Oleh: Dahlan Iskan
Tidak baru. Presiden Amerika sewot di sebuah perundingan tingkat tinggi.
Tidak baru. Negara lain jadi korban sebuah politik dalam negeri.
Presiden Donald Trump melakukan apa yang pernah dilakukan Presiden Ronald Reagan. Saat Reagan ber-KTT dengan Residen Russia Gorbachev. Di Reykjavik. Ibukota Islandia.
Dan rakyat Amerika senang atas ‘pertunjukan’ seperti itu. Bagaimana Reagan meninggalkan Gorbachev dengan wajah yang membatu.
Dua partai di Amerika pun memberikan pujian pada Trump. Setalah Trump menghentikan sepihak KTT di Hanoi. Meninggalkan pemimpin Korut, Kim Jong-Un begitu saja.
Tidak mau makan siang bersama. Yang menu kesukaan mereka sudah disiapkan.
Tidak mau menandatangani kesepakatan bersama. Yang naskahnya sudah disiapkan.
Tidak mau konferensi pers berdua. Trump sendirian di depan pers dari seluruh dunia.
Kebenaran menjadi miliknya sendiri.
Trump meninggalkan Hanoi. Jauh lebih cepat dari jadwal semula: Kamis malam.
Presiden Clinton juga ngebom Iraq. Saat DPR Amerika lagi siap-siap melakukan impeachment padanya. Yang terkait dengan skandal mesum di Gedung Putih.
Sebelum bom Iraq itu Clinton sudah ngebom pabrik obat Al Shifa. Di Sudan. Tapi kurang greget.
Kita semua kemudian tahu: Clinton lolos dari impeachment.
Presiden Jimmy Carter menekan Jepang. Seperti Trump sekarang menekan Tiongkok. Saat di Amerika terjadi krisis energi. Hebohnya bukan main. Sampai terjadi kerusuhan. Carter begitu sulit mencari jalan keluar. Sampai gagal terpilih lagi.
Tapi Jepang keburu menyerah. Menuruti semua yang diinginkan Amerika. Akibatnya begitu berat: Jepang sampai mengalami apa yang disebut ‘dekade yang hilang’. Satu dekade penuh ekonomi Jepang berhenti tumbuh. Masih terasa sampai sekarang.
Padahal waktu itu banyak yang meramalkan Jepang segera mengalahkan Amerika: jadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Akibat ‘dekade yang hilang’ itu Tiongkok bisa menyalip Jepang tujuh tahun lalu.
Anda bisa menambahkan sendiri. Daftar bagaimana negara lain jadi korban politik dalam negeri.
Tapi setidaknya Amerika tetap hebat. Tidak mau mengorbankan rakyatnya sendiri. Sebagai kamuflase politik dalam negerinya.
Banyak negara lain bikin kehebohan untuk menutup kehebohan yang lain. Di dalam negerinya sendiri. Sampai rakyatnya sendiri menjadi korban.
Atau baca saja analisa Matt Bai. Wartawan New York Times. Yang meliput satu pemilu ke pemilu lain di Amerika. Yang punya daftar seperti itu.
Atau, setidaknya, tontonlah film Hollywood. Komedi politik. Satire. Lucu. Wow. Judulnya Anda pasti tahu. Yang dibintangi Dustin Hoffman dan Robert de Niro itu: Wag the Dog.
Ingat Hanoi ingat Wag the Dog.
Dengan action Trump seperti yang ditunjukkan di Hanoi itu ia terlihat gagah. Heroik. Terbukti opini di Amerika sangat mendukungnya.
Apalagi Trump menambahkan bumbu humanis yang sangat personal: meninggalnya mahasiswa Virginia. Otto Warmbier. Yang tahun 2017 lalu ditahan di Korut. Saat bersama rombongan turis Amerika ke sana. Otto sakit di tahanan. Tahun lalu dipulangkan. Tak lama kemudian meninggal dunia. Ditemukan: ada kerusakan di otaknya.
Trump mempertanyakan kasus Otto itu ke Kim. Yang oleh Kim dijawab bahwa ia tidak tahu semua itu.
Trump jadi hero baru Amerika. Yang selama ini sempat dikhawatirkan: kok seperti sangat percaya pada Kim. Padahal opini di Amerika menganggap Kim bohong. Tidak tulus. Belum benar-benar mau menghentikan program nuklirnya.
Hanya saja Trump sempat menyelipkan satu sisi lain mata pisaunya. “Saya percaya kata-katanya,” ujar Trump. Seolah Trump ingin mengatakan: seorang presiden memang bisa tidak tahu urusan kecil. Seolah Trump ingin menyanyikan sebait lagu dangdut: “… contohnya aku… “.
Yang juga tidak tahu: kalau Rusia ikut campur pemilu Amerika. Yang dimenangkannya itu. Juga tidak tahu: kalau Cohen membayar uang tutup mulut. Pada wanita yang ditidurinya. Dari dana kampanye. Dan tidak tahu tidak tahu yang lainnya lagi.
Kita sendiri juga tidak tahu. Apa yang sebenarnya terjadi di meja KTT Hanoi. Yang jelas pihak Korut mengatakan tidak seperti yang dibilang Trump.
“Proposal kami”, ujar Ri Yong-Ho, menteri luar negerinya, “menghentikan semua program nuklir di Yongbyan. Termasuk proses produksi materialnya. Sampai ke plutonium dan uranium. Di bawah pengawasan ahli Amerika. Sebagai gantinya kami minta sebagian sanksi dicabut. Tidak usah semua sanksi dulu”.
Kata Ri: kami ini sudah memberikan banyak dan hanya minta sedikit.
Bagi saya terasa sekali KTT ini memang teater. KTT ini seperti belum siap benar untuk tingkat KTT.
Kalau yang pertama di Singapura dulu, bolehlah. Tidak terlalu siap tidak mengapa. Anggaplah untuk mencairkan kebekuan dulu.
Tapi KTT Hanoi? Kenapa tidak sesiap itu? Apakah tidak ada pembicaraan pra-KTT yang tuntas? Kalau belum tuntas kenapa sudah ke KTT?
Terserah merekalah.
Bahkan kegagalan KTT ini bisa menjadi kisah sukses bagi Trump. Bisa saja perjalanan jauhnya itu tidak sia-sia. Yang sampai harus transit di London. Dan di negara Teluk.
Apa pedulinya.
Yang menderita kelihatannya Kim. Yang harus naik kereta api hampir tiga hari. Yang rutenya ternyata persis seperti yang saya perkirakan. Lewat tengah Tiongkok.
Kim tidak akan langsung pulang. Bukan untuk merenung nasibnya. Memang begitu rencana sejak awal. Setelah KTT masih akan dua hari di Vietnam. Melihat kemajuan negara itu. Yang politiknya masih sama-sama komunis.
Dan entah akan curhat apa. Ke tuan rumahnya.
Yang juga menang kelihatannya Tiongkok. Tapi Tiongkok juga perlu was-was. Bagaimana nasib KTT Xi Jinping – Trump nanti. Untuk mengakhiri perang dagang kedua negara itu. Di istana pribadinya Trump itu. Di Mar-a-Lago, Florida, itu.
Jangan-jangan Trump juga akan meninggalkan Xi Jinping begitu saja.
Saya sampai tidak bisa membayangkan. Betapa besar dampaknya. Kalau sampai itu terjadi: Xi Jinping ditinggalkan Trump di rumah Trump sendiri. (dahlan iskan)