26.5 C
Jakarta
21 November 2024, 2:41 AM WIB

“Tidak Cukup Sosialisasi, Pemerintah Mesti Konsisten Batasi Plastik”

Gede Robi Surpriyanto, frontman, vokalis band Navicula dikenal sebagai pegiat lingkungan yang getol berkampanye menentang

penggunaan plastik berlebihan yang membuat kerusakan parah lingkungan. Berikut petikan wawancara Jawa Pos Radar Bali, Maulana Sandijaya dengannya. 

 

 

Apa yang membuat Anda begitu getol untuk kampanye memberantas penggunaan kantong plastik?

Konsep awal band ini (Navicula) dibentuk memang untuk amplifikasi (menyuarakan) isu yang kami anggap penting. Salah satunya isu lingkungan.

Kami mendengungkan isu bahaya sampah plastik ini sejak 2003. Saya tidak peduli motif lahirnya regulasi tentang pembatasan plastik, yang jelas kami mendukung selama

itu bertujuan menyelamatkan lingkungan. Karena sudah puluhan tahun lalu banyak yang berkampanye tentang lingkungan tapi belum juga gol.

 

Apa yang membuat kampanye antiplastik ini bisa sukses?

Menurut saya, ada tiga pilar yang harus bersinergi dan bergerak bersama. Pertama masyarakat, kedua corporate, dan ketiga pemerintah.

Sekarang waktunya bergerak bersama menyelamatkan lingkungan dari plastik. Sebenarnya sekarang baru bergerak saja sudah terlambat. Tapi, saya pikir tidak mengapa, daripada tidak sama sekali.

 

Apa saja cara Anda mengampanyekan?

Kami akan merilis film seri berjudul Pulau Plastik. Film ini hasil kolaborasi Navicula dengan berbagai elemen, salah satunya National Geographic. Rencananya rilis 2019 ini.

Tapi, untuk trailernya sudah kami pakai dalam berbagai kesempatan. Semua ini untuk mendukung kebijakan pemerintah memerangi plastik sekaligus sosialisasi tentang bahaya plastik.

 

Apa menurut Anda dampak yang paling berbahaya dari sampah plastik di Bali saat ini?

Parah banget! Statsitiknya mencengangkan, ada jutaan sedotan plastik dan kantong plastik yang digunakan per tahun di Indonesia termasuk Bali.

Sebenarnya yang dijual pariwisata Bali itu kan alam dan budaya. Kan tidak mungkin menjual parwisata yang isinya sampah plastik.

Baru-baru ini banyak surfer protes karena banyak sampah plastik di laut. Kita sudah tidak bisa berdiplomasi ala politisi, bahwa ini sampah kiriman pulau sebelah dan lainnya.

Kita di Bali juga harus fair, jika pengelolaan sampah di Bali masih sangat primitif. Sampah dikumpulkan kemudian dibawa ke TPA. Padahal, itu baru satu fase saja.

Kita belum bisa memisahkan sampah rumah tangga. Kita juga belum memiliki sistem bisa mendaur ulang. Yang dilakukan sekarang masih jangka pendek.

 

Menurut Anda apakah Pergub Nomor 97 tahun 2018 untuk membatasi sampah plastik ini bisa mengurangi dampak penggunaan?

Saya percaya. Karena di beberapa negara begitu pajak plastik dinaikkan atau dibebankan pada konsumen, penggunaan plastik bisa menurun. Contohnya di Irlandia. Sekarang ini tergantung konsistensinya pemerintah.

 

Menurut Anda apakah nanti praktik untuk melaksanakannya? Apakah akan dilakukan sosialisasi ke masyarakat?

Yang pertama tentu harus sosialisasi. Kami berharap sosialisasi dilakukan seperti tahun 80-an, saat pemerintah sosialiasi keluarga berencana (KB) dua anak.

Pemerintah tidak hanya melalu media, tapi datang door to door ke rumah. Hasilnya sangat efektif. 

Kami juga mendesak perusahaan agar mengurangi produk kemasan kecil, seperti minuman kemasan ukuran gelas dan sedotan.

Kami akan kawal terus. Harapan kami agar pemerintah konsisten. Tidak seperti kebijakan pajak plastik sebelumnya,

yang baru beberapa bulan diterapkan sudah dicabut. Perlu juga tekanan terhadap corporate agar tidak mengeluarkan sachet atau kemasan plastik kecil.

 

Peran adat apakah diperlukan?

Saya pribadi melihat masyarakat adat masih belum serius menyikapi bahaya plastik, walaupun di level akar rumput sudah ada komunitas yang serius.

Saya pribadi menilai dari segi adat ternyata penggunaan plastik meningkat tiga kali saat ada piodalan. Saya sendiri sebagai orang Bali menilai tujuan upacara itu kan menyucikan jagat,

sangat ironis jika menyucikan jagat tapi kita mengotorinya. Adat sebagai pemerintah informal harus terlibat bersama-sama.

 

Bagaimana kira-kira pola sosialisasi yang efektif ?

Konsistensi regulasi. Kita harus berpikir tidak sekadar memungut sampah di pantai, tapi kita juga harus mencegah sampah masuk ke sungai.

Kita juga harus berpikir lebih ke hulu lagi, jangan membuang sampah ke kanal atau got. Yang kita inginkan adalah kesadaran permanen semua komponen.

 

Apakah program pembatasan ini bisa efektif?

Kalau tiga pilar tadi bergerak bareng, saya yakin bisa menjadi cepat terwujud. Semua ini bukan hal mustahil selagi ada kemauan.

 

Mana saja yang disasar?

Sementara ini paling gampang mendata toko modern. Setelah itu baru pasar tradisional, tentu harus dibarengi kesadaran masyarakatnya. Yang jelas kami mendukung semua kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik. 

