25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:43 AM WIB

Nostalgia di Oman

Akhirnya saya mendarat lagi di Muscat. Rabu kemarin. Setelah lebih 40 tahun tidak ke Oman.

Ke Oman-lah saya pertama kali ke luar negeri. Sebagai wartawan Tempo. Tahun 1978 atau 1979. Sekitar itu.

Sejak itu saya tidak pernah ke sana lagi.

Sebelum ke Oman saya memang pernah ke Tawau. Saat saya jadi wartawan pemula di Samarinda. Dapat tugas liputan ke Nunukan.

Saya belum pernah punya paspor. Camat Nunukan-lah yang membuatkan pas lintas-batas. Dengan KTP sementara warga Nunukan. 

Tapi itu tidak saya anggap ke luar negeri. Karena tidak pakai paspor. Ke sananya pun naik speed boat. Di sana juga pakai bahasa Indonesia. Makanan di warungnya sama. Piring-gelasnya sama. Pokoknya bukan luar negeri sama sekali.

Baru saat ke Oman itulah merasa sudah ke luar negeri.

Kini saya tidak kenal lagi Muscat yang dulu. Sudah berubah total. Hanya rajanya yang masih sama: Sultan Qaboos. Dan hotelnya yang juga masih sama: Intercontinental Hotel.

Di hotel inilah saya dulu menginap. Selama seminggu. Untuk pertama kali merasakan hotel bintang lima. Di umur saya yang 28 tahun.

Rute ke Oman pun dulu panjang sekali. Dari Surabaya ke Jakarta dulu. Lalu ke Singapura. Naik Singapore Airlines. Ke Abu Dhabi dulu. Dari sini naik Gulf Air ke Muscat.

Sekarang sudah sangat beda. Sudah ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Muscat. Tiap hari. Menggunakan pesawat Oman Air. Inilah untuk pertama kalinya saya naik Oman Air.

Ternyata penuh juga. Begitu banyak jemaah umroh yang kini transit di Muscat, ibukota Oman.

Di ruang tunggu saya bertemu pak Edy Setiawan. Alumni akuntansi Unair. Yang kini punya perusahaan travel. Setelah pensiun dari kantor akuntan HTM.

Ia membawa rombongan tur ke Mesir. Lalu akan jalan darat ke arah Palestina. Bermalam di dekat terusan Suez. Dari Palestina ke Jordania. “Saya hanya dapat kursi 30 di Oman Air. Yang 18 orang naik Saudi,” katanya.

“Tur jalur ini sekarang populer,” katanya.

Berarti kini banyak pilihan. Untuk umroh maupun untuk tur seperti itu. Bahkan untuk ke Eropa.

Transitnya tidak lagi hanya bisa di Dubai. Atau Abu Dhabi. Atau Doha, Qatar. Sudah ada pilihan lain: transit di Muscat.

Pesawatnya juga tidak hanya Emirates, Etihad atau Qatar Airways. Kini sudah ada Oman Air.

Oman, Emirat, Qatar adalah tiga negara kecil bertetangga. Kini ada empat penerbangan raksasa dari tiga negara itu. Semua menghubungkan Indonesia-Mekkah. Atau Indonesia-Eropa. Sama saja: transit di Doha, Dubai, Abu Dhabi atau Muscat.

Sebagai pendatang baru Oman Air tahu bagaimana harus merebut pasar: yang lain pakai Boeing 777. Oman pakai 787 Dreamliner. Jarak antar kursinya lebih longgar. Beberapa centimeter. Kelas bisnisnya juga seperti first class.

Harganya pun lebih murah.

Saya juga bertemu dua anak muda Jakarta. Yang bekerja di perusahaan minyak di Dammam, Saudi Arabia. Ia juga selalu lewat Muscat. Dengan pertimbangan harga tadi.

Tiba di Muscat saya langsung ingin bernostalgia. Ke hotel Intercontinental. “Masih ada. Masih bagus,” kata sopir saya.

Benar.

Saya langsung mengenali bangunannya. Tidak berubah. Hanya lingkungannya yang tidak sama lagi. Sudah banyak toko dan restoran di sekitarnya. Sudah jadi kota. Sudah beda dengan 40 tahun lalu. Hotel ini dulunya seperti sendirian di padang pasir.

Saat memasuki Intercontinental saya malu mengingat masa lalu. Yang beberapa keju di hotel ini saya bawa pulang. Itulah untuk pertama kalinya saya melihat keju. Tidak berani memakannya. Rasanya aneh. Akan saya tunjukkan ke istri: seperti inilah makanan di hotel bintang lima.

Saya juga malu dengan wartawan-wartawati bule dari Eropa. Yang bahasa Arabnya luar biasa. Padahal mereka bukan Islam.

Untuk mencapai hotel ini saya minta dilewatkan Souk. Pasar tradisional. Jualan utamanya ikan. Di pinggir pantai.

Ternyata juga sudah jadi pasar modern. Meski yang dijual tetap ikan. Dulu saya heran: yang belanja di pasar itu kok semua laki-laki. Dari situlah saya baru tahu budaya Arab: wanita tidak ke pasar.

Sebenarnya saya tidak ingin ke Oman. Teman sayalah yang memprovokasi. Ia orang Oman. Kelahiran Lebanon. Bertemu saat saya ke Beirut yang lalu. Ia eksekutif di perusahaan telkom: Oredoo.

“Oman sudah berubah total,” katanya.

