25.5 C
Jakarta
21 November 2024, 7:47 AM WIB

Sungguh Keterlaluan

Oleh: Dahlan Iskan

Saya sering baca iklan menyenangkan. Di tengah-tengah berita di luar negeri. Tentang Indonesia.

Isinya: datanglah ke Indonesia. Rasakan penerbangannya. Tarifnya keterlaluan — murahnya.

Seminggu terakhir ini saya tidak lagi melihat iklan seperti itu. Sejak tarif tiket pesawat tidak ‘keterlaluan’ lagi.

Bahkan kini ‘keterlaluan’ — sebaliknya. Bukan saja harga tiketnya naik. Bagasi pun dikenakan biaya.

Sejak itu ada yang beda. Pesawat tidak selalu penuh lagi. Misalnya saat saya ke Pontianak. Sebelum Cap Go Meh. Dengan pesawat Lion. Banyak kursi kosong. Ada pula kesibukan tambahan. Bagi pramugarinya: mengawasi barang bawaan penumpang.

Saya lihat lebih banyak penumpang membawa koper ke cabin. Agar tidak bayar bagasi. Pun koper yang agak berat. Dibawa pula masuk pesawat.

Terpaksa pramugari turun tangan. Koper-koper itu diminta. Untuk diturunkan lagi. Ada petugas yang membawanya turun. Dimasukkan perut pesawat.

Semula sang penumpang menolak. Ngotot. Tapi pramugari tahu apa yang lagi berputar di pikiran penumpang: takut disuruh membayar.

Maka sang pramugari menjelaskan: tidak perlu bayar. Koper itu diturunkan agar tidak memenuhi tempat barang di atas kepala.

Pulang dari Pontianak pemandangan serupa terlihat lagi.

Saya tidak terlalu mikir perubahan aturan itu. Saya jarang bawa koper.

Kadang saya lihat memang tidak masuk akal: apa saja dibawa naik pesawat. Tapi saya juga maklum. Oleh-oleh itu penting. Untuk budaya Asia. Jangan lihat harganya. Harus dilihat niat dalam hatinya.

Sejak tarif baru itu saya juga mencatat perubahan lain: Lion berusaha terbang on time. Seminggu munggu lalu saya empat kali naik Lion. Bukan saja selalu tepat waktu. Lion juga terlihat berusaha keras untuk tepat waktu. Misalnya: boarding lebih awal. Terlihat kru daratnya lebih sigap. Dalam mempersiapkan boarding.

Saking tepatnya saya ketinggalan pesawat. Dari Pontianak ke Jakarta. Padahal hanya telat 10 menit. Saya harus beli tiket lagi penerbangan berikutnya. Saya tidak mengeluh. Dalam hati saya justru menghargai ketepatan waktunya itu.

Saya juga tumben: diminta mengisi survey. Seumur-umur saya baru sekali ini diminta Lion mengisi pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Saya mengisinya dengan sungguh-sungguh. Misalnya ketika ditanya berapa kali naik pesawat. Dalam satu bulan.

Saya mencontreng jawaban terakhir: lebih lima kali.

Saya harus isi itu. Agar saya dimasukkan responden yang penting.

Ketika ditanya paling sering naik pesawat apa, saya jawab dengan sebenarnya: Citilink dan Batik. Bukan Lion.

Pertanyaan lain yang penting tinggal satu: apa yang diutamakan saat memilih pesawat.

Jawaban saya: No. 1 tepat waktu. No. 2 tepat waktu. No. 3 tepat waktu.

Saya memang tidak pernah mempersoalkan ada makanan atau tidak. Disediakan makanan pun sering tidak saya makan. Kuenya pasti manis. Masakannya pasti kalah dengan dapur istri saya. 

Dan lagi saya memilih tidur daripada makan. Sering sekali saya tidak tahu kapan pesawat take off. Sudah tertidur saat pesawat masih taxiing. Saya juga jengkel kalau saat enak-enaknya tertidur dibangunkan. Hanya untuk diberitahu bahwa makanannya sudah datang.

Atau memilih nulis artikel. Untuk DI’s Way. 

Saya juga tidak mempersoalkan duduk di ekonomi atau bisnis. Sama saja. Untuk jarak pendek. Saya hanya harus naik kelas bisnis kalau terbang jarak jauh.

Saat ke Taiwan bulan lalu saya coba rute ‘aneh’: Surabaya-Brunei-Taipei. Ekonomi.

