33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 13:09 PM WIB

Swarsa: Bukan Barang Baru, Pemda Bali dan MUDP Harus Tegas

KUTA – Sepekan terakhir, masyarakat Bali dikejutkan oleh sederet kasus pungli. Kamis (1/11) sebelas orang berkedok pecalang “digulung” Tim Resmob Ditreskrimum Polda Bali di bawah komando Kanit Resmob Kompol Tri Joko Widiyanto.

Mereka ditangkap di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Desa Sanur Kaja, Denpasar Selatan karena diduga melakukan tindak pidana pungli.

Polisi berdalih tidak ada MOU antara Perusahaan Daerah Parkir Kota Denpasar (PD Parkir) dengan Desa Pakraman Sanur Kaja.

Bendesa Adat Sanur Ida Bagus Paramartha menyatakan 11 orang yang ditangkap dan sempat bermalam di Mapolda Bali bukan pecalang, melainkan pegawai Badan Usaha milik Desa Adat Sanur (Bumdes).

Warga yang menyandang status tersangka itu melakukan pungutan bagi setiap pengunjung sesuai keputusan paruman agung (rapat besar).

Dengan kata lain telah sesuai dengan awig-awig (peraturan desa) atau pararem sehingga pungutan senilai Rp 34 juta rupiah selama bulan Oktober dan sebelumnya dinilai sah.

Meski begitu, pasca penangkapan Paramartha mengaku pihak desa langsung menjalin kerja sama dengan PD Parkir.

Hal serupa terjadi pada dua orang petugas penjaga tiket Pura Tirta Empul. I Wayan Gerindra, 48, dan Dewa Putu Degdeg, 78, terjaring OTT Tim Saber Pungli di bawah pimpinan Kasatreskrim AKP Deni Septiawan.

Atas kejadian tersebut, Penyarikan Desa Pakraman Manukaya Let Made Kuntung menegaskan Pura Tirta Empul yang dijadikan objek wisata merupakan milik desa adat, bukan Pemerintah Daerah Gianyar.

Meski demikian, secara tersirat Kuntung menyebut pihaknya sudah mengalah. Pemda Gianyar mendapat ruang menjual tiket mulai pukul 07.00 hingga 15.00 Wita.

Sementara Desa Pakraman Manukaya mulai pukul 15.00-18.00. Tindakan desa adat ini dinilai tidak sesuai kesepakatan oleh Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kabupaten Gianyar, Anak Agung Bagus Ari Brahmanta.

Dia mengatakan seharusnya pungutan dilakukan pemda mulai pukul 07.00 hingga 18.00. Merespons hal ini, Jero Wayan Swarsa, mantan Bendesa Adat Kuta menyampaikan hal menarik.

Pejuang gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang saat ini hendak “ngayah” lewat kursi DPRD Bali menyebut dua kejadian tersebut bukan hal baru.

Tidak bermaksud menyalahkan atau membenarkan pihak manapun, Swarsa mengajak seluruh masyarakat Bali untuk peka dan belajar tanggap atas peristiwa ironis berupa dugaan pungli yang ditudingkan kepada desa adat atau pakraman.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Sabtu (9/11) Swarsa menyadarkan semua pihak bahwa kasus Matahari Terbit dan Tirta Empul bukan hanya ranah adat.

Tetapi juga ranah pemerintah daerah dan institusi kepolisian. “Polisi hanya penegak hukum. Jadi Pemerintah Daerah Bali dan MUDP harus memberi edukasi dan batasan jelas

kepada masyarakat adat Bali tentang kewenangan yang dapat dilakukan oleh desa adat/pakraman. Selama ini kan hanya diwacanakan saja tanpa kepastian hukum positif yang melindungi kepentingan desa adat/pakraman,” ucapnya.

Sayangnya, tidak ada follow up alias tindak lanjut yang pasti dan tegas dari pemerintah daerah dan MUDP, antara lain terkait sejauh mana kewenangan desa adat serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Kita tidak pernah sampai pada muara kesimpulan yang sama dan pasti. Seingat saya, kepolisian pernah menyampaikan secara terbuka dalam satu rapat di Puspem Badung

agar pemerintah daerah dan MUDP segera merumuskan batasan kewenangan desa adat/pakraman secara jelas dan pasti dalam konteks pungutan sehingga jelas penanganan hukum positifnya.

