28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 18:56 PM WIB

Puluhan WNA Masuk DPT, Eks Ketua KPU:Ini Masalah Serius, Bisa Dipidana

DENPASAR – Pengamat politik I Wayan Jondra menegaskan masuknya WNA dalam daftar pemilih tetap (DPT) diduga adanya kelalaian KPU. 

Kinerja petugas pemutakhiran data pemilih (PPDT) sebagai eksekutor lapangan DPT perlu dikaji kembali.

“Ini sampai kecolongan ada kemungkinan PPDT tidak mengunjungi yang bersangkutan (WNA), sehingga tidak tahu yang bersangkutan itu WNA,” beber Jondra.

Kemungkinan lain yaitu PPDT datang ke lapangan, tapi tidak menemukan WNA. Bisa saja WNI asli memiliki istri orang asing.

Karena dilihat dalam KK tercantum namanya si istri, maka dimasukkan ke dalam DPT. Padahal, yang bersangkutan belum WNI.

Dalam Sidalih nama WNA juga tidak bisa dilacak karena di dalam DPT tidak tercantum kolom khusus WNA. Kalau ada kolom WNA baru bisa ketahuan oleh sistem. 

Mantan Ketua KPU Bali itu mengungkapkan, selain PPDT diduga tidak melakukan verifikasi secara cermat, masuknya WNA karena di dalam formulir DPT tidak ada kolom untuk mencatat kewarganegaraan. 

‎Sumber permasalahan juga bisa berasal dari pemerintah. Sebab, daftar pemilih potensial pemilu (DP4) diberikan oleh pemerintah.

Supaya tidak terulang, Jondra menyarankan PPDT juga harus benar-benar bekerja turun ke lapangan. ‎Begitu juga dengan pemerintah harus valid memberikan data.

‎Karena itu, lanjut Jondra, ke depan perbaikan PKPU harus dipertegas, bahwa dalam DPT disediakan kolom khusus mencatat kewarganegaraan untuk memastikan kewarganegaraan calon pemilih. 

“Sehingga ketahuan dalam sistem pendaftaran pemilih (Sidalih), begitu bukan WNI dia tidak bisa menjadi pemilih,” tukasnya.  

Yang menarik, menurut Jondra, masalah WNA masuk DPT ini juga bisa masuk ke ranah pidana.

Dalam‎ Pasal 488 tentang ketentuan pidana pemilu UU Pemilu, disebutkan setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang

suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, ‎diancam pidana penjara selama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

‎”Jadi, masalah ini (WNA masuk DPT) adalah masalah serius yang harus segera diselesaikan,” tandasnya.‎ 

Konsekuensi lain dari kasus ini yakni terjadi pemborosan karena surat suara sudah tercetak.

Secara undang-undang, sambung Jondra, WNA semestinya tidak berhak mendapat surat suara. Namun, karena sudah terlanjur sudah masuk DPT maka surat suaranya diadakan.

Akibatnya terjadi pemborosan surat suara, anggaran membengkak. “Padahal dia (WNA) tidak berhak mencoblos tapi dapat surat suara. Bayangkan, satu orang disiapkan lima surat suara, tapi tidak dipakai,” beber pria yang juga dosen itu

Untungnya sekarang pemilih selain membawa formulir pencoblosan juga diminta membawa e-KTP. Di sini kesempatan KPPS mengecek kewarganegaraan pemilih.

“Artinya penting juga peran masyarakat untuk mengontrol atau mengawasi. Kalau itu dibiarkan bisa pidana karena tidak berhak menggunakan hak pilih diatur dalam undang-undang pemilu,” tukasnya.

‎Jondra menyarankan, agar WNA yang sudah masuk DPT tidak sampai mencoblos, maka KPU bisa memberi tanda dalam DPT agar yang bersangkutan tidak diberi formulir C-6. 

Mantan Ketua KPU Badung, itu menegaskan semua WNA itu tidak memiliki hak pilih. Karena itu, KPU harus mencoret WNA yang sudah masuk DPT supaya tidak diberi formulir C-6 atau formulir mencoblos.

Ditanya kasus seperti ini apakah sudah pernah terjadi dalam pemilu lima tahun lalu, Jondra menyatakan‎ Lima tahun lalu tidak terjadi hal semacam ini. “Baru kali ini,” pungkasnya. 

