Areal dam atau bendungan Tukad Pekerisan selebar sekitar 30 meter dijadikan alternatif penyeberangan kendaraan roda dua hingga truk engkel oleh masyarakat.
Namun, jalur sungai pembatas dua desa antara Pejeng di Kecamatan Tampaksiring dengan Desa Siangan, Kecamatan Gianyar, ini pun tak bisa dilalui saat musim hujan lebat.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
PARA pengendara baik mobil dan motor tampak berhenti di ujung sungai di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring.
Mereka melihat situasi saat hendak menyeberangi sungai. Tidak ada jembatan, juga tidak ada jalan darat.
Pengendara bersama kendaraan langsung turun ke sungai dan berjalan di atas sungai yang dangkal.
Aktivitas tersebut terekam kemarin (11/3).
Pengendara yang melintas punya beragam keperluan. Seperti yang dilakukan Made Suweng, warga Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring yang mengendarai mobil pikap.
Pedagang sembako itu mengaku terpaksa melintasi jalur sungai dengan harapan lebih cepat sampai ke Kota Gianyar.
“Kita hati-hati saja kalau mau lewat. Berdoa saja dalam hati, semoga selamat. Jalannya juga pelan-pelan,” ujar pria yang sudah terbiasa melintasi jalur itu.
Dijelaskan, saat melintas di dasar sungai kebanyakan batu kerikil dan batu sungai. “Kalau pas di tengah kelihatan batunya kita hati-hati, lihat di bawahnya siapa tahu ada lubang,” jelasnya.
Kata dia, hal itu terpaksa dilakukan untuk menghemat waktu dalam perjalanan menuju Kota Gianyar. “Kalau saya lewat jalan biasa, itu kan memutar. Belum lagi kalau macet, lama sampainya,” jelasnya.
Tidak hanya kendaraan roda 4 ke atas, sepeda motor pun berani melintasi sungai tersebut. “Saya rasa ini aman-aman saja, karena airnya kecil. Kecuali habis hujan, atau pas hujan lebat tidak berani lewat sini,” tukasnya.
Sementara itu, salah satu warga Desa Pejeng, I Wayan Suasa, menyatakan sungai yang kerap dilintasi kendaraan itu masih areal dam Tukad Pakerisan yang dibangun pada era Belanda.
Akses tersebut tergolong paling cepat menuju kota Gianyar atau sebaliknya ke Tampaksiring. Jalan tersebut awalnya hanya khusus untuk kendaraan pengangkut pasir yang ada di sana.
Mengingat lokasi sungai itu semakin dangkal karena pasir banyak mengendap di sana, maka mulai banyak warga memanfaatkan jalur itu sebagai jalan alternatif.
“Setahu saya, mulai banyak dipakai perlintasan sejak tahun 1980-an,” ujarnya. Suasa mengaku, dulu saat kecil sering melancong ke Desa Siangan melalui sungai itu.
“Dulu saya masih jalan kaki. Tapi, lama-lama banyak kendaraan masuk ke sini,” ungkapnya. Suasa menambahkan bahwa pengendara yang melintas kebanyakan membaca situasi dulu sebelum menyeberang jalan.
“Kalau tidak ada hujan lebat banyak kendaraan lewat sini. Tapi, satu-satu karena tidak bisa papasan,” jelasnya.
Diakui, cara menyeberang di sungai itu tidak lazim. “Sebenarnya memang tidak ada akses untuk menyeberang untuk kendaraan. Ini jalan untuk menuju dam.
Tapi, karena dirasa jalan memotong makanya sering dilalui sepeda motor dan mobil yang turun langsung ke sungai,” ungkapnya.
Sebagai warga, Suasa berharap agar dibuatkan jembatan penghubung dua desa, yakni Pejeng (Tampaksiring) dan Siangan (Gianyar). “Sebaiknya dibuatkan jembatan penghubung di sini, mumpung air tidak tinggi,” pintanya. (*)