Kita kurang cepat meresponnya hingga pada saat seperti ini nama besar adat Bali pun akhirnya tercoreng,” ungkap caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dapil Kabupaten Badung itu.

Lantas apa solusi atau alternatif yang bisa dilakukan? Swarsa menjawab harus ada koordinasi dan langkah nyata yang tegas antara ranah adat Bali,

kedinasan (pemerintah), dan penegak hukum. Dirinya melihat hukum positif harus menjadi rujukan dalam bingkai NKRI.

Dan keberadaan hukum adat pun telah diakui oleh konstitusi. Tumpang tindih keberadaan dua hukum tersebut semestinya dapat dihindari karena sesungguhnya dapat saling mendukung satu sama lain.

Pemahaman inilah yang harus fleksibel dimiliki oleh masyarakat adat Bali dan pemerintah daerah Bali dapat memberikan payung hukum pasti untuk kepentingan desa adat/pakraman.

“Harus diakui pengertian hukum adat saja di Bali masih tumpang tindih. Apakah adat boleh mengambil ranah kedinasan? Kalau saya jawab tidak, salah juga,” terangnya.

Swarsa berkata sebagai suatu bentuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, desa adat/pakraman memiliki kewenangan dan tanggung jawab dimaksud. Tentunya lebih terbatas dan atas sepengetahuan pemerintah daerah.

“Contohnya bila dilakukan pungutan di objek wisata tentu pemerintah daerah melalui dinas pariwisata atau dinas berkompeten harus diajak bicara. Apakah retribusi dilakukan melalui pola bagi hasil ataukah dalam bentuk lain,” ringkasnya.

Tidak semua hal terkait kemasyarakatan sudah diatur secara normatif oleh pemerintah daerah. Swarsa menyebut hal paling penting

dalam partisipasi desa adat/pakraman dalam peran ini adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan.

Dirinya menilai tidak segala sesuatu bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pemberdayaan terhadap warga adat Bali yang berkomitmen membantu tugas pemerintah.

Swarsa mengatakan saat ini desa adat/pakraman Bali ibarat lidi yang tercerai-berai. “Ke depan harus ada satu cara untuk menyatukan desa adat/ pakraman di tanah Bali.

Azas legalitas atas tindakan publik harus ada dan dibahas dan diputuskan dalam paruman desa adat. Sebisa mungkin menjadi keputusan

yang tidak bertentangan dengan aturan hukum positif yang ada dan tidak melanggar norma/etika publik,” tegasnya.

Kedua, Swarsa juga menilai perlu dibentuk lembaga di bawah desa adat/ pakraman berupa badan pengelola milik desa adat.

Badan pengelola inilah yang bertanggung jawab atas pengelolaan, baik keuangan maupun operasional dan menjadi perpanjangan tangan desa adat dalam mengatur hubungan desa adat dengan pemerintah.

Misalnya, terkait pungutan ke objek wisata diputuskan dengan pola bagi hasil dengan nominal tertentu di antara kedua belah pihak.

“Turunannya ya ada laporan pertanggungjawaban yang diberikan oleh badan pengelola kepada internal desa adat dan pemerintah bila ada join atau kerja sama bagi hasil,” terangnya.

Selain itu, yang ketiga harus ada sistem pengelolaan yang diterapkan oleh badan pengelola bentukan desa adat/pakraman tersebut.

Misalnya pengelolaan berbasis online atau pemanfaatan aplikasi digital. Hal penting untuk menjaga aspek transparansi pengelolaan tersebut.

Keempat, rinci Swarsa adalah bahwa pihak desa adat/pakraman juga wajib mempertimbangkan azas manfaat.

Pada saat pengelolaan dana dilakukan secara jelas dan terang-benderang, kemudian selanjutnya adalah ditujukan untuk apa dana tersebut.

“Ke mana saja dana itu dan untuk pembiayaan apa saja? Intinya bukan semata-mata untuk pengumpulan dana, tapi jelas dan terukur azas pemanfaatannya.

