29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:08 AM WIB

Sepatu Siapa Takut

Oleh Dahlan Iskan

Dari Beirut saya terbang ke Istanbul. Hanya satu jam setengah. Hanya melangkahi pulau Siprus. Di tengah Laut Tengah itu.

Maafkan saya tidak mampir Istanbul. Saya langsung ke stasiun kereta. Ingin melintasi jembatan selat Bosporus lagi. Yang terkenal itu. Yang menghubungkan benua Eropa dan Asia itu.

Bandara tempat saya mendarat memang di daratan Eropa. Di Istanbul belahan Barat. Sedang stasiun keretanya di daratan Asia. Istanbul Timur.

Ternyata saya kecele. Tidak melintasi jembatan itu. “Sekarang sudah ada terowongan bawah laut. Jalan di atas macet,” ujar sopir taksi.

Ya sudah.
Tidak masalah.
Toh saya pasti akan ke Istanbul lagi. Pulangnya kelak.

Saya memang akan ke pedalaman Turki dulu. Ke Konya. Ke makam Maulana Jalaluddin Rumi itu. Lalu ke daerah yang lebih dalam lagi: Afyon. Untuk melihat perekonomian Turki. Sampai di pedalamannya. Saya tidak mau tertipu. Oleh kota-kota besarnya.

Dari Afyon kelak rencana saya ke Antalya. Lalu Izmir. Baru terakhir nanti ke Istanbul: tahun depan. 1 Januari 2019.

Untuk ke Konya itulah saya harus mampir Ankara. Ibukota Turki. Saya pilih naik kereta. Meski untuk cepatnya bisa naik pesawat.

Kali ini saya tidak akan kesusu-kesusu. Kesusu – – apalagi kemrungsung– tidak cocok dengan jiwa Maulana Rumi. Sekalian saya akan menikmati keretanya. Sambil menyelami sistem perkereta apian di Turki.

Baru kali ini saya bisa punya waktu sebaik itu. Terima kasih Rumi.

Tentu saya harus bermalam di Ankara. Sudah terlalu senja. Apalagi ada siaran langsung pertandingan Liverpool malam itu. Malamnya ada lagi: Manchester City. Yang kali ini saya terpaksa harus melihatnya. Dengan alasan: Ssssttt…! Rahasia.

Sudah terlalu lama saya dibuli profesor Said Didu. Saya ganti ingin merasakan bagaimana perasaan hatinya. Kalau Manchester City kalah lagi. Tapi saya berjanji: tidak akan membuli beliau.

Baru satu jam di kereta, sesuatu turun deras dari langit: hujan salju. Tidak saya sangka. Oh…indahnya. Seindah keringnya Sumba.

Tentu. Kereta ini pakai pemanas.
Hangat.
Lapar.
Saya mencari gerbong cafe. Sejak pagi belum makan.

Ada di gerbong 2. Ramai. Antre. Anak muda itu baik. Menyilakan saya duduk di satu kursi kosong di sebelahnya.Lalu mengajak ngobrol. Memperlancar bahasa Inggrisnya. Dikira bahasa Inggris saya lebih baik.

Padahal ssstttt…! Rahasia.

Saya membuka menu. Mata saya mendadak hijau. Semua makanan seperti ingin saya lahap. Ada kebab. Ada doner. Ada kebab dan doner. Ada doner dan kebab. Rasanya hanya dua jenis itu makanan Turki yang saya hafal namanya. Sayang perut hanya satu.

Enak sekali. Seperti yakiniku Jepang. Dengan nasi sepulen beras Jepang. Lezatnya bertambah-tambah. Lantaran ada sisa-sisa minyak dari lemak daging tipis yang menempel di nasi.

Lain hari saya akan naik kereta lagi. Dan memesan itu lagi.

Saya pun makan lahap. Sambil memandang luar jendela. Yang terlihat hanya salju. Dataran salju. Gunung salju. Lembah salju. Sesekali kereta melintas dekat jalan raya. Yang terlihat mobil-mobil lalu-lalang: beratap salju.

Sampai di Ankara pun masih hujan salju.

