Oleh: Dahlan Iskan
Makan apa selama di Lebanon? Saya justru ingin tahu: Anthony Bourdain makan apa di mana? Kalau ia lagi di Beirut?
Bourdain kan ahli makan sedunia. Pengasuh acara tv di Amerika. Tentang masakan seluruh dunia. Terkenal sekali.
Meninggal tahun lalu. Bunuh diri. Dengan cara tradisional: gantung diri. Di kamar hotelnya. Di Paris. Saat mau rekaman untuk acaranya nanti.
Anthony Bourdain ternyata makan di Onno Bistro. Saya harus ke situ. Harus.
Saya cari alamatnya. Mudah. Tinggal tanya Google. Hanya 5 km dari hotel saya. Hanya 15 menit, menurut peta.
Tapi menjalaninya ternyata tidak mudah. Rasanya seperti ke Jalan Karet di Surabaya. Atau ke Pintu Kecil di Jakarta.
Ruwet. Salah jalan terus. Banyak cabang kembar. Ada yang belok kiri dan belok agak kiri. Tanda panah di Googlenya hanya kiri. Macet pula. Satu jam belum sampai. Perut kian melilit.
Ternyata yang salah saya sendiri. Kurang teliti membaca keterangan di bawah alamat itu: ditutup. Pantesan tidak ketemu-ketemu. Mata saya tadi kan terus ke atas. Ke papan nama. Tidak ada nama itu. Muter lagi. Gak ketemu.
Akhirnya jalan kaki. Ke alamat yang di Google. Ups. Dari dekat baru ketahuan: ditutup. Karena renovasi. Tidak ada pengumuman sampai kapan.
Ya sudah.
Sejak awal sopir saya sudah keberatan saya ke situ. Tidak jelas alasannya. Rupanya karena ruwetnya daerah itu. Aneh juga. Host acara tv Amerika pilih makan di situ.
Tapi, ternyata, sopir punya alasan khusus. “Itu masakan Armenia,” katanya.
Suku Armenia memang punya sejarah panjang di Lebanon. “Itu tadi tidak halal,” kata sang sopir.
Ya sudah.
Seandainya sejak awal diberitahu. Saya kan tidak ke situ. Berlapar-lapar. Atau tetap ke situ. Ingin tahu.
Akhirnya saya keluarkan kata-kata sapujagat: carikan restoran apa saja. Yang penting dekat. Terserah Anda.
Waktu melewati KFC saya bilang: stop. Di situ saja.
Sopir tidak mau.
Waktu melewati restoran Sushi saya bilang: stop. Di sushi itu saja.
Sopir tidak mau.
“Satu menit lagi,” katanya.
Ya sudah.
Saya sudah tahu. Tidak mungkin satu menit lagi. Pun lima menit. Saya sudah hafal kelakuannya. Tapi sepuluh menit pun saya belum akan meninggal dunia.
Ya sudah.
Berapa menit pun. Saya harus sabar.
Saya ini yang punya uang, pikir saya, kok tidak berkuasa sama sekali.
Ternyata saya dibawa ke restoran ‘Abdul Wahab’. Bisa saya baca dari huruf Arab yang menempel itu.
Wow. Keren sekali. Elit modern. Bukan elit mewah.
Saya lihat ada satu meja panjang penuh dengan canda. Beberapa dari meja itu berpakaian ayatullah. Beberapa wanita pakai jilbab. Beberapa lagi wanita rambut urai.
“Heran juga banyak orang Syiah makan di sini” bisik sopir saya. Melihat para ayatullah itu.
“Kenapa heran?,” bisik saya.
“Ini kan restorannya orang Kristen,” jawabnya.
Selera ternyata mengalahkan apa saja.
“Dari mana Anda tahu restoran ini enak? “ tanya saya.
“Banyak tamu minta diantar ke sini,” katanya.
Saya pun minta berfoto dengan orang-orang Syiah itu. Saya perkenalkan diri: asal saya.
Mereka menyilakan saya ikut duduk di meja panjang itu. Saya memilih meja yang lain.
Saya ingin bebas memilih menu.
Saya pun memesan sup lentil. Biji-bijian yang disebut dalam Injil. Khas meditaranian. Seperti zaitun disebut dalam Quran. Khas meditaranian. Saya juga memesan kebbeh. Mirip ontok-ontok Banjar. Atau jemblem Jawa. Hanya isinya daging kambing.
Tentu saya juga memesan salad lokal.
Sedang minumnya saya pilih jus promanade. Tidak hanya di resto Abdul Wahab ini. Makan di mana pun. Jam berapa pun. Minum saya jus pomegranate. Mumpung di Lebanon. Pomegranate manis. Harganya murah. Anti oksidannya tertinggi. Sulit mencarinya di Indonesia.
Sopir saya tidak salah memilihkan resto Kristen Abdul Wahab ini.
Rasanya Anthony Bourdain harus bertanya ke sopir saya. Kalau ia hidup lagi. Dan ingin makan di Beirut lagi. (Dahlan Iskan)