DENPASAR – Pria dengan wajah dingin ini adalah wajah lama dalam peta peredaran narkoba di Bali. Dia sebelumnya pernah ditangkap Polda Bali, 7 Maret 2002 silam.
Tapi, hanya divonis 3 tahun penjara, denda uang Rp 10 juta, pada 15 Juli 2002, oleh majelis hakim PN Denpasar, pimpinan Mulyani dkk.
Vonis ini idem, sama dengan tuntutan jaksa AR Soenardi, yang waktu itu menuntutnya dengan tuntutan hukum yang sama, tiga tahun penjara.
“Pemain lama” ini waktu itu dinilai terbukti bersalah melanggar pasal 60 ayat 5 dan pasal 62 UU Psikotropika Nomor 5, Tahun 1997.
Waktu itu dia ditangkap dengan barang bukti (BB) ekstasi 937 butir. Kontroversi juga mewarnai persidangannya, yang sempat tidak jelas penahanannya.
Setelah selesai menjalani hukuman di Lapas Kerobokan ternyata tak membuatnya insaf. Senin sore, 5 Juni 2017 lalu, pada usia 54 tahun, terlibat dalam peredaran narkoba lagi.
Dengan jumlah yang fantastis, 19.000 butir. Bersama komplotannya, Budi Liman, Dedi Setyawan dan Iskandar, setelah mendapat “pil enak gila” itu dari Acoy, di Jakarta.
Dari keterangan sejumlah sumber yang dirangkum Jawa Pos Radar Bali, dia disebut-sebut sangat kaya setelah terjun ke dunia gemerlap (dugem).
Apalagi setelah dia dinilai sangat piawai mengelola peredaran narkoba hingga menjabat sebagai manajer.
Ada tengara kekayaannya diduga dari hasil bisnis “pil enak gila”, itu ditelusuri. Berdasarkan keterangan sejumlah sumber yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali
menyebutkan bahwa dengan kepiawaiannya di dunia entertainment, setelah bebas dari Lapas Kerobokan, usai divonis tiga tahun, dia juga tak kapok.
Usai menjalani hukuman dia kembali jadi “pemain” narkoba. Pemain “kelas kakap” dengan barang bukti ribuan.
Pria yang oleh teman-temannya selama di Lapas Kerobokan dulu dikenal murah senyum ini meninggalkan tempat kelahirannya, Medan, Sumatra Utara dan merantau ke Bali sudah sejak puluhan tahun lalu.
Setelah sampai di Bali, dia bekerja di tempat hiburan malam Akasaka, Jalan Raya Teuku Umar, Denpasar. Karena kinerjanya dinilai bagus, akhirnya dia diangkat sebagai manajer.
“Saya lupa sejak kapan dia bekerja (di Akasaka). Tapi, yang jelas dia dinilai bagus kerjanya. Makanya dia jadi manajer,” tutur sumber koran ini.
Saat tertangkap kasus psikotropika jenis ekstasi pada 7 Maret 2002 silam, dia juga sudah menjadi GM di Akasaka.
Meski begitu, sejatinya dia tak hanya bekerja di satu tempat saja. Dia sempat pindah kerja ke Bintang Karaoke, yang juga sama-sama beralamat di Jalan Teuku Umar, Denpasar.
Bintang Karaoke yang awalnya sepi akhirnya ramai dalam pengelolaan manajemen Willy yang bertangan dingin. “Akasaka sempat sepi saat itu, sewaktu Pak Willy di Karaoke Bintang,” papar sumber Jawa Pos Radar Bali.
Willy akhirnya direkrut lagi ke Akasaka. Nah, awal tahun 2000-an, itu dia kembali mengelola manajemen Akasaka. Dalam penanganan dia, Akasaka pun melejit lagi.
Hingga akhirnya pada 7 Maret 2002 itu ditangkap, dipenjara tiga tahun. Setelah itu ditangkap lagi pada 5 Juni 2017, dalam kasus 19.000 butir ekstasi.
Willy dengan jaringan narkobanya pun jadi sosok kaya raya. Sebagai orang kepercayaan pemilik Akasaka, yang punya jaringan narkoba dia sangat berlimpah harta, dengan rumah di Jalan Jalan Muh. Yamin IV, Nomor 18 A, Renon, Denpasar.
Tapi, akhirnya dia harus dilayar ke Nusakambangan, Cilacap, Jateng, karena jadi bandar lagi dalam menjalani masa hukuman seumur hidup di Lapas Kerobokan.