JEMBRANA – Masyarakat Bali pernah bangga memiliki figur seorang Jero Wacik. Politikus, dosen, dan pengusaha kelahiran Singaraja, 24 April 1949 itu pernah menjabat sederet posisi prestisius.
Antara lain Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, kepercayaan masyarakat Bali seketika berubah jadi cacian lantaran peraih suara 104.682 pada Pileg 2014 itu terbukti korupsi.
Aib serupa juga ditorehkan kader Demokrat Bali, I Putu “Leong” Sudiartana. Eks DPR RI peraih 73.348 suara itu terjaring OTT KPK karena kasus suap-menyuap.
Tak hanya duo Demokrat, Jero Wacik dan Leong. Hati masyarakat Bali juga pernah dicabik-cabik akibat ulah I Nengah Arnawa (mantan Bupati Bangli), I Wayan Candra (mantan Bupati Klungkung), Putu Bagiada (mantan Bupati Buleleng).
Khusus masyarakat Jembrana, kasus yang menimpa Prof. Dr. drg. I Gede Winasa tentunya masih sangat lekat hingga saat ini.
Politisi yang meraih kursi bupati lewat kendaraan PDI Perjuangan itu dibui karena korupsi. Mirisnya, Mahkamah Agung (MA) memperbolehkan mereka mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di Pemilu 2019 bila telah keluar dari bui.
Syukurnya, peluang itu tak digunakan oleh Arnawa dan Bagiada yang kini sudah menghirup udara bebas. Nama keduanya tak masuk dalam deretan 207 nama calon legislatif (caleg) bekas koruptor yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.
Meski demikian, masyarakat Bali harus tetap waspada lantaran sederet nama politisi yang akrab dengan dugaan kasus korupsi siap kembali bertarung.
Merespons masa kelam perpolitikan Bali ini, politisi Partai NasDem, Bagus Eka Subagiartha, mengatakan masyarakat hati-hati menentukan pilihan pada 17 April 2019 mendatang.
Caleg DPRD Bali Dapil Jembrana nomor urut 2 yang merupakan tim pemenangan Jokowi tahun 2014 dan 2018 itu tak ingin masyarakat tertipu untuk kesekian kalinya.
“Seorang caleg di samping punya kemampuan konsep, ide, atau pokok pikiran juga harus dilihat kepantasan dan etika moralnya. Tidak mungkin kita memilih maling untuk mewakili aspirasi kita kan?” tandasnya, Jumat (26/10) siang.
Selain patut digugu dan ditiru, Bagus Eka menyebut wakil rakyat juga harus siap jadi babu untuk daerah yang diwakilinya. Dengan kata lain, benar-benar harus menuntaskan masalah yang ada.
“Jangan ketika sudah terpilih lalu sok-sokan dan tidak membangun. Minimal wajib mengurangi jumlah pengangguran di tempatnya terpilih,” ungkapnya.
Sayangnya, Bagus Eka menilai masyarakat pemilih saat ini relatif pragmatis sehingga berpeluang bisa “dibeli” oleh oknum-oknum tertentu yang menghalalkan segala cara agar duduk sebagai wakil rakyat.
“Idealnya masyarakat memilih wakil rakyat yang bijak, cerdas, bernalar, dan memiliki hati nurani. Saya tidak mengatakan sayalah yang terbaik,
namun minimal saya masih memiliki rasa malu bila terpilih dan tidak melakukan apa-apa untuk Jembrana,” tegasnya.
Kepada Jawa Pos Radar Bali, Bagus Eka mengaku punya kemaluan (rasa malu, red) yang besar bila mengkhianati amanat rakyat.
“Masyarakat Bali harus melek dan sadar pernah memilih seorang bandar narkoba duduk sebagai wakil rakyat di kursi DPRD Bali. Ini menjadi aib yang dibicarakan tak hanya di Indonesia,
melainkan juga di luar negeri. Itu sudah lewat, tapi patut jadi pelajaran. Sampai kapan kita akan main-main memilih wakil rakyat?,” tanyanya.
Meski MA memutuskan bandar narkoba, eks koruptor, dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak boleh nyaleg, Bendahara DPW NasDem Bali itu yakin dan percaya masyarakat Bali,
khususnya Jembrana masih bisa berpikir bijak, logis, dan realistis dalam menentukan pilihan pada April 2019 mendatang. (rba)