29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:55 AM WIB

Masyaallah Pakistan

Tiap hari saya pindah kota. Sulit memutuskan: di mana bisa bikin janji. Untuk bertemu mahasiswa Indonesia yang ada di Pakistan. Untung saya harus balik ke kota Lahore. Untuk ke sungai Irawati. Yang sekarang bernama sungai Ravi itu. (Irawati – DI’s Way 28 Maret 2019). 

Maka di Lahore-lah kami janjian bertemu. Dengan permintaan maaf saya: kasihan mahasiswa yang dari Islamabad. Harus menempuh jarak hampir 400 km.

Misalnya Fahmi Wira Angkasa. Yang kuliah di International Islamic University. Jurusan hukum syariah. Atau Bagus Asri Wibawa dari kampus yang sama. Demikian juga Maulana Ibrahim yang asli Pringsewu, Lampung. Yang lulusan pondok modern Gontor Ponorogo.

Ditambah Nadzif Nuha. Yang sekolahnya dulu hafal Al Quran di pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dekat Cirebon. Nuha kini kuliah di psikologi.

Ali Muhtadin juga datang dari Islamabad. Dengan semangat wartawan. Ali ini lahir di Desa Kanor, Bojonegoro. Rumahnya di sebelah Bupati Suyoto. Ali lulusan Pesantren Persis, Bangil. Kini kuliah di jurusan ushuludin.

Maulana Ibrahim, asal Jakarta juga datang dari Islamabad. 

Mereka menyewa mobil. Bergantian mengemudikannya. Lewat Motorway yang bagus dan murah itu. 

Saya serahkan kepada mereka. Mau sambil makan malam di mana. 

“Suka makan apa?” tanya Fahmi. 

Masakan apa pun saya suka. Toh pilihannya tidak banyak. Kalau tidak kambing ya domba. Kalau tidak chappati ya naan.

Mereka memilih restoran yang unik. Di puncak bangunan tua tujuh lantai. Di lantai yang tidak ada atapnya. Menghadap ke langit. Bisa sambil melihat Masjid Badshahi dari atas. Di waktu malam. Dengan udara sejuk sekitar 22 derajat.

Musik dari lantai bawah terdengar sampai atap ini. Sesekali penyanyinya naik. Dengan mikrofon wireless. Menyanyikan lagu-lagu entahlah. Itu lagu India atau Pakistan. Di telinga saya kedengarannya sama saja.

“Itu lagu Punjabi,” ujar Fahmi.

Toh sama juga. 

Ada beberapa restoran seperti itu di deretan jalan pendek ini. Yang jalannya dibebaskan dari lalu lintas. Banyak kursi di pinggir jalan. Bisa makan sambil mejeng. Untuk yang berlalu-lalang. Atau bisa makan di lantai mana saja di bangunan-bangunan tua itu. 

Itulah food center-nya Lahore. Kawasan ini mestinya akan indah. Dan menarik. Romantis. Kalau Pakistan sudah kaya kelak.

Untuk sementara ini ya begini dulu. Seadanya dulu. Toh kami datang di waktu malam. Sudah hampir jam 21.00 pula. Yang kumuh-kumuh sudah tertutup gelapnya malam. Toh penerangan listrik di Pakistan juga tidak terlalu terang.

Orang Pakistan suka makan malam agak larut. Pun waktu kami meninggalkan resto ini. Sudah hampir jam 12.00 malam. Masih banyak yang baru datang.

Sambil makan saya lebih banyak menatap penara Masjid Badshahi. Juga kubah-kubahnya. 

Itulah masjid terbesar di Pakistan. Sebelum ada Masjid Faisal di Islamabad. Yang dibangun dengan dana Raja Faisal dari Saudi Arabia. 

“Di sini jangan bilang bahwa masjid terbesar itu ada di Indonesia. Masjid Istiqlal. Mereka tidak akan percaya. Untuk urusan Islam Pakistan merasa tidak boleh kalah dari mana pun,” ujar Ali Muhtadin, yang asli Bojonegoro itu. 

Tapi Masjid Badshahi memang hebat. Itulah masjid peninggalan kerajaan Islam Mughal (Mogul). Yang berpusat di Agra, India. Di abad ke 15.

Dari diskusi di bawah langit ini  saya tersadar: generasi millennial kita sudah termakan oleh istilah agenda Indonesia emas tahun 2045.

