27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 0:04 AM WIB

Warisan Kejayaan Kerajaan Mengwi, Jadi Perekat Masyarakat

Seperti biasa, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, tumpah ruah ke jalan menggelar tradisi mekotek.

Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana berharap mekotek yang sudah ada sejak ratusan tahun itu bisa menjadi ajang perekat persatuan warga.

 

MAULANA SANDIDAYA, Mangupura

“INI (mekotek) agar menjadi tali pengikat persaudaraan antara masyarakat banjar serta dapat menjalin persatuan warga,” ujar Sujana kepada awak media sebelum acara mekotek dimulai kemarin (5/1).

Wajar jika Sujana berharap mekotek bisa memberi semangat persatuan kepada warga. Sebab, tradisi tersebut merupakan warisan nenek moyang pada saat kejayaan Kerajaan Mengwi atas Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur.

Pada zaman dulu mekotek menggunakan tombak. Namun, di zaman Belanda dilarang karena Belanda takut akan diserang mengunakan tombak.

Sebagai gantinya adalah sebilah kayu berukuran sekitar lima meter. Bahkan, Belanda sempat melarang hinga sempat di tiadakan.

Namun, pada saat itu terjadi musibah dan wabah menyerang masyarakat dan para tertuapun melakukan semedi dan mohon petunjuk.

“Atas petunjuk tersebut warga kembali bernegosiasi dengan Belanda untuk tetap diadakan mekotek,” urainya.

Mekotek diawali mendak tamyang dan memohon keselamatan di pura desa dan di Pura Beten Binggin diujung selatan Desa Munggu.

Dengan mengenakan busana adat madya serba putih, warga yang mengikuti tradisi tersebut dipercikan tirta (air suci).

Batang kayu yang dibawa kemudian disatukan dan membentuk gunungan. Batang kayu yang disatukan tersebut juga menimbulkan suara tek-tek yang kemudian menjadi cikal bakal upacara tersebut disebut mekotek.

Saat itulah perwakilan peserta memanjat tongkat yang telah membentuk piramida tersebut. Saat seorang berada di atas tongkat, tongkat terus bergerak.

Suasana semakin semarak dengan alunan alat musik tradisional gong beleganjur. Semakin riuhnya suara gong membuat sejumlah warga yang menyaksikanya menjadi tegang,

bahkan sesekali berteriak saat menyaksikan tongkat yang dipanjat tersebut miring hingga jatuh ke tanah. (*)

Seperti biasa, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, tumpah ruah ke jalan menggelar tradisi mekotek.

Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana berharap mekotek yang sudah ada sejak ratusan tahun itu bisa menjadi ajang perekat persatuan warga.

 

MAULANA SANDIDAYA, Mangupura

“INI (mekotek) agar menjadi tali pengikat persaudaraan antara masyarakat banjar serta dapat menjalin persatuan warga,” ujar Sujana kepada awak media sebelum acara mekotek dimulai kemarin (5/1).

Wajar jika Sujana berharap mekotek bisa memberi semangat persatuan kepada warga. Sebab, tradisi tersebut merupakan warisan nenek moyang pada saat kejayaan Kerajaan Mengwi atas Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur.

Pada zaman dulu mekotek menggunakan tombak. Namun, di zaman Belanda dilarang karena Belanda takut akan diserang mengunakan tombak.

Sebagai gantinya adalah sebilah kayu berukuran sekitar lima meter. Bahkan, Belanda sempat melarang hinga sempat di tiadakan.

Namun, pada saat itu terjadi musibah dan wabah menyerang masyarakat dan para tertuapun melakukan semedi dan mohon petunjuk.

“Atas petunjuk tersebut warga kembali bernegosiasi dengan Belanda untuk tetap diadakan mekotek,” urainya.

Mekotek diawali mendak tamyang dan memohon keselamatan di pura desa dan di Pura Beten Binggin diujung selatan Desa Munggu.

Dengan mengenakan busana adat madya serba putih, warga yang mengikuti tradisi tersebut dipercikan tirta (air suci).

Batang kayu yang dibawa kemudian disatukan dan membentuk gunungan. Batang kayu yang disatukan tersebut juga menimbulkan suara tek-tek yang kemudian menjadi cikal bakal upacara tersebut disebut mekotek.

Saat itulah perwakilan peserta memanjat tongkat yang telah membentuk piramida tersebut. Saat seorang berada di atas tongkat, tongkat terus bergerak.

Suasana semakin semarak dengan alunan alat musik tradisional gong beleganjur. Semakin riuhnya suara gong membuat sejumlah warga yang menyaksikanya menjadi tegang,

bahkan sesekali berteriak saat menyaksikan tongkat yang dipanjat tersebut miring hingga jatuh ke tanah. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/