Di luar stasiun saljunya sangat deras. (“Apakah kata deras cocok juga untuk salju? “). Padahal masih harus nyegat taksi. Padahal topi saya ya yang itu. Padahal saya dilarang dokter berhujan dan berpanas. Saya berdoa: semoga dokter tidak mengkategorikan salju sebagai hujan.

“Ke hotel apa saja,” kata saya pada sopir taksi. “Di mana saja. Bintang berapa saja,” tambah saya.

Saya bicara lewat layar HP. Dalam bahasa Turki. Hasil terjemahan Google.

Jalan di kota Ankara macet berat. Gara-gara hujan salju. Saya mau memotretnya. Tidak kelihatan apa-apa. Langit gelap.

Saya menghabiskan malam itu di hotel saja. Sepatu saya akan basah kalau bersalju-salju. Satu-satunya sepatu.

Kalau begini terus cuacanya ya sudah. Saya pesimistis besoknya bisa ke Konya.

Ya sudah.
Kan masih ada lusa.

Ternyata saya baca pengumuman resmi: besok sekolah libur. Universitas libur. Banyak kantor libur. Salju terlalu tebal.

Malam itu saya pilih ke gym. Bersepeda statis. Nyaris satu jam. Tidur pun ampun-ampun: nyenyak sekali.

Paginya saya ke gym lagi. Bayar utang dua hari. Mumpung gymnya bagus sekali. Bisa sambil lihat salju dari kaca. Bisa lihat orang parkir di atas salju. Bisa lihat pohon-pohon terbebani salju.

Untunglah. Pagi itu saya mampir toko. Sebelum ke stasiun kereta. Menuju Konya. Cari sepatu yang anti salju. Ingin saya sih mencari sepatu yang seminggu rusak. Asal murah. Toh di Indonesia nanti tidak dipakai lagi. Tapi semua sepatu tidak ada yang mingguan.

Ya sudah.

Sepatu kets istirahat dulu.
Kini saya tidak khawatir. Turun lah lebih banyak salju. Siapa takut.(Dahlan Iskan)

Oleh Dahlan Iskan

Dari Beirut saya terbang ke Istanbul. Hanya satu jam setengah. Hanya melangkahi pulau Siprus. Di tengah Laut Tengah itu.

Maafkan saya tidak mampir Istanbul. Saya langsung ke stasiun kereta. Ingin melintasi jembatan selat Bosporus lagi. Yang terkenal itu. Yang menghubungkan benua Eropa dan Asia itu.

Bandara tempat saya mendarat memang di daratan Eropa. Di Istanbul belahan Barat. Sedang stasiun keretanya di daratan Asia. Istanbul Timur.

Ternyata saya kecele. Tidak melintasi jembatan itu. “Sekarang sudah ada terowongan bawah laut. Jalan di atas macet,” ujar sopir taksi.

Ya sudah.
Tidak masalah.
Toh saya pasti akan ke Istanbul lagi. Pulangnya kelak.

Saya memang akan ke pedalaman Turki dulu. Ke Konya. Ke makam Maulana Jalaluddin Rumi itu. Lalu ke daerah yang lebih dalam lagi: Afyon. Untuk melihat perekonomian Turki. Sampai di pedalamannya. Saya tidak mau tertipu. Oleh kota-kota besarnya.

Dari Afyon kelak rencana saya ke Antalya. Lalu Izmir. Baru terakhir nanti ke Istanbul: tahun depan. 1 Januari 2019.

Untuk ke Konya itulah saya harus mampir Ankara. Ibukota Turki. Saya pilih naik kereta. Meski untuk cepatnya bisa naik pesawat.

Kali ini saya tidak akan kesusu-kesusu. Kesusu – – apalagi kemrungsung– tidak cocok dengan jiwa Maulana Rumi. Sekalian saya akan menikmati keretanya. Sambil menyelami sistem perkereta apian di Turki.

Baru kali ini saya bisa punya waktu sebaik itu. Terima kasih Rumi.

