29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:27 AM WIB

Tubuh Tinggal Tulang Berbalut Kulit, Orang Tua Pasrah karena Tak Mampu

I Kadek Pait, bayi 16 bulan ini memang sepahit namanya.Terlahir dari orang tua dari keluarga tidak mampu, ia pun kini hidup dengan kondisi gizi buruk.

 

WAYAN PUTRA, Amlapura

 

Badan kurus kering dengan perut sedikit membucit. Begitulah kondisi anak pasangan Ni Kadek Sariati 23 dan I Ketut Disel 30.

Bocah yang tinggal di banjar Dinas Dalem, Tianyar  Tengah, Kubu Karangasem ini kondisinya benar benar memprihatinkan. Dia mengalami gizu buruk yang cukup parah.

Mirisnya lagi, sejak dua bulan lahir, ia tak pernah diperiksakan ke dokter.

Kedua orang tuanya tak mampu untuk membawa Pait ke puskesmas atau ke dokter.

“Tiang ten ngelah biaya, (saya tidak punya biaya),” ujar Sariati sang ibu.

Menurut Sariati, Pait sudah mengalami gizi buruk sekitar 1 tahun dan 4 bulan.

Walaupun saat terlahir, Pait dalam kondisi normal seperti anak pada umumnya dengan bobot 4 kilogram.

Baru sejak terserang demam tinggi dan di bawa ke salah satu bidan di Banjar Munti, Tukad Bumbung untuk berobat, baru diketahui kalau Pait menderita gizi buruk. “Waktu itu bidan mengatakan Pait sesak nafas dan sempat diberi obat. Tapi tidak ada perubahan dan akhirnya dibawa ke RSU Karangasem,”ujar Sariati .

Pulang dari rumah sakit bukannya sembuh. Sebaliknya, kondisi Pait justru terus menurun dan berat badannya hanya tinggal 2,8 kilo hingga sekarang.

Sejak itu, sang anak tidak pernah lagi dibawa berobat ke dokter. Ini terpaksa dilakukan karena tidak punya biaya untuk berobat. Sang anak sendiri memiliki Kartu Indonesia Sehat atau KIS Mandiri.

Hanya saja sejak tahun lalu tidak mampu lagi membayar  premi sehingga tidak bisa dipergunakan. Dia mengaku tidak punya uang untuk membayar premi asuransi tersebut.

Keluarga ini sendiri sebenarnya sudah memiliki dua anak. Hanya saja anak pertama mereka sudah meninggal dunia, dia adalah Ni Wayan Ita. Parahnya lagi Ita juga mengalami khasus yang sama yakni gizi buruk.

Sementara anak kedua ini juga mengalami hal yang sama. Bahkan sudah 14 bulan anak tersebut mengalami kondisi gizi buruk.

Sementara saat ini kondisi sang anak sangat kurus. Berat bedanya hanya 2,8 kg dengan tubuh yang hanya tulang yang dibalut kulit. Karena terlalu kurus jari jari tangannya juga kaku tidak bisa digerakan. Selain itu kedua kakinya bengkak begitu juga dengan tanganya.

 “Kalau makan tidak mau, sedikit sekali paling satu sendok,” ujarnya. sementara minum susu juga tidak banyak hanya dua sendok saja sudah tidak mau lagi.

Ibu muda ini mengaku memang mengalami kesulitan secara ekonomi. Ini karena dia hanya bekerja sebagai petani tuak bersama suaminya. Dengan pengasilan yang tidak seberapa itu untuk kebutuhan sehari hari terkadang tidak cukup.

Terkadang dari hasil penyadap tuak bersama sang suami dapat 2 liter. Tuak tersebut kemudian dia olah menjadi gula Bali atau gula merah. Hasil tuak sendiri tidak banyak dua hari sekali baru dapat dua liter tuak ental.

Kalau di hitung pengasilan keluarga ini hanya berkisaran Rp 20 ribu per harinya.

Sementara kalau musim hujan terkadang dia juga menjadi buruh di Songan, Bangli.

Dia ke Songan harus berjalan kaki mulai pukul 05.00 wita pagi dan pulang sekitar pukul 19.00 wita.

“Kerja sehari penuh dapat upah Rp 60 ribu,” ujarnya.

Sementara saat ini belum bisa bekerja karena harus menunggui sang anak yang kondisinya seperti ini.

Sementara sejauh ini dirinya mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah.

