Tahun Baru Imlek selalu menjadi momen istimewa bagi keluarga besar Kapitan Liem Liang An, petinggi di kalangan masyarakat Tionghoa pada era kolonial silam.
Imlek menjadi momentum untuk berkumpul keluarga besar. Jawa Pos Radar Bali sempat merasakan kehangatan momen tersebut. Seperti apa?
EKA PRASETYA, Singaraja
LIEM Tjong Hin, 68, terlihat sangat khusyuk. Ia tengah berdoa di hadapan altar leluhurnya. Beberapa keluarganya yang lain juga bergantian melakukan persembahyangan yang sama.
Persembahyangan itu dilakukan pada sebuah nyolo (rumah ibadah keluarga) yang terletak di Jalan WR. Supratman, Singaraja.
Hampir seluruh keluarganya datang pulang kampung ke Singaraja. Entah itu yang tinggal di Jembrana, Jember, hingga Surabaya.
Keluarga Liem Tjong Hin termasuk salah satu keluarga Tionghoa yang Bhinneka Tunggal Ika. Ia punya delapan saudara, lima laki-laki dan tiga perempuan.
Belum lagi kerabatnya yang lain. Tak semuanya memeluk agama Kong Hu Cu. “Macam-macam agamanya. Ada yang Hindu, Katolik, Islam, pokoknya semua agama itu ada.
Keluarga kami ini bhinneka tunggal ika. Tapi kalau sudah Imlek, ya kumpul semua di Singaraja. Saling silaturahmi,” kata Liem Tjong Hin.
Keluarga Liem Tjong Hin terbilang besar. Mereka merunut pada sosok Liem Liang An yang notabene kakek buyut Tjong Hin.
Liang An sendiri dikenal sebagai seorang Kapitan Tiongkok pada tahun 1800-an. Kapitan merupakan gelar bagi para petinggi di kalangan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Asia Tenggara – termasuk di Indonesia.
Liang An juga diketahui sebagai pemilik lemari besi yang kini dikoleksi Museum Buleleng. Liem Liang An kemudian punya putra yang bernama Kapitan Liem Bing Sun.
Liem Bing Sun lantas memiliki keturunan bernama Liem Seng King. Liem Seng King pun memiliki keturunan Liem Tjong Hin.
Khusus Tjong Hin, kini sudah memiliki cicit. Jadi jika dirunut, ada tujuh turunan keluarga besar Liem Liang An yang berkumpul di Singaraja.
Biasanya keluarga sudah berkumpul bersama sehari sebelum Imlek. Saat itu saudara kandung Liem Tjong Hin sudah berkumpul melakukan persembahyangan Imlek.
Tepat pada hari raya Imlek, baru keluarga besar lainnya berdatangan. Melakukan persembahyangan sekaligus silaturahmi.
“Kalau Imlek ya begini ini. Pasti semua keluarga besar datang. Ada yang datang sehari sebelum Imlek, pas Imlek, kadang ada juga yang setelah Imlek. Saya sebagai anak lelaki tertua ya harus siap menyambut di nyolo ini,” ucapnya.
Saat disinggung soal sosok Kapitan Liem Liang An, Tjong Hin mengaku dirinya tidak tahu banyak. Ia hanya tahu Liang An adalah leluhur di keluarganya yang pertama kali menjejakkan kaki di Bali.
Catatan keluarga pun tak ada yang tersisa. Sebab Kapitan Liem Bing Sun sempat diseret keluar dari rumahnya yang terletak di Jalan Surapati (kini SMPN 3 Singaraja) oleh tentara Jepang.
Saat itu pula seluruh dokumen yang tersimpan dalam rumah dibakar habis. Termasuk silsilah keluarga. Rumah itu kemudian diduduki Jepang.
Praktis selama ini ia hanya mendapat cerita lisan dari ayahnya. Saat pendudukan Jepang itu, tak banyak harta keluarga yang bisa diselamatkan.
Benda-benda yang tersisa kini dijadikan pusaka keluarga. Diantaranya sebilah tombak, dua buah parang, sebuah kotak kotak tempat perhiasan, sebuah plakat kayu, sebuah wadah hio, serta beberapa porselen yang berasal dari Tiongkok.
Pusaka-pusaka itu pun hanya dikeluarkan saat Imlek dan dipajang di nyolo. Selain Imlek, pusaka itu disimpan keluarga.
Liem Tjong Hin sendiri mengaku bersyukur dirinya masih bisa bertemu dengan keluarga besar tiap tahun baru Imlek.
Terutama pada tahun babi emas ini. Ia berharap keluarga besarnya terus diberi kesehatan serta rejeki oleh Yang Kuasa. (*)