Tentu saya harus bermalam di Ankara. Sudah terlalu senja. Apalagi ada siaran langsung pertandingan Liverpool malam itu. Malamnya ada lagi: Manchester City. Yang kali ini saya terpaksa harus melihatnya. Dengan alasan: Ssssttt…! Rahasia.

Sudah terlalu lama saya dibuli profesor Said Didu. Saya ganti ingin merasakan bagaimana perasaan hatinya. Kalau Manchester City kalah lagi. Tapi saya berjanji: tidak akan membuli beliau.

Baru satu jam di kereta, sesuatu turun deras dari langit: hujan salju. Tidak saya sangka. Oh…indahnya. Seindah keringnya Sumba.

Tentu. Kereta ini pakai pemanas.
Hangat.
Lapar.
Saya mencari gerbong cafe. Sejak pagi belum makan.

Ada di gerbong 2. Ramai. Antre. Anak muda itu baik. Menyilakan saya duduk di satu kursi kosong di sebelahnya.Lalu mengajak ngobrol. Memperlancar bahasa Inggrisnya. Dikira bahasa Inggris saya lebih baik.

Padahal ssstttt…! Rahasia.

Saya membuka menu. Mata saya mendadak hijau. Semua makanan seperti ingin saya lahap. Ada kebab. Ada doner. Ada kebab dan doner. Ada doner dan kebab. Rasanya hanya dua jenis itu makanan Turki yang saya hafal namanya. Sayang perut hanya satu.

Enak sekali. Seperti yakiniku Jepang. Dengan nasi sepulen beras Jepang. Lezatnya bertambah-tambah. Lantaran ada sisa-sisa minyak dari lemak daging tipis yang menempel di nasi.

Lain hari saya akan naik kereta lagi. Dan memesan itu lagi.

Saya pun makan lahap. Sambil memandang luar jendela. Yang terlihat hanya salju. Dataran salju. Gunung salju. Lembah salju. Sesekali kereta melintas dekat jalan raya. Yang terlihat mobil-mobil lalu-lalang: beratap salju.

Sampai di Ankara pun masih hujan salju.

Di luar stasiun saljunya sangat deras. (“Apakah kata deras cocok juga untuk salju? “). Padahal masih harus nyegat taksi. Padahal topi saya ya yang itu. Padahal saya dilarang dokter berhujan dan berpanas. Saya berdoa: semoga dokter tidak mengkategorikan salju sebagai hujan.

“Ke hotel apa saja,” kata saya pada sopir taksi. “Di mana saja. Bintang berapa saja,” tambah saya.

Saya bicara lewat layar HP. Dalam bahasa Turki. Hasil terjemahan Google.

Jalan di kota Ankara macet berat. Gara-gara hujan salju. Saya mau memotretnya. Tidak kelihatan apa-apa. Langit gelap.

Saya menghabiskan malam itu di hotel saja. Sepatu saya akan basah kalau bersalju-salju. Satu-satunya sepatu.

Kalau begini terus cuacanya ya sudah. Saya pesimistis besoknya bisa ke Konya.

Ya sudah.
Kan masih ada lusa.

Ternyata saya baca pengumuman resmi: besok sekolah libur. Universitas libur. Banyak kantor libur. Salju terlalu tebal.

Malam itu saya pilih ke gym. Bersepeda statis. Nyaris satu jam. Tidur pun ampun-ampun: nyenyak sekali.

Paginya saya ke gym lagi. Bayar utang dua hari. Mumpung gymnya bagus sekali. Bisa sambil lihat salju dari kaca. Bisa lihat orang parkir di atas salju. Bisa lihat pohon-pohon terbebani salju.

Untunglah. Pagi itu saya mampir toko. Sebelum ke stasiun kereta. Menuju Konya. Cari sepatu yang anti salju. Ingin saya sih mencari sepatu yang seminggu rusak. Asal murah. Toh di Indonesia nanti tidak dipakai lagi. Tapi semua sepatu tidak ada yang mingguan.

Ya sudah.

Sepatu kets istirahat dulu.
Kini saya tidak khawatir. Turun lah lebih banyak salju. Siapa takut.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/