29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:40 AM WIB

Kian Viral, Tarian Rejang Renteng Perlu Aturan Jelas

DENPASAR– Tari Rejang Renteng, tarian dari Desa Saren,  Nusa Gede, Nusa Penida,  dikenal sebagai tarian yang ditarikan pada saat wali atau piodalan harus ngayah.

Kalau di pura yang lainnya harus dipendak. Tapi, karena banyak masyarakat menarikan tarian tersebut, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kota  Denpasar menyelenggarakan workshop, di Aula Sabha Lango Santhi, Disbud Kota Denpasar.

Ida Ayu Made Diastini, narasumber di acara ini menyatakan bahwa fenomena baru merebak dalam kurun tiga tahun belakangan.

Setiap ritual di pura atau tempat atau tempat suci di seluruh Bali dan di luar daerah diwarnai pementasan kelompok ibu-bu menarikan Rejang Renteng.

Tari yang dulu hampir punah itu kini mampu membius masyarakat Hindu di Bali bahkan Nusantara. Penari Rejang Renteng memang didominasi ibu-ibu yang tidak semuanya bisa menari.

Dari beberapa catatan pemberitaan di media massa, Rejang Renteng dipentaskan tidak hanya untuk kepentingan ritual.

Namun juga dipentaskan di luar kepentingan ritual. Seperti lomba desa, Porseni desa, pekan budaya, pentas budaya, festival desa. 

“ Tari Rejang Renteng punya dua fungsi sebagai wali dan bebali. Wali pada saat piodalan di pura.

Sedangkan bebali yaitu manusia yadnya, bahwa kita berkewajiban ngayah di mana tempat berpihak, pada saat kita ngayah di desa,” ucap Diastini. 

Dengan Tari Rejang Renteng ini menurutnya  memang  sedang berkembang di masyarakat  juga terus dikembangkan.

Diastini meminta jangan dibendung dan dilarang. Sehingga membuat para ibu ibu tetap semangat dan senang untuk ikut ngayah.

Di kesempatan ini, Ketua WHDI, Sagung Antari Jaya Negara,  Denpasar mengatakan melalui workshop tari dan tabuh Rejang Renteng dapat meningkatkan pelestarian budaya dan serada bakti menuju ke harmonisan.

Dia menyebutkan bahwa Tari Rejang Renteng adalah salah satu jenis tari wali (tari sakral) yang ditarikan secara berkelompok pada saat prosesi upacara agama Hindu.

“Akhir-akhir ini sangat marak ditarikan di seluruh pelosok Bali dalam proses keagamaan dan sepertinya penampilan

tari Rejang Renteng belum ada aturan yang baku tentang fungsi dan tempat yang pantas untuk menarikan tari Rejang Renteng,” ungkapnya 

Oleh karena itu  workshop ini dilaksanakan memberi pemahaman yang jelas tentang batas-batas dalam menampilkan tari Rejang Renteng.

Melalui workshop ini semua pihak harus tahu menempatkan fungsi tarian tersebut secara baik dan benar.

“Serta hasilnya bisa digunakan sebagai refrensi oleh lembaga, instansi yang berwenang yang berkaitan dengan pelestarian adat dan kesenian di Bali yang di jiwai oleh Agama Hindu,” papar istri Wakil Wali Kota Denpasar ini, IGN Jaya Negara, ini. 

 

DENPASAR– Tari Rejang Renteng, tarian dari Desa Saren,  Nusa Gede, Nusa Penida,  dikenal sebagai tarian yang ditarikan pada saat wali atau piodalan harus ngayah.

Kalau di pura yang lainnya harus dipendak. Tapi, karena banyak masyarakat menarikan tarian tersebut, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kota  Denpasar menyelenggarakan workshop, di Aula Sabha Lango Santhi, Disbud Kota Denpasar.

Ida Ayu Made Diastini, narasumber di acara ini menyatakan bahwa fenomena baru merebak dalam kurun tiga tahun belakangan.

Setiap ritual di pura atau tempat atau tempat suci di seluruh Bali dan di luar daerah diwarnai pementasan kelompok ibu-bu menarikan Rejang Renteng.

Tari yang dulu hampir punah itu kini mampu membius masyarakat Hindu di Bali bahkan Nusantara. Penari Rejang Renteng memang didominasi ibu-ibu yang tidak semuanya bisa menari.

Dari beberapa catatan pemberitaan di media massa, Rejang Renteng dipentaskan tidak hanya untuk kepentingan ritual.

Namun juga dipentaskan di luar kepentingan ritual. Seperti lomba desa, Porseni desa, pekan budaya, pentas budaya, festival desa. 

“ Tari Rejang Renteng punya dua fungsi sebagai wali dan bebali. Wali pada saat piodalan di pura.

Sedangkan bebali yaitu manusia yadnya, bahwa kita berkewajiban ngayah di mana tempat berpihak, pada saat kita ngayah di desa,” ucap Diastini. 

Dengan Tari Rejang Renteng ini menurutnya  memang  sedang berkembang di masyarakat  juga terus dikembangkan.

Diastini meminta jangan dibendung dan dilarang. Sehingga membuat para ibu ibu tetap semangat dan senang untuk ikut ngayah.

Di kesempatan ini, Ketua WHDI, Sagung Antari Jaya Negara,  Denpasar mengatakan melalui workshop tari dan tabuh Rejang Renteng dapat meningkatkan pelestarian budaya dan serada bakti menuju ke harmonisan.

Dia menyebutkan bahwa Tari Rejang Renteng adalah salah satu jenis tari wali (tari sakral) yang ditarikan secara berkelompok pada saat prosesi upacara agama Hindu.

“Akhir-akhir ini sangat marak ditarikan di seluruh pelosok Bali dalam proses keagamaan dan sepertinya penampilan

tari Rejang Renteng belum ada aturan yang baku tentang fungsi dan tempat yang pantas untuk menarikan tari Rejang Renteng,” ungkapnya 

Oleh karena itu  workshop ini dilaksanakan memberi pemahaman yang jelas tentang batas-batas dalam menampilkan tari Rejang Renteng.

Melalui workshop ini semua pihak harus tahu menempatkan fungsi tarian tersebut secara baik dan benar.

“Serta hasilnya bisa digunakan sebagai refrensi oleh lembaga, instansi yang berwenang yang berkaitan dengan pelestarian adat dan kesenian di Bali yang di jiwai oleh Agama Hindu,” papar istri Wakil Wali Kota Denpasar ini, IGN Jaya Negara, ini. 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/