25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 8:49 AM WIB

Pilgub Masih Lama, “Kampanye” Berkedok Sosialisasi Makin Masif

RadarBali.com – Tahapan pendaftaran pasangan cagub/cawagub pilgub Bali 2018 masih jauh. Rekomendasi paket dari partai juga belum turun.

Namun, berbagai manuver sudah dilakukan bakal calon gubernur (bacagub). Celakanya, manuver yang dilakukan sangat terstruktur dan masif.

Manuver berbau politis itu dilakukan dengan menebeng acara penyerahan dana hibah dan bansos yang didanai pemerintah.

Bahkan, secara masif juga melibatkan bupati/wabup serta anggota dewan aktif. Fenomena penyerahan bansos berupa uang tunai itu jelas sangat kental nuansa politik karena disertai pemasangan atribut parpol.

Bahkan, ada imbauan agar memberi dukungan pada pilgub Bali 2018. Ironisnya, kegiatan tersebut banyak dilakukan di areal tempat suci seperti pura.

Informasi yang dirangkum Jawa Pos Radar Bali, acara tersebut banyak terjadi di Kabupaten Badung.

Terkait fenomena tidak mendidik itu, pengamat politik dari Universitas Ngurah Rai, Luh Riniti Rahayu, mengatakan berdasar UU No 8/2015, kampanye dilakukan setelah ada penetapan pasangan calon (paslon) dari KPU.

Paslon diberi waktu kampanye selama 101 hari. Namun, meski sudah diberi waktu tiga bulan, ternyata banyak partai mengakalinya dengan modus sosialisasi.

“Meski sudah diberi waktu tiga bulan, fenomena sosialisasi dengan strategi ke ranah agama dan budaya di Bali terus berlanjut. Bahkan, bertambah intesif,” ujar Riniti kepada Jawa Pos Radar Bali.

Menurut Riniti, fenomena sosialisasi sebelum masa kampanye ini muncul setelah pilkada 2008. Saat itu paslon hanya diberi waktu kampanye dua pekan sesuai UU No 12/2008.

Masa kampanye yang pendek membuat calon dan parpol mencari cara-cara sosialisasi untuk mengenalkan calonnya.

“Adanya dana bansos dan hibah mendukung terjadinya fenomena itu (kampanye sebelum waktunya),” imbuh perempuan yang juga ketua LSM Bali Sruti itu.

Dikatakan Riniti, acara sosialisasi termasuk dilakukan di pura sah-sah saja selama tidak melanggar dan mengganggu ketertiban umum.

Tapi, bila sosialisasi seperti pemasangan baliho di atas trotoar dan mengganggu ruang publik, maka harus ditertibkan oleh pemerintah daerah.

Sayangnya, manuver parpol itu tidak tersentuh. Dikonfirmasi terpisah, Ketua KPU Bali, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyatakan tahapan kampanye belum mulai.

Terkait langkah pencegahan dini pelanggaran pemilu menjadi ranah Bawaslu. Masing-masing lembaga sudah memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.

“Peran KPU sebagai penyelenggara, yakni menyosialisasikan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar pria asal Jembrana itu.

Sementara itu, Wayan Widyardana Putra, anggota Bawaslu divisi pencegahan. Pria yang akrab dipanggil Widy itu mengatakan, tugas Bawaslu pada saat tahapan kalau di luar tahapan pemilu hanya sebatas mengingatkan.

“Kalau sekarang bicara pelanggaran tidak bisa karena belum ada tahapan,” katanya. Saat disinggung banyak acara sosialisasi berbau politis, Widy tak menyangkal.

Namun, lagi-lagi pihaknya tidak bisa menindak. “Mungkin secara etika kami bisa mengingatkan berdasar kepantasan,” tukasnya.

Bawaslu sendiri tidak mau disebut mengekang sosialisasi atau penyaluran dana hibah. Tentu, selama tidak tendensius dan menyalahi aturan.

RadarBali.com – Tahapan pendaftaran pasangan cagub/cawagub pilgub Bali 2018 masih jauh. Rekomendasi paket dari partai juga belum turun.

Namun, berbagai manuver sudah dilakukan bakal calon gubernur (bacagub). Celakanya, manuver yang dilakukan sangat terstruktur dan masif.

Manuver berbau politis itu dilakukan dengan menebeng acara penyerahan dana hibah dan bansos yang didanai pemerintah.

Bahkan, secara masif juga melibatkan bupati/wabup serta anggota dewan aktif. Fenomena penyerahan bansos berupa uang tunai itu jelas sangat kental nuansa politik karena disertai pemasangan atribut parpol.

Bahkan, ada imbauan agar memberi dukungan pada pilgub Bali 2018. Ironisnya, kegiatan tersebut banyak dilakukan di areal tempat suci seperti pura.

Informasi yang dirangkum Jawa Pos Radar Bali, acara tersebut banyak terjadi di Kabupaten Badung.

Terkait fenomena tidak mendidik itu, pengamat politik dari Universitas Ngurah Rai, Luh Riniti Rahayu, mengatakan berdasar UU No 8/2015, kampanye dilakukan setelah ada penetapan pasangan calon (paslon) dari KPU.

Paslon diberi waktu kampanye selama 101 hari. Namun, meski sudah diberi waktu tiga bulan, ternyata banyak partai mengakalinya dengan modus sosialisasi.

“Meski sudah diberi waktu tiga bulan, fenomena sosialisasi dengan strategi ke ranah agama dan budaya di Bali terus berlanjut. Bahkan, bertambah intesif,” ujar Riniti kepada Jawa Pos Radar Bali.

Menurut Riniti, fenomena sosialisasi sebelum masa kampanye ini muncul setelah pilkada 2008. Saat itu paslon hanya diberi waktu kampanye dua pekan sesuai UU No 12/2008.

Masa kampanye yang pendek membuat calon dan parpol mencari cara-cara sosialisasi untuk mengenalkan calonnya.

“Adanya dana bansos dan hibah mendukung terjadinya fenomena itu (kampanye sebelum waktunya),” imbuh perempuan yang juga ketua LSM Bali Sruti itu.

Dikatakan Riniti, acara sosialisasi termasuk dilakukan di pura sah-sah saja selama tidak melanggar dan mengganggu ketertiban umum.

Tapi, bila sosialisasi seperti pemasangan baliho di atas trotoar dan mengganggu ruang publik, maka harus ditertibkan oleh pemerintah daerah.

Sayangnya, manuver parpol itu tidak tersentuh. Dikonfirmasi terpisah, Ketua KPU Bali, Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyatakan tahapan kampanye belum mulai.

Terkait langkah pencegahan dini pelanggaran pemilu menjadi ranah Bawaslu. Masing-masing lembaga sudah memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan pemilu yang demokratis.

“Peran KPU sebagai penyelenggara, yakni menyosialisasikan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar pria asal Jembrana itu.

Sementara itu, Wayan Widyardana Putra, anggota Bawaslu divisi pencegahan. Pria yang akrab dipanggil Widy itu mengatakan, tugas Bawaslu pada saat tahapan kalau di luar tahapan pemilu hanya sebatas mengingatkan.

“Kalau sekarang bicara pelanggaran tidak bisa karena belum ada tahapan,” katanya. Saat disinggung banyak acara sosialisasi berbau politis, Widy tak menyangkal.

Namun, lagi-lagi pihaknya tidak bisa menindak. “Mungkin secara etika kami bisa mengingatkan berdasar kepantasan,” tukasnya.

Bawaslu sendiri tidak mau disebut mengekang sosialisasi atau penyaluran dana hibah. Tentu, selama tidak tendensius dan menyalahi aturan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/