Di kampus mana pun saya menangkap kesan seperti itu. Mereka merasa seperti disiapkan untuk berperan di tahun 2045. Yang disebut Indonesia emas. 

Setiap kali diskusi di kampus itulah yang dibicarakan millennial. Bahkan di SMA Nur Hidayah di Solo itu. Pun di kampus dalam dan luar negeri. Tapi ketika saya kejar bagaimana tahapan mencapai emas itu tidak ada yang bisa menjelaskan.

“Tahun 2045 itu nanti Anda umur berapa?” tanya saya.

“Umur 49,” jawab Fahmi. Yang ternyata juga ketua umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Di seluruh dunia singkatannya PPI. Hanya di Pakistan ini ada tambahan huruf ‘M’.

Fahmi adalah alumni pondok modern Gontor Ponorogo. Aslinya Banyumas. Ayahnya kepala sekolah. Ibunya perawat. Ibunya-lah yang dulu minta Fahmi sekolah di Gontor.  

Sebelum ke Pakistan Fahmi mengabdi dulu untuk Gontor. Satu tahun. Bekerja di pabrik roti di Gurah, Kediri. Milik pondok Gontor juga. Lalu Fahmi tinggal selama 2 bulan di kampung Inggris. Di Desa Pare. Tidak jauh dari pabrik roti itu. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. 

Kami pun membahas umur Fahmi yang 49 tahun itu. Apakah tidak terlalu telat. Untuk generasi millennial yang kini seumur Fahmi.

Saya jadi pengin ketemu siapa sih yang memasyarakatkan isu tahun 2045 itu. Kok begitu jauhnya. Saya khawatir generasi millennial dibuat terlalu santai. Merasa tidak ada target cepat yang harus dicapai. 

Di Pakistan mungkin memang sulit diajak maju cepat. Tapi Indonesia sebenarnya sudah lebih siap. Lima tahun lalu pendapatan per kapita kita sudah 5.000 dolar. Setidaknya sudah 4.500 dolar. 

Akhir tahun ini mestinya sudah bisa 7.000 dolar. Begitulah gambaran yang saya perkirakan lima tahun lalu. Tapi setelah lima tahun ini pendapatan per kapita kita justru turun. Menjadi 4.000 dolar. Gara-gara ada gejolak rupiah. Yang mestinya bisa dihindari. Kalau pemerintah kita sukses melakukan ekspor.

Bukan justru sukses impor. Saya pun mengajukan satu pertanyaan pada mereka: apa yang bisa dipelajari dari Pakistan. Asumsi saya, tidak banyak yang bisa diperoleh dari negeri ini. Kalau soal ilmu di Indonesia pun tidak kalah.

Jawaban Fahmi menarik. 

“Kita belajar sabar pak,” ujar Fahmi.

“Setuju!” komentar spontan saya.

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang ‘masyaallah’. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata ‘masyaallah’ sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak tulisan ‘masyallah’ di Pakistan. Dalam huruf Arab bماشاءالله. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan ‘masyaallah’ itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan ‘subhanallah’.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofisnya.

Malam itu kami juga diskusi… hahaha… sepak bola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepak bola kita. Semangat sekali. 

Nuha memang kelihatan agak ‘kacau’. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepak bola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan…apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepak bola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama ‘Karachi City of Kriket’. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. 

Nuha mau bisnis sepak bola. Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di DI’s Way lain kali.

Tiap hari saya pindah kota. Sulit memutuskan: di mana bisa bikin janji. Untuk bertemu mahasiswa Indonesia yang ada di Pakistan. Untung saya harus balik ke kota Lahore. Untuk ke sungai Irawati. Yang sekarang bernama sungai Ravi itu. (Irawati – DI’s Way 28 Maret 2019). 

Maka di Lahore-lah kami janjian bertemu. Dengan permintaan maaf saya: kasihan mahasiswa yang dari Islamabad. Harus menempuh jarak hampir 400 km.

Misalnya Fahmi Wira Angkasa. Yang kuliah di International Islamic University. Jurusan hukum syariah. Atau Bagus Asri Wibawa dari kampus yang sama. Demikian juga Maulana Ibrahim yang asli Pringsewu, Lampung. Yang lulusan pondok modern Gontor Ponorogo.