Gede Robi Surpriyanto, frontman, vokalis band Navicula dikenal sebagai pegiat lingkungan yang getol berkampanye menentang

penggunaan plastik berlebihan yang membuat kerusakan parah lingkungan. Berikut petikan wawancara Jawa Pos Radar Bali, Maulana Sandijaya dengannya. 

 

 

Apa yang membuat Anda begitu getol untuk kampanye memberantas penggunaan kantong plastik?

Konsep awal band ini (Navicula) dibentuk memang untuk amplifikasi (menyuarakan) isu yang kami anggap penting. Salah satunya isu lingkungan.

Kami mendengungkan isu bahaya sampah plastik ini sejak 2003. Saya tidak peduli motif lahirnya regulasi tentang pembatasan plastik, yang jelas kami mendukung selama

itu bertujuan menyelamatkan lingkungan. Karena sudah puluhan tahun lalu banyak yang berkampanye tentang lingkungan tapi belum juga gol.

 

Apa yang membuat kampanye antiplastik ini bisa sukses?

Menurut saya, ada tiga pilar yang harus bersinergi dan bergerak bersama. Pertama masyarakat, kedua corporate, dan ketiga pemerintah.

Sekarang waktunya bergerak bersama menyelamatkan lingkungan dari plastik. Sebenarnya sekarang baru bergerak saja sudah terlambat. Tapi, saya pikir tidak mengapa, daripada tidak sama sekali.

 

Apa saja cara Anda mengampanyekan?

Kami akan merilis film seri berjudul Pulau Plastik. Film ini hasil kolaborasi Navicula dengan berbagai elemen, salah satunya National Geographic. Rencananya rilis 2019 ini.

Tapi, untuk trailernya sudah kami pakai dalam berbagai kesempatan. Semua ini untuk mendukung kebijakan pemerintah memerangi plastik sekaligus sosialisasi tentang bahaya plastik.

 

Apa menurut Anda dampak yang paling berbahaya dari sampah plastik di Bali saat ini?

Parah banget! Statsitiknya mencengangkan, ada jutaan sedotan plastik dan kantong plastik yang digunakan per tahun di Indonesia termasuk Bali.

Sebenarnya yang dijual pariwisata Bali itu kan alam dan budaya. Kan tidak mungkin menjual parwisata yang isinya sampah plastik.

Baru-baru ini banyak surfer protes karena banyak sampah plastik di laut. Kita sudah tidak bisa berdiplomasi ala politisi, bahwa ini sampah kiriman pulau sebelah dan lainnya.

Kita di Bali juga harus fair, jika pengelolaan sampah di Bali masih sangat primitif. Sampah dikumpulkan kemudian dibawa ke TPA. Padahal, itu baru satu fase saja.

Kita belum bisa memisahkan sampah rumah tangga. Kita juga belum memiliki sistem bisa mendaur ulang. Yang dilakukan sekarang masih jangka pendek.

 

Menurut Anda apakah Pergub Nomor 97 tahun 2018 untuk membatasi sampah plastik ini bisa mengurangi dampak penggunaan?

Saya percaya. Karena di beberapa negara begitu pajak plastik dinaikkan atau dibebankan pada konsumen, penggunaan plastik bisa menurun. Contohnya di Irlandia. Sekarang ini tergantung konsistensinya pemerintah.

 

Menurut Anda apakah nanti praktik untuk melaksanakannya? Apakah akan dilakukan sosialisasi ke masyarakat?

Yang pertama tentu harus sosialisasi. Kami berharap sosialisasi dilakukan seperti tahun 80-an, saat pemerintah sosialiasi keluarga berencana (KB) dua anak.

Pemerintah tidak hanya melalu media, tapi datang door to door ke rumah. Hasilnya sangat efektif. 

Kami juga mendesak perusahaan agar mengurangi produk kemasan kecil, seperti minuman kemasan ukuran gelas dan sedotan.

Kami akan kawal terus. Harapan kami agar pemerintah konsisten. Tidak seperti kebijakan pajak plastik sebelumnya,

yang baru beberapa bulan diterapkan sudah dicabut. Perlu juga tekanan terhadap corporate agar tidak mengeluarkan sachet atau kemasan plastik kecil.

 

Peran adat apakah diperlukan?

Saya pribadi melihat masyarakat adat masih belum serius menyikapi bahaya plastik, walaupun di level akar rumput sudah ada komunitas yang serius.

Saya pribadi menilai dari segi adat ternyata penggunaan plastik meningkat tiga kali saat ada piodalan. Saya sendiri sebagai orang Bali menilai tujuan upacara itu kan menyucikan jagat,

sangat ironis jika menyucikan jagat tapi kita mengotorinya. Adat sebagai pemerintah informal harus terlibat bersama-sama.

 

Bagaimana kira-kira pola sosialisasi yang efektif ?

Konsistensi regulasi. Kita harus berpikir tidak sekadar memungut sampah di pantai, tapi kita juga harus mencegah sampah masuk ke sungai.

Kita juga harus berpikir lebih ke hulu lagi, jangan membuang sampah ke kanal atau got. Yang kita inginkan adalah kesadaran permanen semua komponen.

 

Apakah program pembatasan ini bisa efektif?

Kalau tiga pilar tadi bergerak bareng, saya yakin bisa menjadi cepat terwujud. Semua ini bukan hal mustahil selagi ada kemauan.

 

Mana saja yang disasar?

Sementara ini paling gampang mendata toko modern. Setelah itu baru pasar tradisional, tentu harus dibarengi kesadaran masyarakatnya. Yang jelas kami mendukung semua kebijakan pembatasan penggunaan kantong plastik. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/