Sekarang saya tidak meragukan ucapannya.(Dahlan Iskan)

Akhirnya saya mendarat lagi di Muscat. Rabu kemarin. Setelah lebih 40 tahun tidak ke Oman.

Ke Oman-lah saya pertama kali ke luar negeri. Sebagai wartawan Tempo. Tahun 1978 atau 1979. Sekitar itu.

Sejak itu saya tidak pernah ke sana lagi.

Sebelum ke Oman saya memang pernah ke Tawau. Saat saya jadi wartawan pemula di Samarinda. Dapat tugas liputan ke Nunukan.

Saya belum pernah punya paspor. Camat Nunukan-lah yang membuatkan pas lintas-batas. Dengan KTP sementara warga Nunukan. 

Tapi itu tidak saya anggap ke luar negeri. Karena tidak pakai paspor. Ke sananya pun naik speed boat. Di sana juga pakai bahasa Indonesia. Makanan di warungnya sama. Piring-gelasnya sama. Pokoknya bukan luar negeri sama sekali.

Baru saat ke Oman itulah merasa sudah ke luar negeri.

Kini saya tidak kenal lagi Muscat yang dulu. Sudah berubah total. Hanya rajanya yang masih sama: Sultan Qaboos. Dan hotelnya yang juga masih sama: Intercontinental Hotel.

Di hotel inilah saya dulu menginap. Selama seminggu. Untuk pertama kali merasakan hotel bintang lima. Di umur saya yang 28 tahun.

Rute ke Oman pun dulu panjang sekali. Dari Surabaya ke Jakarta dulu. Lalu ke Singapura. Naik Singapore Airlines. Ke Abu Dhabi dulu. Dari sini naik Gulf Air ke Muscat.

Sekarang sudah sangat beda. Sudah ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Muscat. Tiap hari. Menggunakan pesawat Oman Air. Inilah untuk pertama kalinya saya naik Oman Air.

Ternyata penuh juga. Begitu banyak jemaah umroh yang kini transit di Muscat, ibukota Oman.

Di ruang tunggu saya bertemu pak Edy Setiawan. Alumni akuntansi Unair. Yang kini punya perusahaan travel. Setelah pensiun dari kantor akuntan HTM.

Ia membawa rombongan tur ke Mesir. Lalu akan jalan darat ke arah Palestina. Bermalam di dekat terusan Suez. Dari Palestina ke Jordania. “Saya hanya dapat kursi 30 di Oman Air. Yang 18 orang naik Saudi,” katanya.

“Tur jalur ini sekarang populer,” katanya.

Berarti kini banyak pilihan. Untuk umroh maupun untuk tur seperti itu. Bahkan untuk ke Eropa.

Transitnya tidak lagi hanya bisa di Dubai. Atau Abu Dhabi. Atau Doha, Qatar. Sudah ada pilihan lain: transit di Muscat.

Pesawatnya juga tidak hanya Emirates, Etihad atau Qatar Airways. Kini sudah ada Oman Air.

Oman, Emirat, Qatar adalah tiga negara kecil bertetangga. Kini ada empat penerbangan raksasa dari tiga negara itu. Semua menghubungkan Indonesia-Mekkah. Atau Indonesia-Eropa. Sama saja: transit di Doha, Dubai, Abu Dhabi atau Muscat.

Sebagai pendatang baru Oman Air tahu bagaimana harus merebut pasar: yang lain pakai Boeing 777. Oman pakai 787 Dreamliner. Jarak antar kursinya lebih longgar. Beberapa centimeter. Kelas bisnisnya juga seperti first class.

Harganya pun lebih murah.

Saya juga bertemu dua anak muda Jakarta. Yang bekerja di perusahaan minyak di Dammam, Saudi Arabia. Ia juga selalu lewat Muscat. Dengan pertimbangan harga tadi.

Tiba di Muscat saya langsung ingin bernostalgia. Ke hotel Intercontinental. “Masih ada. Masih bagus,” kata sopir saya.

Benar.

Saya langsung mengenali bangunannya. Tidak berubah. Hanya lingkungannya yang tidak sama lagi. Sudah banyak toko dan restoran di sekitarnya. Sudah jadi kota. Sudah beda dengan 40 tahun lalu. Hotel ini dulunya seperti sendirian di padang pasir.

Saat memasuki Intercontinental saya malu mengingat masa lalu. Yang beberapa keju di hotel ini saya bawa pulang. Itulah untuk pertama kalinya saya melihat keju. Tidak berani memakannya. Rasanya aneh. Akan saya tunjukkan ke istri: seperti inilah makanan di hotel bintang lima.

Saya juga malu dengan wartawan-wartawati bule dari Eropa. Yang bahasa Arabnya luar biasa. Padahal mereka bukan Islam.

Untuk mencapai hotel ini saya minta dilewatkan Souk. Pasar tradisional. Jualan utamanya ikan. Di pinggir pantai.

Ternyata juga sudah jadi pasar modern. Meski yang dijual tetap ikan. Dulu saya heran: yang belanja di pasar itu kok semua laki-laki. Dari situlah saya baru tahu budaya Arab: wanita tidak ke pasar.

Sebenarnya saya tidak ingin ke Oman. Teman sayalah yang memprovokasi. Ia orang Oman. Kelahiran Lebanon. Bertemu saat saya ke Beirut yang lalu. Ia eksekutif di perusahaan telkom: Oredoo.

“Oman sudah berubah total,” katanya.

Sekarang saya tidak meragukan ucapannya.(Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/