Dasar-dasar ini sangat penting dipahami dan dijalankan dan saya yakin bahwa pihak penegak hukum tidak akan menutup mata atas partisipasi positif masyarakat adat Bali,” tutupnya. (rba)

KUTA – Sepekan terakhir, masyarakat Bali dikejutkan oleh sederet kasus pungli. Kamis (1/11) sebelas orang berkedok pecalang “digulung” Tim Resmob Ditreskrimum Polda Bali di bawah komando Kanit Resmob Kompol Tri Joko Widiyanto.

Mereka ditangkap di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Desa Sanur Kaja, Denpasar Selatan karena diduga melakukan tindak pidana pungli.

Polisi berdalih tidak ada MOU antara Perusahaan Daerah Parkir Kota Denpasar (PD Parkir) dengan Desa Pakraman Sanur Kaja.

Bendesa Adat Sanur Ida Bagus Paramartha menyatakan 11 orang yang ditangkap dan sempat bermalam di Mapolda Bali bukan pecalang, melainkan pegawai Badan Usaha milik Desa Adat Sanur (Bumdes).

Warga yang menyandang status tersangka itu melakukan pungutan bagi setiap pengunjung sesuai keputusan paruman agung (rapat besar).

Dengan kata lain telah sesuai dengan awig-awig (peraturan desa) atau pararem sehingga pungutan senilai Rp 34 juta rupiah selama bulan Oktober dan sebelumnya dinilai sah.

Meski begitu, pasca penangkapan Paramartha mengaku pihak desa langsung menjalin kerja sama dengan PD Parkir.

Hal serupa terjadi pada dua orang petugas penjaga tiket Pura Tirta Empul. I Wayan Gerindra, 48, dan Dewa Putu Degdeg, 78, terjaring OTT Tim Saber Pungli di bawah pimpinan Kasatreskrim AKP Deni Septiawan.

Atas kejadian tersebut, Penyarikan Desa Pakraman Manukaya Let Made Kuntung menegaskan Pura Tirta Empul yang dijadikan objek wisata merupakan milik desa adat, bukan Pemerintah Daerah Gianyar.

Meski demikian, secara tersirat Kuntung menyebut pihaknya sudah mengalah. Pemda Gianyar mendapat ruang menjual tiket mulai pukul 07.00 hingga 15.00 Wita.

Sementara Desa Pakraman Manukaya mulai pukul 15.00-18.00. Tindakan desa adat ini dinilai tidak sesuai kesepakatan oleh Kepala Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Kabupaten Gianyar, Anak Agung Bagus Ari Brahmanta.

Dia mengatakan seharusnya pungutan dilakukan pemda mulai pukul 07.00 hingga 18.00. Merespons hal ini, Jero Wayan Swarsa, mantan Bendesa Adat Kuta menyampaikan hal menarik.

Pejuang gerakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa yang saat ini hendak “ngayah” lewat kursi DPRD Bali menyebut dua kejadian tersebut bukan hal baru.

Tidak bermaksud menyalahkan atau membenarkan pihak manapun, Swarsa mengajak seluruh masyarakat Bali untuk peka dan belajar tanggap atas peristiwa ironis berupa dugaan pungli yang ditudingkan kepada desa adat atau pakraman.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, Sabtu (9/11) Swarsa menyadarkan semua pihak bahwa kasus Matahari Terbit dan Tirta Empul bukan hanya ranah adat.

Tetapi juga ranah pemerintah daerah dan institusi kepolisian. “Polisi hanya penegak hukum. Jadi Pemerintah Daerah Bali dan MUDP harus memberi edukasi dan batasan jelas

kepada masyarakat adat Bali tentang kewenangan yang dapat dilakukan oleh desa adat/pakraman. Selama ini kan hanya diwacanakan saja tanpa kepastian hukum positif yang melindungi kepentingan desa adat/pakraman,” ucapnya.

Sayangnya, tidak ada follow up alias tindak lanjut yang pasti dan tegas dari pemerintah daerah dan MUDP, antara lain terkait sejauh mana kewenangan desa adat serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

“Kita tidak pernah sampai pada muara kesimpulan yang sama dan pasti. Seingat saya, kepolisian pernah menyampaikan secara terbuka dalam satu rapat di Puspem Badung

agar pemerintah daerah dan MUDP segera merumuskan batasan kewenangan desa adat/pakraman secara jelas dan pasti dalam konteks pungutan sehingga jelas penanganan hukum positifnya.

