Guyon di ketegangan. Itulah yang terjadi tiap hari. Jam 4 sore. Di perbatasan India-Pakistan. Tepatnya di Wagha, tidak jauh dari kota Lahore.
Sekitar 5 ribu orang India kumpul di sebelah pagar India. Sekitar 3 ribu orang Pakistan memenuhi sebelah pagar Pakistan. Itulah pagar besi berjeruji. Pagar perbatasan kedua negara.
Pagar itu diberi pintu gerbang. Juga jeruji besi. Lebih tinggi dari manusia. Lancip-lancip di ujung atasnya. Tertutup. Terkunci. Tapi bisa saling lihat, karena jeruji ya tidak rapat.
Pintu-besi-geser itu lebar sekali. Selebar jalan raya empat lajur.
Memang aslinya ada jalan raya melintasi perbatasan itu. Tapi setiap hari hanya ada dua bus yang lewat. Satu dari arah India. Satu lagi dari arah Pakistan.
Selebihnya pagar selalu tertutup. Sejak 1947. Sejak India dan Pakistan berpisah. Itulah jalan raya terlebar dan terpenting di masa sebelum pisah. Yang menghubungkan Pakistan-India.
Saya ke situ Rabu lalu. Untuk melihat atraksi guyon serius di situ. Yang dilakukan angkatan bersenjata dari dua negara. Atraksi yang sama yang dilakukan oleh tentara yang berbeda. Di lokasi yang bersebelahan tapi tidak saling bersenggolan.
Itulah atraksi sakral penurunan bendera. Yang penuh emosi tapi ditahan. Yang penuh tawa tapi geram. Yang dimulai jam 4 sore. Yang puncaknya terjadi jam 5 sore.
Inilah forum persaingan, saling ancam, saling teriak, saling provokasi tapi dikemas dengan sangat uniknya. Penuh gelak tawa pula. Mirip adegan wayang kulit. Saat Mbilung mengancam Bagong. Atau saat Pragota mengancam Dursasana.
Lebih tepatnya mirip adegan wayang orang. Untuk peristiwa Mbilung-Bagong atau Pragota-Dursasana.
Di sisi Pakistan penonton upacara ini duduk di tribun melengkung. Dengan tempat duduk seperti di stadion. Tribunnya dua. Berhadapan. Di kanan kiri jalan. Tribun utara dan tribun selatan. Fokus perhatian ke arah jalan raya yang terbelah pagar itu. Di situlah atraksinya.
Di sisi India penonton juga duduk di tribun melengkung. Mirip yang di Pakistan. Atau yang di Pakistan mirip dengan yang di sisi India. Fokus perhatian mereka juga ke jalan raya di depan mereka.
Kami yang di Pakistan bisa melihat juga atraksi mereka.
Mereka yang di sisi India bisa juga melihat atraksi Pakistan.
Di atas aspal itu terlihat orang menggendong kendang. Ditabuh dengan alat pemukul. Dengan pakaian berlambang Pakistan. Di sisi India juga sama. Dengan pakaian berlambang India.
Ada juga pengomando yel-yel. Dengan pakaian yang sama. Suara orang ini keras sekali. Dalam bahasa Urdu di sini. Dengan bahasa Urdu di sana.
Saya jadi ingat stadion sepakbola. Ada kepala supporter. Yang selalu menghadap penonton. Memberi komando. Kapan harus menyanyi dan lagunya apa. Tidak pernah bisa nonton pertandingan itu sendiri.
Juru komando itulah yang terus berteriak minta agar penonton semangat. Harus sering mengepalkan tangan ke atas. Sambil teriak. Menyambut yel-yel. Tidak boleh penonton hanya sedekap tangan. Jangan seperti penonton pasif. Jadilah supporter. Harus sering teriak dan bertepuk tangan.
Jangan sampai kalah semangat dengan penonton yang di sisi India. Malu.
“Pakistaaaaan….!!!” teriak komando itu.
“Zindabaaaad…!!!,” sahut penonton serentak.
Penonton yang tidak menyahut diingatkan. Harus semangat. Tidak boleh kalah. Malu.
“Pakistaaaaaaaaaaaan…..!!!!!” teriak komando lebih keras.
“Zindabaaaaaaaaaaaaadddd!!!!!,” sahut penonton. Lebih kompak.
Maksudnya: Hidup Pakistan!
