25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:46 AM WIB

Ramia Adnyana, dari Bell Boy Menuju DPRD Bali

AMLAPURA – Nasib seseorang tak bisa ditebak. Ibarat roda yang berputar, mereka yang saat ini berada di atas seketika bisa terjungkal ke bawah. Demikian juga sebaliknya.

Kondisi inilah yang dialami I Made Ramia Adnyana, SE,MM,CHA. Merangkak dari seorang bell boy, kini pria asal Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem itu menjabat General Manager (GM) Hotel Sovereign, Kuta.

Posisi “nyaman” ini tak lantas membuatnya diam. Ramia Adnyana memutuskan terjun ke panggung politik. Alasannya cuma satu. Hendak “berbuat” lebih bagi tanah kelahirannya, Karangasem.

“Saya sebagai putra Karangasem bersyukur karena dibentuk oleh alam sehingga bisa memacu diri untuk sukses di bidang yang saya geluti.

Setelah sukses saya terpanggil untuk berbuat lebih banyak untuk daerah saya sendiri,” ucap caleg DPRD Bali dapil Karangasem nomor urut 3 dari PDI Perjuangan itu.

Masyarakat Karangasem, tandas Ramia Adnyana tidak perlu menyesal. Sebaliknya, melihat segala keterbatasan itu sebagai sebuah peluang.

“Karangasem memiliki potensi luar biasa. Memiliki bentangan laut terpanjang setelah Buleleng. Ini adalah potensi yang bisa dikembangkan,” tegasnya.

Lahar letusan Gunung Agung, sambungnya, juga memberi kontribusi luar pada pendapatan asli daerah (PAD).

Bentang alam Karangasem, terang Wakil Ketua Umum 1 DPP IHGMA (Indonesian Hotel General Manager Association), secara alamiah menumbuhkan ciri khas pada sektor ekonomi kreatif.

Contoh nyatanya tampak pada produk anyaman ata yang telah merambah pasar ekspor Eropa.

Jelasnya, kerajinan anyaman ata ini dikenal pertama kali di Dusun Gumung, Tenganan Manggis dalam bentuk perisai yang

digunakan dalam tradisi Megeret Pandan, yakni atraksi sakral yang digelar setahun sekali terkait prosesi Upacara Aci Sambah.

Seiring waktu, sarana perang-perangan yang dimainkan dua pemuda ini antara lain berkembang menjadi bentuk lain berupa tas, kotak, bokor, gentong, tempat tisu yang digemari wisatawan.

Ramia Adnyana juga “mencium” potensi luar biasa pada cita rasa arak api khas Karangasem. Selain sebagai sarana upacara atau ritual dalam tradisi masyarakat Hindu,

bila dikemas dengan ciamik arak api ini berpeluang tembus pasar ekspor layaknya brem Dewi Sri yang diproduksi sejak 1967 dan dipasarkan hingga Jepang, Australia, dan Eropa.

“Tata kelola minuman keras, khususnya arak harus segera diatur. Selama ini kendalanya ada di perizinan terkait produksinya. Ke depan, potensi ini wajib disikapi serius Pemkab Karangasem dan Pemprov Bali,” terangnya.

Puluhan tahun bergelut di sektor pariwisata dirinya mengaku tidak sedikit turis mancanegara yang mengagumi kualitas minuman beralkohol khas Bali tersebut.

Menariknya, Ramia Adnyana memastikan arak Bali yang dibuat dari dua jenis bahan, yakni sadapan bunga kelapa atau air nira (terlebih dulu difermentasi menjadi tuak sebelum akhirnya disuling sekitar 4 jam, red) itu aman dikonsumsi.

Tidak pernah ditemukan ada kasus orang keracunan setelah minum arak bali tradisional. Buktinya dalam hajatan pernikahan maupun kematian mereka yang mengonsumsi arak bali hingga muntah-muntah pun akan kembali sehat keesokan harinya.

Kasus keracunan terjadi bila arak dioplos dengan bahan-bahan lain di tingkat penjual demi meraih keuntungan yang lebih besar.

 

“Ini penting untuk kebutuhan pariwisata di Bali. Tentunya dengan pengelolaan dan regulasi yang ketat. Daripada kita ngimpor produk-produk minuman beralkohol dari luar.

Ini kan mubazir. Kenapa produk kita sendiri yang memiliki potensi luar biasa justru tidak dipakai,” ungkapnya.

Ramia Adnyana menegaskan produksi arak Bali merupakan salah satu industri kreatif tradisional warisan leluhur.

“Arak Bali sangat bisa diterima di pasar luar negeri. Buktinya Arak Attack, campuran arak Bali dan Sprite, sangat digemari turis Australia dan Eropa,” tandasnya sembari optimis arak bisa dikemas menjadi minuman berkelas setara dengan Whisky.

“Bergantung proses distilasi (pencampuran, red) yang dilakukan oleh para petani arak kita,” tegasnya sembari menyebut sudah saatnya arak menjadi tuan rumah di tanah sendiri layaknya sake di Jepang.

Disinggung soal keputusan “melamar” posisi sebagai wakil rakyat yang gajinya jauh lebih kecil dibanding jabatan GM, Ramia Adnyana tersenyum.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, pria yang kini menempuh studi doktor (S3) pariwisata di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana itu mengaku

ingin ngayah dan mengabdi kepada Karangasem sekaligus memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap politisi. “Saya benar-benar ingin ngayah,” tutup Chairman Indonesia Tourism Outlook (ITO) itu. (rba)

AMLAPURA – Nasib seseorang tak bisa ditebak. Ibarat roda yang berputar, mereka yang saat ini berada di atas seketika bisa terjungkal ke bawah. Demikian juga sebaliknya.

