DENPASAR – Keberadaan warga negara asing (WNA) yang memiliki e-KTP dan akhirnya terdata di daftar pemilu tetap (DPT) Pemilu 2019 membuat ruwet. Terutama bagi penyelenggara pemilu.
Namun, ada yang menarik dari kasus ini. Ternyata banyak WNA yang tertarik jadi WNI. Berdasar data terbaru, selama sepuluh tahun terakhir di Bali ada 119 orang WNA yang menjadi WNI.
Rinciannya, sebanyak 35 orang WNA menjadi WNI melalui proses naturalisasi, dan 84 orang lainnya menjadi WNI karena salah satu orang tuanya adalah orang Indonesia atau lazim disebut kawin campur.
“Untuk permohonan menjadi WNI bukan naturalisasi, salah satu orang tuanya adalah WNI asli. Mereka berhak memilih menjadi WNA atau WNI
sebelum umur 18 tahun,” ungkap Sutirah, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Hukum dan HAM Bali kemarin.
Ditambahkan, bila pengajuan WNI hasil kawin campur saat pengajuan umurnya lebih dari 18 tahun, maka tidak diperbolehkan.
Mereka harus melalui proses naturalisasi terlebih dahulu. Proses naturalisasi ini lebih panjang dan ketat. Syarat naturalisasi ini di antaranya, tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut.
Selain itu, pemohon naturalisasi juga harus fasih berbahasa Indonesia, punya penghasilan tetap, taat bayar pajak, tidak pernah terlibat kriminal, hafal lagu Indonesia raya, tahu Pancasila dan mengerti sejarah Indonesia.
Ada surat pengantar dari desa/lurah bahwa berkelakuan baik. Pemohon juga biasanya memiliki sponsor atau pihak yang menjamin.
“Kalau tidak bisa bahasa Indonesia atau kriminal maka tidak kami loloskan. Ada surat keterangan sehat jasmani dan rohani. Kalau kesehatan jiwanya terganggu tidak mungkin kami loloskan,” tegasnya.
Setelah lengkap syarat dan dokumen baru diajukan ke Kanwil Hukum dan HAM, kemudian diajukan ke Kementerian Hukum dan HAM, lantas ke Badan Intelijen Negara (BIN).
Setelah semua syarat terpenuhi baru dikirim ke presiden. “Setelah oke baru diajukan ke presiden. Setelah presiden tandatangan baru dikirim kembali ke daerah. Prosesnya agak panjang untuk menjaga agar tidak kecolongan,” jelasnya.
Ditegaskan Sutirah, untuk menentukan WNA layak menjadi WNI atau tidak, ada tim khusus yang merupakan gabungan dari kepolisian, imigrasi, kantor pajak, BIN, dan Kanwil Hukum dan HAM.
Pelibatan BIN ini untuk melacak rekam jejak di tempat asal pemohon. Selain itu juga untuk menelusuri kelakukan pemohon di tempat tinggal selama di Indonesia.
“BIN itu penting, kan orang asing tidak tahu masuknya ke Indonesia tujuan apa,” ungkap Sutirah. Pengajuan WNA menjadi WNI ini juga tidak gratis.
Pemohon harus membayar ke kas negara. Pembayaran itu kemudian masuk ke dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
“Proses naturalisasi ini cukup panjang karena yang menandatangani surat keputusan adalah presiden,” imbuh Sutirah.
Dijelaskan Sutirah, pemohon menjadi WNI ini datang dari berbagai benua. Namun, yang paling banyak berasal dari Eropa, seperti Prancis, Inggris, dan Italia.
Ada juga dari Amerika dan Australia. “Kalau yang Asia biasanya dari Jepang dan India,” tukas perempuan asal Lampung, itu.