RadarBali.com – September jadi bulan khusus parade Cak Modern di ajang Bali Mandara Nawanatya yang sempat jeda dua bulan.
Parade Cak Modern resmi dimulai Sabtu (3/9) malam di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Denpasar.
Kali pertama yang mendapat kesempatan tampil adalah SMA Bali Mandara Buleleng. Mereka mengangkat cerita Amejah Timiraning Nata, Wit I Gusti Pani Kaparinama. Sebuah kisah yang terjadi di Buleleng.
Cerita yang diangkat para parade tersebut terbilang cukup berbeda. Pasalnya, cak identik dengan cerita Ramayana.
Sedang cerita yang diangkat pada parade ini bukan cerita Ramayana. “Kami mengangkat cerita ini karena di Buleleng cerita tentang Ki Panji Sakti sudah terkenal. Makanya kami pilih cerita lain,” tutur Kepala SMAN Bali Mandara, I Nyoman Darta usai pementasan.
Menurut Darta, pementasan dari anak-anak muridnya ini juga mengandung pesan moral yang cukup mendalam.
“Dan pesan yang ingin sampaikan dari pementasan ini adalah seorang pemimpin harus peka dengan kemiskinan yang dialami rakyatnya,” tambah Darta.
Untuk bisa menampilkan parade cak sebagus itu, kata Darta, kunci suksesnya adalah disiplin. Penampilan mereka pun diapresiasi pakar seni Prof I Wayan Dibia.
“Sesungguhnya cak tidak harus selalu cerita epos Ramayana. Bisa cerita Mahabrata atau cerita lainnya di luar Ramayana dan Mahabrata. Itu menunjukkan keterbukaan cak,” ujar Dibia.
Hanya saja Dibia merasa terganggu menjelang akhir pertunjukan. Ketika ilustrasi musik terlalu keras sehingga menenggelamkan suara cak dari para penari.
“Semakin mengganggu ketika suara drum menenggelamkan vokal kuat penari. Itu yang tidak mereka perhitungkan. Mereka hanya sekedar ramai-ramai saja. Itu yang perlu diperbaiki,”sarannya.