Oleh: Dahlan Iskan
Tinggal lima hari lagi. Batas gencatan senjata perang dagang itu. Antara Amerika dan Tiongkok itu.
Jumat kemarin (22/2/2019) perundingan keempat dilakukan lagi. Giliran tempatnya di Washington DC. Di gedung tua. Dibangun tahun 1887. Yang juga kantor wakil presiden Amerika. Namanya: Eisenhower Executive Office Building. Beberapa pejabat tinggi presiden juga berkantor di situ. Letaknya di sebelah Gedung Putih.
Tidak ada sinyal apa pun yang bisa dipegang: perundingan itu akan berhasil atau tidak. Sebelum tanggal 1 Maret depan. Kalau tidak, perang berlanjut. Bahkan lebih seru. Bea masuk barang Tiongkok dinaikkan lagi. Entah Tiongkok. Akan melakukan tit for tat lagi atau tidak.
Hanya ada satu sinyal dari Amerika. Pun satu sinyal dari Tiongkok. Tapi sulit dipegang. Kadang Presiden Donald Trump mengindikasikan kabar baik. Seperti “banyak kemajuan dalam perundingan”. Kadang mengunggah tweet sebaliknya.
Sesekali keluar ancamannya: tidak akan ada kesepakatan. Kecuali lewat keputusannya.
Dari ucapan itu muncul spekulasi: Trump akan ketemu Xi Jinping lagi. Secara pribadi. Tanggal paling logis adalah 27 Februari. Di Vietnam. Di sela-sela pertemuan Trump dengan Kim Jong-Un.
Tapi rencana itu lantas dibatalkan. Saat perundingan lagi seret.
Sepanjang 90 hari masa gencatan senjata suasana tidak menentu. Pun harga saham di pasar modal. Kadang harga saham naik. Tiba-tiba anjlok. Lalu naik lagi. Anjlok lagi. Sungguh menguntungkan perang dagang ini. Bagi pedagang saham: bisa untung saat harga saham naik. Tetap untung saat harganya turun.
Dari Tiongkok sinyalnya juga samar-samar. Seperti: siap memperkecil defisit perdagangan Amerika. Atau: siap impor lebih banyak kedelai dari sana. Atau lagi: tidak akan melakukan tit for tat.
Tapi juga ada sinyal kuat: tidak! Kalau harus mengubah struktur ekonominya. Tiongkok tidak akan mau. Misalnya: harus meliberalkan mata uang yuan. Atau menswastakan secara total BUMN-nya.
Soal Sabrina Meng, CFO Huawei, ada indikasi akan dibebaskan. April nanti atau Mei. Yang jelas sidang pertamanya ditunda. Yang mestinya tanggal 6 Februari lalu. Menjadi 6 Maret depan. Kalau tidak ditunda lagi.
Meng kini tetap tahanan rumah. Di Vancouver, Kanada. Tetap pula dipasangi gelang digital di kakinya. Agar bisa diketahui. Anak pendiri Huawei itu ke mana saja.
Sumber sinyal Tiongkok itu jelas. Siapa yang bicara. Jabatannya apa. Tapi jabatannya itu tidak terlalu tinggi. Baik di pemerintahan maupun di jajaran partai komunis.
Waktu pun kian mepet. Apa yang akan terjadi dalam lima hari ke depan?
Industri di Amerika pun mulai teriak. Terutama yang terkait dengan bahan baku baja. Puluhan perusahaan sudah minta dispensasi. Agar boleh impor baja dari Tiongkok. Tanpa bea masuknya 25 persen.
Sejak terjadi perang dagang harga baja naik. Industri mobil terbebani. Produksi baja dalam negeri tidak bisa otomatis dinaikkan.
Di dalam negeri Tiongkok juga terasa. Kelesuan ekonomi mulai terbaca. Pemerintah berusaha mengatasi. Dengan menggelontorkan kredit baru. Untuk pengusaha swasta dan kecil menengah. Nilainya mencapai –tarik nafas– sekitar Rp 1.500 triliun.
Bisa baik. Bisa juga buruk. Peredaran uang di masyarakat bawah akan bertambah. Tapi ratio hutang di Tiongkok bisa dalam bahaya.
Kemarin Presiden Trump mengunggah sinyal yang lain lagi: bisa saja batas waktu 1 Maret diundur. “Apalah artinya tanggal. Itu kan bukan angka sakral,” kata tweetnya.
Lebih dari itu Trump tiba-tiba seperti memberi angin pada Huawei. “Amerika tetap harus paling depan dalam teknologi,” katanya kemarin. Lewat tweetnya. “Tapi jangan dengan cara menghalang-halangi pihak lain,” tambahnya.
Meski tidak menyebut Huawei tapi itulah maksudnya. Belakangan memang terasa benar nuansanya. Amerika tidak rela. Kalau Huawei melangkah lebih cepat. Utamanya di teknologi jaringan 5G.
Tweet terbaru Trump itu membuat Amerika seperti kendaraan yang belok mendadak. Padahal pengikutnya baru saja membuntutinya. Ikut menghambat Huawei. Seperti Australia, Selandia Baru dan negara-negara Eropa.
Minggu lalu perusahaan teknologi Amerika memang baru saja bikin pengumuman. Siap meluncurkan jaringan 5G. Yang diklaim lebih unggul dari Huawei.
Siapa lagi kalau bukan Cisco. Perusahaan Silicon Valley. Di San Jose, California.
Amerika kini sudah lebih tenang. Tidak akan dipermalukan Huawei.
Cisco (nama ini diambil dari nama belakang San Francisco) tinggal bersaing di harga. Apakah bisa lebih murah dari Huawei.
Cisco (yang logonya berupa dua pilar ujung jembatan Golden Gate) memang belum pernah membocorkan kemampuannya itu.
Ren Chengfei sendiri tetap pede. Pendiri Huawei itu tidak mempermasalahkan. Kalau Amerika dan Eropa tidak mau membeli produk Huawei. “Kalau Barat tidak mau masih ada Timur yang bersinar,” katanya pada BBC minggu lalu.
Putrinya ditahan di Kanada pun, katanya, tidak berpengaruh. “Huawei tetap maju. Belakangan malah lebih cepat,” katanya. “Bahkan saya sendiri nanti pergi pun Huawei akan terus maju.”
Perang dagang mungkin reda.
Lima hari lagi.
Sebuah penantian yang menentukan.(dahlan iskan)