Di sisi India juga begitu. Bersahut-sahutan. Adu teriak. Adu semangat. Rebutan langit.
Kadang teriakan itu diganti dengan Allahu Akbar. Entahlah. Apakah ada teriakan sejenis Allahu Akbar juga di sisi India.
Yang bersaing bukan hanya mulut. Juga tiang bendera utama. Adu tinggi-tinggian. Bendera Pakistan menang: lebih tinggi. Tertinggi di Asia Selatan.
India menang di model tribunnya. Lebih besar. Lebih megah.
Juga adu banyak-banyakan bendera. Adu atribut. Adu dandan cantik. Saya membeli topi Pakistan. Yang ada identitas perbatasannya.
Saya juga melihat penonton wanitanya adu cantik. Mereka berebut foto seusai acara.
Ada juga pengantin. Yang datang dari jauh. Dari Kashmir. Lima jam perjalanan. Pengantin wanitanya tuli. Pengantin prianya bisu.
Tapi emosi mereka bicara. Wajah mereka terhibur.
Kalau suporter Bonek boleh punya tribun sendiri di sini merekalah yang menang. Atau suporter Viking. Bisa lebih kreatif. Bisa perang lagu.
Di perbatasan India-Pakistan ini tidak ada adu lagu-lagu. Hanya yel-yel terus.
Tepat pukul 4 sore penonton terdiam. Berkumandanglah qiraah Alquran. Surah Ar Rahman. Beberapa ayat pertama.
Itu tanda dimulainya acara ini. Di sisi Pakistan.
Saya tidak mendengar suara apa yang dipakai tanda awal di sisi India sana.
Usai pembacaan Alquran itu dua tentara wanita Pakistan tiba di tengah jalan. Melangkah tegap ke arah pintu perbatasan. Sekitar 100 langkah. Gerak langkahnya dibuat amat cepat. Atraktif sekali.
Di sisi India juga begitu.
Dua wanita tadi lantas berdiri tegap di dekat pintu perbatasan. Bersebelahan dengan dua tentara wanita India. Bisa saling lihat kalau mau.
Pintunya jeruji besi yang tembus pandang. Tapi mereka tidak mau saling melirik.
Penonton (tepatnya: suporter) di kedua sisi terus meneriakkan yel-yel.
Satu kompi kecil tentara Pakistan menyusul berbaris menuju pintu perbatasan. Juga dengan langkah yang dipercepat. Di sisi India juga begitu.
Para tentara ini seperti adu atraksi. Kadang ayunan langkahnya harus amat tinggi. Seperti lomba. Tentara India-kah atau Pakistan yang ayunan kakinya lebih tinggi. Lebih tinggi dari kepala.
Pernah ada adegan tentara itu sampai terjatuh. Saat berusaha mengayunkan kaki lebih tinggi dari negara musuhnya.
Ketika beberapa tentara sudah saling berhadapan di balik pintu jeruji, pintu pun didorong. Perbatasan itu terbuka lebar.
Di saat inilah tentara kedua belah pihak adu apa saja. Tinggi-tinggian ayunan kaki. Adu sigap. Adu tegap. Adu menonjok awan. Adu kumis: mereka saling memilin kumis dengan atraktif. Seperti saling tantang: ini kumisku, mana kumismu.
Juga adu keindahan topi. Mereka saling menunjukkan gerak membetulkan topi. Seolah saling menantang: ini topiku, lebih indah dari topimu bukan?
Setiap gerak itu diikuti teriakan dukungan dari ribuan suporter. Mereka seperti mengesyahkan: tentara kami yang lebih hebat.
Tapi tidak ada nada emosi yang ditunjukkan suporter. Suasananya seperti kebencian yang diselimuti kebanggaan dan kegembiraan.
Saya sangat terhibur oleh atraksi ini. Begitu juga sebarisan orang dari Hangzhou di belakang saya.
Yang hebat, atraksi ini tetap dilangsungkan pun di saat genting. Termasuk bulan lalu. Sewaktu di perbatasan lain India-Pakistan lagi saling serang.
Ketegangan ternyata bisa jadi hiburan. Apalagi teater di perbatasan ini gratis.
Saya pernah melontarkan istilah “nasionalisme sempit” VS “nasionalisme modern”.
Yang ini adalah “nasionalisme atraktif”.(dahlan iskan)