DENPASAR – I Ketut Suryana alias Pak Edi, terdakwa kasus dugaan korupsi dana Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPTHB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB-P2), UPT PBB Kecamatan Selamadeg Timur, Kerambitan akhirnya dituntut 2 tahun penjara.
Atas tuntutan itu, terdakwa yang didampingi tim penasehat hukumnya I Made Arta Yasa dkk menyatakan menyesal dan memohon agar majelis hakim memberikan keringanan hukuman.
“Saya memohon maaf atas apa yang saya perbuat. Saya menyesalinya, dan atas tuntutan tadi, saya mohon keringanan dari yang Mulia,”ujar Suryana di pengadilan Tipikor Denpasar, Rabu (19/12) kemarin
Sementara pada sidang dengan Majelis Hakim yang diketuai Ni Made Sukereni, tuntutan 2 tahun penjara bagi terdakwa, karena JPU I Made Rai Joni Artha menilai, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kesatu subsider, Pasal 3 UU tentang Tipikor.
Selain hukuman pidana, jaksa penuntut juga memohon agar majelis hakim menjatuhkan pidana denda bagi Suryana, pidana denda sebesar Rp 100 juta.
“Dengan ketentuan, bila denda tersebut tidak dibayarkan maka diganti dengan kurungan selama enam bulan,” terang Jaksa Made Rai.
sebelumnya, terdakwa diduga tidak menyetorkan PBB dan BPHTB ke kas daerah. Adapun wajib pajak yang jadi korbannya adalah saksi, Desak Putu Eka Sutrisnawathy. Perkara ini berawal dari permintaan tolong saksi kepada terdakwa pada September 2017. Saksi saat itu rencananya akan membeli tanah yang dijual I Gede Tiasa/I Wayan Suweca.
Singkat cerita, terdakwa memberikan pertimbangan teknis kepada saksi. Selanjutnya pada 6 September 2017, terdakwa datang ke Kantor Badan Keuangan Daerah Tabanan untuk meminta lembar informasi data pembayaran PBB atas nama I Gede Tiasa/I Wayan Suweca.
Serta melakukan beberapa proses lainnya sembari mengucurkan dana yang diperlukan. Total dana yang sudah dikeluarkan Rp 232,2 juta.
Dari total dana Rp 232,2 juta itu, terdakwa gunakan untuk melakukan pengurusan proses pembayaran pajak PBB, PPH, dan BPHTB atas nama pemohon (saksi). Sampai akhirnya PBB dan BPHTB tidak terdakwa setorkan dan digunakan untuk kepentingan pribadinya.
Perbuatan terdakwa itu terungkap saat proses penerbitan akta jual beli dengan Nomornya 434/2017 yang semula diurus di notaris. Saat akta jual beli itu didaftarkan notaris ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tabanan untuk proses peralihan hak.
Namun, dalam prosesnya, BPN justru menolak proses pendaftaran tersebut dengan alasan kelengkapannya tidak memenuhi syarat. Sejak saat itulah, perbuatan terdakwa terbongkar.
Nah, saat itulah perbuatan terdakwa diketahui telah memalsukan bukti setor pajak dan belum ada penyetoran ke kas negara atau daerah.
Dalam surat dakwaaan juga disebutkan, perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian negara atau daerah, dalam hal ini Pemkab Tabanan, sebesar Rp 138.953.329. Dengan rincian, pajak BPHTB yang tidak disetorkan sebebesar Rp 109.572.000 dan PBB-P2 yang tidak disetorkan sebesar Rp 29.381.329.(san)