Itu karena saya melihat peta. Posisi Brunei ternyata tepat di tengah garis Surabaya-Taipei. Tegak lurus ke utara.

Kalau lewat Singapura sebenarnya rugi. Pun lewat Kuala Lumpur. Ke barat dulu. Baru ke utara.

Untuk lurus ke utara itu saya pilih Royal Brunei. Surabaya-Brunei dua jam. Brunei-Taipei dua jam. Hanya saja transitnya di Bandar Seri Begawan. Ibukota Brunei. Yang bandaranya sepi. Sunyi sekali. Gak masalah. Toh saya tidak terlalu tergiur dengan keramaian. Sepi itu kadang baik sekali. Untuk dinikmati.

Saya tidak tahu. Apakah Lion serius. Dalam usaha membuat jadwalnya lebih tepat. Yang selama ini dikenal sebagai keterlaluan: kegemaran telatnya.

Saya coba penerbangan murah ke Thailand sekarang ini. Untuk membandingkan tarif baru Indonesia. Dari Singapura ke Chiang Mai saya naik pesawat Scoot. Dua jam penerbangan. Lebih dikit. Belinya agak mendadak. Harganya Rp 1.450.000. 

Saat menulis naskah ini saya lagi di bandara Chiang Mai. Jam 17.00 kemarin. Akan terbang ke Udon Thani. Dekat perbatasan Thailand-Laos.

Saya naik pesawat Nok. Artinya ‘burung’. Atau dalam bahasa Filipina disebut ‘manok’. Dalam bahasa Jawa ‘manuk’.

Penerbangan Nok ini sejauh 1 jam 10 menit. Mirip Surabaya-Jakarta. Membelinya lima jam sebelum keputusan ke Udon Thani. Harganya: Rp 800.000.

Dua kemungkinan yang akan terjadi. Setelah harga tiket di Indonesia tidak keterlaluan lagi: jumlah penumpang turun, lalu harga tiket diturunkan lagi.

Kemungkinan lain: penumpang sudah terbiasa dengan tarif baru. Jumlah penumpang naik lagi.

Tergantung siapa presidennya nanti. Pun kalau ada hubungannya. (dahlan iskan)

Oleh: Dahlan Iskan

Saya sering baca iklan menyenangkan. Di tengah-tengah berita di luar negeri. Tentang Indonesia.

Isinya: datanglah ke Indonesia. Rasakan penerbangannya. Tarifnya keterlaluan — murahnya.

Seminggu terakhir ini saya tidak lagi melihat iklan seperti itu. Sejak tarif tiket pesawat tidak ‘keterlaluan’ lagi.

Bahkan kini ‘keterlaluan’ — sebaliknya. Bukan saja harga tiketnya naik. Bagasi pun dikenakan biaya.

Sejak itu ada yang beda. Pesawat tidak selalu penuh lagi. Misalnya saat saya ke Pontianak. Sebelum Cap Go Meh. Dengan pesawat Lion. Banyak kursi kosong. Ada pula kesibukan tambahan. Bagi pramugarinya: mengawasi barang bawaan penumpang.

Saya lihat lebih banyak penumpang membawa koper ke cabin. Agar tidak bayar bagasi. Pun koper yang agak berat. Dibawa pula masuk pesawat.

Terpaksa pramugari turun tangan. Koper-koper itu diminta. Untuk diturunkan lagi. Ada petugas yang membawanya turun. Dimasukkan perut pesawat.

Semula sang penumpang menolak. Ngotot. Tapi pramugari tahu apa yang lagi berputar di pikiran penumpang: takut disuruh membayar.

Maka sang pramugari menjelaskan: tidak perlu bayar. Koper itu diturunkan agar tidak memenuhi tempat barang di atas kepala.

Pulang dari Pontianak pemandangan serupa terlihat lagi.

Saya tidak terlalu mikir perubahan aturan itu. Saya jarang bawa koper.

Kadang saya lihat memang tidak masuk akal: apa saja dibawa naik pesawat. Tapi saya juga maklum. Oleh-oleh itu penting. Untuk budaya Asia. Jangan lihat harganya. Harus dilihat niat dalam hatinya.

