DENPASAR – Berbagai kalangan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menganulir pemberian grasi terhadap I Nyoman Susrama, otak pembunuhan berencana wartawan Jawa Pos Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Grasi tersebut dinilai mengancam kebebasan pers di masa mendatang. “Kami sangat menyayangkan grasi ini. Grasi untuk Susrama bisa menjadi preseden buruk,
pemerintah seperti menoleransi kasus pembunuhan terhadap wartawan,” tandas Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kepada Jawa Pos Radar Bali, kemarin (22/1).
Ditegaskan, grasi tersebut juga seperti memberi kesan permakluman terhadap pelaku pembunuhan yang mendapat hukuman seumur hidup.
Abdul Manan menilai hukuman seumur hidup untuk Susrama sangat layak. Ini karena pembunuhan merupakan aksi kejahatan paling tinggi, yang semestinya tidak berhak mendapat grasi.
Terlebih kejahatan tersebut dilakukan terhadap seseorang yang sedang menjalankan profesinya.
“Hukuman seumur hidup juga menjadi pesan penting kepada semua orang di masa depan. Ketika ada masalah dengan pemberitaan, jangan menggunakan kekerasan,” tuturnya.
Presiden tidak perlu memberikan keringanan menjadi hukuman 20 tahun penjara dengan dalih apapun. Ada sejumlah pertimbangan kenapa Susrama tidak berhak mendapat grasi.
Pertama karena kasus pembunuhan Prabangsa merupakan satu-satunya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang berhasil diusut tuntas hingga ke pengadilan.
“Tidak mudah mengungkap kasus ini karena terpidana (Susrama) adalah keluarga politisi atau orang kuat di Bali,” beber jurnalis senior itu.
Selain itu, penegak hukum dalam hal ini polisi dan jaksa harus memeras otak agar dalang pembunuhan terhadap Prabangsa bisa diungkap.
Setelah sampai di pengadilan pun jaksa harus adu bukti untuk membuka kebenaran di muka majelis hakim. Atas dasar itu, pemberian grasi ini dianggap menodai kerja keras penegak hukum.
“Kami minta kepada presiden agar mencabut grasi untuk Susrama,” tandasnya.