AMLAPURA – Musim hujan mulai datang. Dampaknya bagi petani garam sangat terasa. Beberapa petani garam mulai berhenti memproduksi garam lantaran intensitas hujan sudah tinggi.
Termasuk petani garam di wilayah Dusun Jemeluk, Desa Amed, Kecamatan Abang, Karangasem.
Lokasi sentra produksi garam di Wilayah Karangasem dengan kualitas terbaik ini mulai mengalami penurunan produksi sejak sepekan terakhir.
Ketua Kelompok Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed I Nengah Suanda, mengatakan, kondisi hujan belum terjadi di wilayah Amed hingga saat ini.
Meski musim hujan belum mendera wilayah tersebut, diakui produksi garam sudah mulai menurun. Untuk menghasilkan produksi garam yang maksimal harus dalam cuaca panas terik.
“Mendung menjadi pemicu produksi garam di Amed menurun. Mungkin dalam beberapa hari ke depan akan turun hujan dan petani memilih istirahat dulu,” ujar Suanda.
Saat musim normal, para petani garam di wilayah Amed yang terdiri dari 20 petani bisa memproduksi 30 kilogram per hari untuk satu orang petani.
Namun saat ini, satu orang petani garam hanya mampu menghasilkan 10 kilogram saja. “Dalam empat hari biasanya sekitar 120 kilogram untuk satu petani. Tapi sekarang turun setengahnya,” terang Suanda.
Beruntung, para petani di Amed masih memiliki cadangan garam untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Dia memastikan, dengan stok garam yang mencapai 30 ton, masih mampu memenuhi permintaan konsumen selama musim hujan.
“Dalam satu bulan permintaan garam mencapai 1,5 ton. Penjualan garam kami kebanyakan ke Jakarta. Kalau untuk di Bali lebih banyak di serap restoran dan hotel,” tuturnya.
Garam Amed memiliki rasa khas. Sehingga garam ini banyak diminati kalangan wisatawan asing. Para wisatawan ini kerap melihat langsung proses produksi garam di daerah tersebut.
Suanda menambahkan, jika dibanding dengan garam lain di Bali rasa khas untuk garam Amed tidak menyengat di lidah. “Meskipun dimakan berkali-kali. Jadi tidak enek, rasanya gurih,” pungkasnya.