Sejak tarif baru itu saya juga mencatat perubahan lain: Lion berusaha terbang on time. Seminggu munggu lalu saya empat kali naik Lion. Bukan saja selalu tepat waktu. Lion juga terlihat berusaha keras untuk tepat waktu. Misalnya: boarding lebih awal. Terlihat kru daratnya lebih sigap. Dalam mempersiapkan boarding.

Saking tepatnya saya ketinggalan pesawat. Dari Pontianak ke Jakarta. Padahal hanya telat 10 menit. Saya harus beli tiket lagi penerbangan berikutnya. Saya tidak mengeluh. Dalam hati saya justru menghargai ketepatan waktunya itu.

Saya juga tumben: diminta mengisi survey. Seumur-umur saya baru sekali ini diminta Lion mengisi pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Saya mengisinya dengan sungguh-sungguh. Misalnya ketika ditanya berapa kali naik pesawat. Dalam satu bulan.

Saya mencontreng jawaban terakhir: lebih lima kali.

Saya harus isi itu. Agar saya dimasukkan responden yang penting.

Ketika ditanya paling sering naik pesawat apa, saya jawab dengan sebenarnya: Citilink dan Batik. Bukan Lion.

Pertanyaan lain yang penting tinggal satu: apa yang diutamakan saat memilih pesawat.

Jawaban saya: No. 1 tepat waktu. No. 2 tepat waktu. No. 3 tepat waktu.

Saya memang tidak pernah mempersoalkan ada makanan atau tidak. Disediakan makanan pun sering tidak saya makan. Kuenya pasti manis. Masakannya pasti kalah dengan dapur istri saya. 

Dan lagi saya memilih tidur daripada makan. Sering sekali saya tidak tahu kapan pesawat take off. Sudah tertidur saat pesawat masih taxiing. Saya juga jengkel kalau saat enak-enaknya tertidur dibangunkan. Hanya untuk diberitahu bahwa makanannya sudah datang.

Atau memilih nulis artikel. Untuk DI’s Way. 

Saya juga tidak mempersoalkan duduk di ekonomi atau bisnis. Sama saja. Untuk jarak pendek. Saya hanya harus naik kelas bisnis kalau terbang jarak jauh.

Saat ke Taiwan bulan lalu saya coba rute ‘aneh’: Surabaya-Brunei-Taipei. Ekonomi.

Itu karena saya melihat peta. Posisi Brunei ternyata tepat di tengah garis Surabaya-Taipei. Tegak lurus ke utara.

Kalau lewat Singapura sebenarnya rugi. Pun lewat Kuala Lumpur. Ke barat dulu. Baru ke utara.

Untuk lurus ke utara itu saya pilih Royal Brunei. Surabaya-Brunei dua jam. Brunei-Taipei dua jam. Hanya saja transitnya di Bandar Seri Begawan. Ibukota Brunei. Yang bandaranya sepi. Sunyi sekali. Gak masalah. Toh saya tidak terlalu tergiur dengan keramaian. Sepi itu kadang baik sekali. Untuk dinikmati.

Saya tidak tahu. Apakah Lion serius. Dalam usaha membuat jadwalnya lebih tepat. Yang selama ini dikenal sebagai keterlaluan: kegemaran telatnya.

Saya coba penerbangan murah ke Thailand sekarang ini. Untuk membandingkan tarif baru Indonesia. Dari Singapura ke Chiang Mai saya naik pesawat Scoot. Dua jam penerbangan. Lebih dikit. Belinya agak mendadak. Harganya Rp 1.450.000. 

Saat menulis naskah ini saya lagi di bandara Chiang Mai. Jam 17.00 kemarin. Akan terbang ke Udon Thani. Dekat perbatasan Thailand-Laos.

Saya naik pesawat Nok. Artinya ‘burung’. Atau dalam bahasa Filipina disebut ‘manok’. Dalam bahasa Jawa ‘manuk’.

Penerbangan Nok ini sejauh 1 jam 10 menit. Mirip Surabaya-Jakarta. Membelinya lima jam sebelum keputusan ke Udon Thani. Harganya: Rp 800.000.

Dua kemungkinan yang akan terjadi. Setelah harga tiket di Indonesia tidak keterlaluan lagi: jumlah penumpang turun, lalu harga tiket diturunkan lagi.

Kemungkinan lain: penumpang sudah terbiasa dengan tarif baru. Jumlah penumpang naik lagi.

Tergantung siapa presidennya nanti. Pun kalau ada hubungannya. (dahlan iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/