Kondisi inilah yang dialami I Made Ramia Adnyana, SE,MM,CHA. Merangkak dari seorang bell boy, kini pria asal Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem itu menjabat General Manager (GM) Hotel Sovereign, Kuta.

Posisi “nyaman” ini tak lantas membuatnya diam. Ramia Adnyana memutuskan terjun ke panggung politik. Alasannya cuma satu. Hendak “berbuat” lebih bagi tanah kelahirannya, Karangasem.

“Saya sebagai putra Karangasem bersyukur karena dibentuk oleh alam sehingga bisa memacu diri untuk sukses di bidang yang saya geluti.

Setelah sukses saya terpanggil untuk berbuat lebih banyak untuk daerah saya sendiri,” ucap caleg DPRD Bali dapil Karangasem nomor urut 3 dari PDI Perjuangan itu.

Masyarakat Karangasem, tandas Ramia Adnyana tidak perlu menyesal. Sebaliknya, melihat segala keterbatasan itu sebagai sebuah peluang.

“Karangasem memiliki potensi luar biasa. Memiliki bentangan laut terpanjang setelah Buleleng. Ini adalah potensi yang bisa dikembangkan,” tegasnya.

Lahar letusan Gunung Agung, sambungnya, juga memberi kontribusi luar pada pendapatan asli daerah (PAD).

Bentang alam Karangasem, terang Wakil Ketua Umum 1 DPP IHGMA (Indonesian Hotel General Manager Association), secara alamiah menumbuhkan ciri khas pada sektor ekonomi kreatif.

Contoh nyatanya tampak pada produk anyaman ata yang telah merambah pasar ekspor Eropa.

Jelasnya, kerajinan anyaman ata ini dikenal pertama kali di Dusun Gumung, Tenganan Manggis dalam bentuk perisai yang

digunakan dalam tradisi Megeret Pandan, yakni atraksi sakral yang digelar setahun sekali terkait prosesi Upacara Aci Sambah.

Seiring waktu, sarana perang-perangan yang dimainkan dua pemuda ini antara lain berkembang menjadi bentuk lain berupa tas, kotak, bokor, gentong, tempat tisu yang digemari wisatawan.

Ramia Adnyana juga “mencium” potensi luar biasa pada cita rasa arak api khas Karangasem. Selain sebagai sarana upacara atau ritual dalam tradisi masyarakat Hindu,

bila dikemas dengan ciamik arak api ini berpeluang tembus pasar ekspor layaknya brem Dewi Sri yang diproduksi sejak 1967 dan dipasarkan hingga Jepang, Australia, dan Eropa.

“Tata kelola minuman keras, khususnya arak harus segera diatur. Selama ini kendalanya ada di perizinan terkait produksinya. Ke depan, potensi ini wajib disikapi serius Pemkab Karangasem dan Pemprov Bali,” terangnya.

Puluhan tahun bergelut di sektor pariwisata dirinya mengaku tidak sedikit turis mancanegara yang mengagumi kualitas minuman beralkohol khas Bali tersebut.

Menariknya, Ramia Adnyana memastikan arak Bali yang dibuat dari dua jenis bahan, yakni sadapan bunga kelapa atau air nira (terlebih dulu difermentasi menjadi tuak sebelum akhirnya disuling sekitar 4 jam, red) itu aman dikonsumsi.

Tidak pernah ditemukan ada kasus orang keracunan setelah minum arak bali tradisional. Buktinya dalam hajatan pernikahan maupun kematian mereka yang mengonsumsi arak bali hingga muntah-muntah pun akan kembali sehat keesokan harinya.

Kasus keracunan terjadi bila arak dioplos dengan bahan-bahan lain di tingkat penjual demi meraih keuntungan yang lebih besar.

 

“Ini penting untuk kebutuhan pariwisata di Bali. Tentunya dengan pengelolaan dan regulasi yang ketat. Daripada kita ngimpor produk-produk minuman beralkohol dari luar.

Ini kan mubazir. Kenapa produk kita sendiri yang memiliki potensi luar biasa justru tidak dipakai,” ungkapnya.

Ramia Adnyana menegaskan produksi arak Bali merupakan salah satu industri kreatif tradisional warisan leluhur.

“Arak Bali sangat bisa diterima di pasar luar negeri. Buktinya Arak Attack, campuran arak Bali dan Sprite, sangat digemari turis Australia dan Eropa,” tandasnya sembari optimis arak bisa dikemas menjadi minuman berkelas setara dengan Whisky.

“Bergantung proses distilasi (pencampuran, red) yang dilakukan oleh para petani arak kita,” tegasnya sembari menyebut sudah saatnya arak menjadi tuan rumah di tanah sendiri layaknya sake di Jepang.

Disinggung soal keputusan “melamar” posisi sebagai wakil rakyat yang gajinya jauh lebih kecil dibanding jabatan GM, Ramia Adnyana tersenyum.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, pria yang kini menempuh studi doktor (S3) pariwisata di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana itu mengaku

ingin ngayah dan mengabdi kepada Karangasem sekaligus memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap politisi. “Saya benar-benar ingin ngayah,” tutup Chairman Indonesia Tourism Outlook (ITO) itu. (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/