Dirinya berharap agar bisa mendapat bantuan untuk mengajak sang anak berobat.

I Kadek Pait, bayi 16 bulan ini memang sepahit namanya.Terlahir dari orang tua dari keluarga tidak mampu, ia pun kini hidup dengan kondisi gizi buruk.

 

WAYAN PUTRA, Amlapura

 

Badan kurus kering dengan perut sedikit membucit. Begitulah kondisi anak pasangan Ni Kadek Sariati 23 dan I Ketut Disel 30.

Bocah yang tinggal di banjar Dinas Dalem, Tianyar  Tengah, Kubu Karangasem ini kondisinya benar benar memprihatinkan. Dia mengalami gizu buruk yang cukup parah.

Mirisnya lagi, sejak dua bulan lahir, ia tak pernah diperiksakan ke dokter.

Kedua orang tuanya tak mampu untuk membawa Pait ke puskesmas atau ke dokter.

“Tiang ten ngelah biaya, (saya tidak punya biaya),” ujar Sariati sang ibu.

Menurut Sariati, Pait sudah mengalami gizi buruk sekitar 1 tahun dan 4 bulan.

Walaupun saat terlahir, Pait dalam kondisi normal seperti anak pada umumnya dengan bobot 4 kilogram.

Baru sejak terserang demam tinggi dan di bawa ke salah satu bidan di Banjar Munti, Tukad Bumbung untuk berobat, baru diketahui kalau Pait menderita gizi buruk. “Waktu itu bidan mengatakan Pait sesak nafas dan sempat diberi obat. Tapi tidak ada perubahan dan akhirnya dibawa ke RSU Karangasem,”ujar Sariati .

Pulang dari rumah sakit bukannya sembuh. Sebaliknya, kondisi Pait justru terus menurun dan berat badannya hanya tinggal 2,8 kilo hingga sekarang.

Sejak itu, sang anak tidak pernah lagi dibawa berobat ke dokter. Ini terpaksa dilakukan karena tidak punya biaya untuk berobat. Sang anak sendiri memiliki Kartu Indonesia Sehat atau KIS Mandiri.

Hanya saja sejak tahun lalu tidak mampu lagi membayar  premi sehingga tidak bisa dipergunakan. Dia mengaku tidak punya uang untuk membayar premi asuransi tersebut.

Keluarga ini sendiri sebenarnya sudah memiliki dua anak. Hanya saja anak pertama mereka sudah meninggal dunia, dia adalah Ni Wayan Ita. Parahnya lagi Ita juga mengalami khasus yang sama yakni gizi buruk.

Sementara anak kedua ini juga mengalami hal yang sama. Bahkan sudah 14 bulan anak tersebut mengalami kondisi gizi buruk.

Sementara saat ini kondisi sang anak sangat kurus. Berat bedanya hanya 2,8 kg dengan tubuh yang hanya tulang yang dibalut kulit. Karena terlalu kurus jari jari tangannya juga kaku tidak bisa digerakan. Selain itu kedua kakinya bengkak begitu juga dengan tanganya.

 “Kalau makan tidak mau, sedikit sekali paling satu sendok,” ujarnya. sementara minum susu juga tidak banyak hanya dua sendok saja sudah tidak mau lagi.

Ibu muda ini mengaku memang mengalami kesulitan secara ekonomi. Ini karena dia hanya bekerja sebagai petani tuak bersama suaminya. Dengan pengasilan yang tidak seberapa itu untuk kebutuhan sehari hari terkadang tidak cukup.

Terkadang dari hasil penyadap tuak bersama sang suami dapat 2 liter. Tuak tersebut kemudian dia olah menjadi gula Bali atau gula merah. Hasil tuak sendiri tidak banyak dua hari sekali baru dapat dua liter tuak ental.

Kalau di hitung pengasilan keluarga ini hanya berkisaran Rp 20 ribu per harinya.

Sementara kalau musim hujan terkadang dia juga menjadi buruh di Songan, Bangli.

Dia ke Songan harus berjalan kaki mulai pukul 05.00 wita pagi dan pulang sekitar pukul 19.00 wita.

“Kerja sehari penuh dapat upah Rp 60 ribu,” ujarnya.

Sementara saat ini belum bisa bekerja karena harus menunggui sang anak yang kondisinya seperti ini.

Sementara sejauh ini dirinya mengaku belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah.

Dirinya berharap agar bisa mendapat bantuan untuk mengajak sang anak berobat.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/