DENPASAR – Kesan bahwa penindakan mafia pariwisata bersifat diskriminatif, yakni hanya kepada usaha dar Tiongkok, ditepis kalangan DPRD Bali.
Kalangan DPRD Bali menegaskan bahwa rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Bali terkait penuntupan dan penertiban
mafia pariwisata tidak hanya berlaku untuk toko-toko jaringan mafia pariwisata dari Tiongkok, melainkan untuk Negara lain pula.
Anggota Komisi II DPRD Bali AA Ngurah Adhi Ardana mengatakan, aspirasi DPRD Bali ke Kementerian Pariwisata adalah untuk menyampaikan
ke negara-negara yang berkepentingan bahwa tidak ada rekomendasi ataupun keputusan yang “tendensius” kepada suatu negara.
Diungkapkan, Bali justru tegas dalam penegakan hukum serta taat pada perundangan yang berlaku karena tidak mungkin melegalkan sesuatu yang salah.
Seperti pada kasus toko-toko jaringan mafia dari Tiongkok yang akhirnya ditutup, tidak hanya bermasalah pada perizinan, juga toko-toko itu menjual barang yang tidak memiliki korelasi dengan pariwisata apalagi destinasi.
“Investasi yang tidak sesuai peraturan, ada pelanggaran Undang-undang Ketenagakerjaan, dan seterusnya. Kalaupun berdampak tentu ini justru menunjukkan losses devisa
kita bahkan jauh lebih besar, karena kegiatan resmi, sah justru hasil subsidi dari keuntungan hasil yang dapat dikatakan tidak sehat tersebut,” keluhnya.
Lebih lanjut Adhi Ardhana menyatakan hal yang paling parah, Bali dikatakan sebagai negara yang penuh penipu di media sosial Tiongkok.
Kalaupun sekarang ada yang menyatakan penurunan wisatawan negeri Tirai Bambu dan dampak lainnya, itu bukan semata-mata soal kesepakatan bersama.
“Selain memang memasuki low season, juga bersifat parsial dan bukan pernyataan perhimpunan atau asosiasi yang menaungi,” pungkasnya.