Kita kurang cepat meresponnya hingga pada saat seperti ini nama besar adat Bali pun akhirnya tercoreng,” ungkap caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dapil Kabupaten Badung itu.

Lantas apa solusi atau alternatif yang bisa dilakukan? Swarsa menjawab harus ada koordinasi dan langkah nyata yang tegas antara ranah adat Bali,

kedinasan (pemerintah), dan penegak hukum. Dirinya melihat hukum positif harus menjadi rujukan dalam bingkai NKRI.

Dan keberadaan hukum adat pun telah diakui oleh konstitusi. Tumpang tindih keberadaan dua hukum tersebut semestinya dapat dihindari karena sesungguhnya dapat saling mendukung satu sama lain.

Pemahaman inilah yang harus fleksibel dimiliki oleh masyarakat adat Bali dan pemerintah daerah Bali dapat memberikan payung hukum pasti untuk kepentingan desa adat/pakraman.

“Harus diakui pengertian hukum adat saja di Bali masih tumpang tindih. Apakah adat boleh mengambil ranah kedinasan? Kalau saya jawab tidak, salah juga,” terangnya.

Swarsa berkata sebagai suatu bentuk pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, desa adat/pakraman memiliki kewenangan dan tanggung jawab dimaksud. Tentunya lebih terbatas dan atas sepengetahuan pemerintah daerah.

“Contohnya bila dilakukan pungutan di objek wisata tentu pemerintah daerah melalui dinas pariwisata atau dinas berkompeten harus diajak bicara. Apakah retribusi dilakukan melalui pola bagi hasil ataukah dalam bentuk lain,” ringkasnya.

Tidak semua hal terkait kemasyarakatan sudah diatur secara normatif oleh pemerintah daerah. Swarsa menyebut hal paling penting

dalam partisipasi desa adat/pakraman dalam peran ini adalah bentuk pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan.

Dirinya menilai tidak segala sesuatu bisa dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pemberdayaan terhadap warga adat Bali yang berkomitmen membantu tugas pemerintah.

Swarsa mengatakan saat ini desa adat/pakraman Bali ibarat lidi yang tercerai-berai. “Ke depan harus ada satu cara untuk menyatukan desa adat/ pakraman di tanah Bali.

Azas legalitas atas tindakan publik harus ada dan dibahas dan diputuskan dalam paruman desa adat. Sebisa mungkin menjadi keputusan

yang tidak bertentangan dengan aturan hukum positif yang ada dan tidak melanggar norma/etika publik,” tegasnya.

Kedua, Swarsa juga menilai perlu dibentuk lembaga di bawah desa adat/ pakraman berupa badan pengelola milik desa adat.

Badan pengelola inilah yang bertanggung jawab atas pengelolaan, baik keuangan maupun operasional dan menjadi perpanjangan tangan desa adat dalam mengatur hubungan desa adat dengan pemerintah.

Misalnya, terkait pungutan ke objek wisata diputuskan dengan pola bagi hasil dengan nominal tertentu di antara kedua belah pihak.

“Turunannya ya ada laporan pertanggungjawaban yang diberikan oleh badan pengelola kepada internal desa adat dan pemerintah bila ada join atau kerja sama bagi hasil,” terangnya.

Selain itu, yang ketiga harus ada sistem pengelolaan yang diterapkan oleh badan pengelola bentukan desa adat/pakraman tersebut.

Misalnya pengelolaan berbasis online atau pemanfaatan aplikasi digital. Hal penting untuk menjaga aspek transparansi pengelolaan tersebut.

Keempat, rinci Swarsa adalah bahwa pihak desa adat/pakraman juga wajib mempertimbangkan azas manfaat.

Pada saat pengelolaan dana dilakukan secara jelas dan terang-benderang, kemudian selanjutnya adalah ditujukan untuk apa dana tersebut.

“Ke mana saja dana itu dan untuk pembiayaan apa saja? Intinya bukan semata-mata untuk pengumpulan dana, tapi jelas dan terukur azas pemanfaatannya.

Dasar-dasar ini sangat penting dipahami dan dijalankan dan saya yakin bahwa pihak penegak hukum tidak akan menutup mata atas partisipasi positif masyarakat adat Bali,” tutupnya. (rba)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/