DENPASAR – Pengamat politik I Wayan Jondra menegaskan masuknya WNA dalam daftar pemilih tetap (DPT) diduga adanya kelalaian KPU. 

Kinerja petugas pemutakhiran data pemilih (PPDT) sebagai eksekutor lapangan DPT perlu dikaji kembali.

“Ini sampai kecolongan ada kemungkinan PPDT tidak mengunjungi yang bersangkutan (WNA), sehingga tidak tahu yang bersangkutan itu WNA,” beber Jondra.

Kemungkinan lain yaitu PPDT datang ke lapangan, tapi tidak menemukan WNA. Bisa saja WNI asli memiliki istri orang asing.

Karena dilihat dalam KK tercantum namanya si istri, maka dimasukkan ke dalam DPT. Padahal, yang bersangkutan belum WNI.

Dalam Sidalih nama WNA juga tidak bisa dilacak karena di dalam DPT tidak tercantum kolom khusus WNA. Kalau ada kolom WNA baru bisa ketahuan oleh sistem. 

Mantan Ketua KPU Bali itu mengungkapkan, selain PPDT diduga tidak melakukan verifikasi secara cermat, masuknya WNA karena di dalam formulir DPT tidak ada kolom untuk mencatat kewarganegaraan. 

‎Sumber permasalahan juga bisa berasal dari pemerintah. Sebab, daftar pemilih potensial pemilu (DP4) diberikan oleh pemerintah.

Supaya tidak terulang, Jondra menyarankan PPDT juga harus benar-benar bekerja turun ke lapangan. ‎Begitu juga dengan pemerintah harus valid memberikan data.

‎Karena itu, lanjut Jondra, ke depan perbaikan PKPU harus dipertegas, bahwa dalam DPT disediakan kolom khusus mencatat kewarganegaraan untuk memastikan kewarganegaraan calon pemilih. 

“Sehingga ketahuan dalam sistem pendaftaran pemilih (Sidalih), begitu bukan WNI dia tidak bisa menjadi pemilih,” tukasnya.  

Yang menarik, menurut Jondra, masalah WNA masuk DPT ini juga bisa masuk ke ranah pidana.

Dalam‎ Pasal 488 tentang ketentuan pidana pemilu UU Pemilu, disebutkan setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang

suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, ‎diancam pidana penjara selama satu tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

‎”Jadi, masalah ini (WNA masuk DPT) adalah masalah serius yang harus segera diselesaikan,” tandasnya.‎ 

Konsekuensi lain dari kasus ini yakni terjadi pemborosan karena surat suara sudah tercetak.

Secara undang-undang, sambung Jondra, WNA semestinya tidak berhak mendapat surat suara. Namun, karena sudah terlanjur sudah masuk DPT maka surat suaranya diadakan.

Akibatnya terjadi pemborosan surat suara, anggaran membengkak. “Padahal dia (WNA) tidak berhak mencoblos tapi dapat surat suara. Bayangkan, satu orang disiapkan lima surat suara, tapi tidak dipakai,” beber pria yang juga dosen itu

Untungnya sekarang pemilih selain membawa formulir pencoblosan juga diminta membawa e-KTP. Di sini kesempatan KPPS mengecek kewarganegaraan pemilih.

“Artinya penting juga peran masyarakat untuk mengontrol atau mengawasi. Kalau itu dibiarkan bisa pidana karena tidak berhak menggunakan hak pilih diatur dalam undang-undang pemilu,” tukasnya.

‎Jondra menyarankan, agar WNA yang sudah masuk DPT tidak sampai mencoblos, maka KPU bisa memberi tanda dalam DPT agar yang bersangkutan tidak diberi formulir C-6. 

Mantan Ketua KPU Badung, itu menegaskan semua WNA itu tidak memiliki hak pilih. Karena itu, KPU harus mencoret WNA yang sudah masuk DPT supaya tidak diberi formulir C-6 atau formulir mencoblos.

Ditanya kasus seperti ini apakah sudah pernah terjadi dalam pemilu lima tahun lalu, Jondra menyatakan‎ Lima tahun lalu tidak terjadi hal semacam ini. “Baru kali ini,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/