SINGARAJA – Angka kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Buleleng terbilang tinggi. Baik itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau pun tindakan asusila.
Sayangnya perlindungan bagi korban berupa fasilitas rumah aman belum juga ada. Padahal, fasilitas tersebut adalah bentuk tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mendesak pemerintah segera merealisasikan fasilitas itu.
Sebab kasus-kasus yang kini ditangani Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), sangat membutuhkan tempat aman untuk melindungi korban.
“Selama ini anak yang menjadi korban dititipkan di Panti Asuhan. Bila anak menjadi pelaku kejahatan tidak mungkin pihak panti mau menerima,” papar Luh Putu Anggreni, Sekretaris LBH APIK.
Idealnya anak yang menjadi pelaku kejahatan, tidak dikenakan sanksi penjara. Melainkan dikembalikan ke orang tua untuk dibina. Harapannya agar tak mengulangi kasus serupa.
Namun saat lingkungan tempat tinggal kurang mendukung, maka anak diharapkan bisa dibina lewat rumah aman.
Bila dipaksakan dibina di lingkungan yang kurang mendukung, tak menutup kemungkinan anak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Alhasil anak menjadi residivis kejahatan, hingga kemudian harus mendekam di lembaga pemasyarakatan.
“Bali sampai sekarang belum memiliki rumah aman. Padahal, provinsi sudah punya perda. Sudah dari dulu kami advokasi hal ini. Mudah-mudahan ini bisa direalisasikan,” tutup dia.