RadarBali.com – Banyak bahan menjadi “dagangan politik” setiap perhelatan politik, termasuk di Bali. Tak terkecuali kaum disabilitas acap menjadi subjek pencitraan.
Sesuai Undang- Undang RI No. 4 Tahun 1997, kaum cacat alias disabilitas digolongkan mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual, diakui kerap menjadi mainan politik.
Ini bukan sebatas tengara. Didon Kajeng, salah seorang aktor seni teater Bali yang berstatus penyandang tuna netra mengakui sering dimanfaatkan politisi.
“Kami ini butuh pekerjaan. Bukan diajak kemah atau berlibur seperti yang beberapa kali dilakukan oleh elite politik kita di Bali ini,” ungkap Didon kepada Jawa Pos Radar Bali.
Didon yang kala mementaskan lakon Nyanyian Angsa karya Anton Chekov di rumah sutradara Abu Bakar 2015 masih berstatus nyaris buta menyebut dia dan rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas belum memperoleh perlakuan yang sama dengan orang normal pada umumnya.
“Idealnya kalau memang ada politikus yang peduli pada kami yang cacat ini, berikanlah pekerjaan. Kami butuh uang untuk menyambung hidup,” jelasnya sambil memainkan ponsel pintar yang telah dilengkapi fitur khusus untuk penyandang tuna netra.
Ditanyai apakah ada rekannya sesama penyandang disabilitas yang bekerja, Didon menjawab ada. Namun yang menerimanya adalah perusahaan swasta yang dikelola oleh warga negara asing (WNA).
“Intinya pemimpin kita, apalagi elite politik belum memperhatikan soal ini. Ya, kalau memang tidak peduli saya harap kami tidak dijadikan “dagangan politik,” tegas pria yang selain getol berkesenian juga lihai merangkai bunga tersebut.
Didon juga menyebut fasilitas untuk penyandang kaum disabilitas di Kota Denpasar belum bisa dinikmatinya dengan maksimal. Bila pun ada, fasilitas tersebut telah diserobot oleh masyarakat umum.