ngidih baju luar negeri. Ane ake idih cai apang seger lan rahayu nah”.

Baliho itu terlihat mencolok karena menggunakan latar berwarna merah. Baliho sengaja dipasang di sana, karena menjadi lokasi perlintasan bus yang menjemput para pekerja migran dari lokasi karantina di Denpasar.

Ide membuat baliho itu muncul secara mendadak. Di tengah pandemi covid-19 ini, kepulangan para pekerja migran tak disambut antusias seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dulunya para pekerja migran ini selalu disambut dengan kegembiraan. Namun kini mereka harus menjalani karantina terlebih dulu, agar yakin tidak ada virus SARS-CoV-2 yang menjangkiti mereka.

Kelian Sekaa Truna Malong Pandya Wisesa, Made Dwi Pande Wahyuda mengatakan, ide pembuatan itu muncul saat para anggota sekaa truna berbincang-bincang tentang nasib para pekerja migran.

Sebab para pekerja migran kini terpaksa dirumahkan oleh perusahaannya, karena anjloknya bisnis di sektor pariwisata.

Saat pulang pun, mereka masih dicurigai sebagai carrier virus yang memicu penyakit covid-19. “Banyak anggota kami yang punya keluarga sebagai pekerja migran.

Hati kami juga tersentuh ketika banyak ujaran-ujaran yang mengesankan bahwa pekerja migran itu sebagai pembawa virus. Sehingga kami memutuskan membuat dan memasang baliho ini,

sebagai bentuk dukungan moral pada pekerja migran, utamanya yang berasal dari desa kami,” kata pria yang akrab disapa Ole itu.

Lebih lanjut Ole mengatakan, di internal sekaa truna sendiri ada enam orang anggotanya yang merantau serta menggantungkan hidupnya sebagai pekerja migran.

Beruntung krama di desa adat setempat memiliki prinsip magetih abungbung yang notabene berarti seluruh warga memiliki ikatan keluarga besar. Sehingga tak ada seorang pun yang mengucilkan para pekerja migran.

Sementara terkait penggunaan kata, Ole mengaku sengaja memilih dialektika khas Buleleng. Sebab kata-kata tersebut di kalangan masyarakat Buleleng, merupakan kata sehari-hari yang biasa digunakan saat bergaul.

“Kata seperti ake, cai, itu kan sebenarnya bahasa khas buleleng. Bahasa sehari-hari di Buleleng. Mungkin orang luar Buleleng menganggapnya nyeleneh. Tapi bagi kami, itu semacam keakraban dan ketulusan,” imbuhnya. 

Donny Tabelak

Share
Published by
Donny Tabelak

Recent Posts

Rapor Merah Mees Hilgers Bersama Timnas Indonesia, Rizky Ridho dan Justin Hubner Siap Mengkudeta

Timnas Indonesia harus menerima kekalahan telak 1-5 dari Australia dalam laga lanjutan Grup C Kualifikasi…

8 bulan ago

Menolak Menyerah, PSSI: Kesempatan Timnas Indonesia Kejar 15 Poin Masih Ada

Target 15 poin masih dibebankan oleh PSSI kepada Timnas Indonesia untuk lolos dari putaran ketiga…

1 tahun ago

SW House, Rumah Berkonsep Tropis Match dengan Warna Earthy yang Klasik

kawasan Menteng, Jakarta Pusat, SW House berdiri kokoh dengan segala keanggunannya.

2 tahun ago

Hasil Quick Count Pemilu 2024 Bisa Segera Dilihat, Ini Lembaga Survei Resmi yang Menyiarkan

Sejumlah lembaga survei bakal menggelar penghitungan cepat atau quick count Pemilu 2024

2 tahun ago

5 Cara Membersihkan Meja Granit Agar Permukaannya Tetap Mengkilap Sepanjang Hari

Granit merupakan bahan bangunan dari campuran white clay, kaolin, silika, dolomite, talc, dan feldspar yang…

2 tahun ago

Hengkang dari Koalisi Perubahan, AHY Akan Kumpulkan Seluruh Kader Demokrat Besok

Partai Demokrat secara tegas telah menyatakan keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) serta menarik…

2 tahun ago