Ditambah Nadzif Nuha. Yang sekolahnya dulu hafal Al Quran di pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dekat Cirebon. Nuha kini kuliah di psikologi.

Ali Muhtadin juga datang dari Islamabad. Dengan semangat wartawan. Ali ini lahir di Desa Kanor, Bojonegoro. Rumahnya di sebelah Bupati Suyoto. Ali lulusan Pesantren Persis, Bangil. Kini kuliah di jurusan ushuludin.

Maulana Ibrahim, asal Jakarta juga datang dari Islamabad. 

Mereka menyewa mobil. Bergantian mengemudikannya. Lewat Motorway yang bagus dan murah itu. 

Saya serahkan kepada mereka. Mau sambil makan malam di mana. 

“Suka makan apa?” tanya Fahmi. 

Masakan apa pun saya suka. Toh pilihannya tidak banyak. Kalau tidak kambing ya domba. Kalau tidak chappati ya naan.

Mereka memilih restoran yang unik. Di puncak bangunan tua tujuh lantai. Di lantai yang tidak ada atapnya. Menghadap ke langit. Bisa sambil melihat Masjid Badshahi dari atas. Di waktu malam. Dengan udara sejuk sekitar 22 derajat.

Musik dari lantai bawah terdengar sampai atap ini. Sesekali penyanyinya naik. Dengan mikrofon wireless. Menyanyikan lagu-lagu entahlah. Itu lagu India atau Pakistan. Di telinga saya kedengarannya sama saja.

“Itu lagu Punjabi,” ujar Fahmi.

Toh sama juga. 

Ada beberapa restoran seperti itu di deretan jalan pendek ini. Yang jalannya dibebaskan dari lalu lintas. Banyak kursi di pinggir jalan. Bisa makan sambil mejeng. Untuk yang berlalu-lalang. Atau bisa makan di lantai mana saja di bangunan-bangunan tua itu. 

Itulah food center-nya Lahore. Kawasan ini mestinya akan indah. Dan menarik. Romantis. Kalau Pakistan sudah kaya kelak.

Untuk sementara ini ya begini dulu. Seadanya dulu. Toh kami datang di waktu malam. Sudah hampir jam 21.00 pula. Yang kumuh-kumuh sudah tertutup gelapnya malam. Toh penerangan listrik di Pakistan juga tidak terlalu terang.

Orang Pakistan suka makan malam agak larut. Pun waktu kami meninggalkan resto ini. Sudah hampir jam 12.00 malam. Masih banyak yang baru datang.

Sambil makan saya lebih banyak menatap penara Masjid Badshahi. Juga kubah-kubahnya. 

Itulah masjid terbesar di Pakistan. Sebelum ada Masjid Faisal di Islamabad. Yang dibangun dengan dana Raja Faisal dari Saudi Arabia. 

“Di sini jangan bilang bahwa masjid terbesar itu ada di Indonesia. Masjid Istiqlal. Mereka tidak akan percaya. Untuk urusan Islam Pakistan merasa tidak boleh kalah dari mana pun,” ujar Ali Muhtadin, yang asli Bojonegoro itu. 

Tapi Masjid Badshahi memang hebat. Itulah masjid peninggalan kerajaan Islam Mughal (Mogul). Yang berpusat di Agra, India. Di abad ke 15.

Dari diskusi di bawah langit ini  saya tersadar: generasi millennial kita sudah termakan oleh istilah agenda Indonesia emas tahun 2045.

Di kampus mana pun saya menangkap kesan seperti itu. Mereka merasa seperti disiapkan untuk berperan di tahun 2045. Yang disebut Indonesia emas. 

Setiap kali diskusi di kampus itulah yang dibicarakan millennial. Bahkan di SMA Nur Hidayah di Solo itu. Pun di kampus dalam dan luar negeri. Tapi ketika saya kejar bagaimana tahapan mencapai emas itu tidak ada yang bisa menjelaskan.

“Tahun 2045 itu nanti Anda umur berapa?” tanya saya.

“Umur 49,” jawab Fahmi. Yang ternyata juga ketua umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Di seluruh dunia singkatannya PPI. Hanya di Pakistan ini ada tambahan huruf ‘M’.

Fahmi adalah alumni pondok modern Gontor Ponorogo. Aslinya Banyumas. Ayahnya kepala sekolah. Ibunya perawat. Ibunya-lah yang dulu minta Fahmi sekolah di Gontor.  

Sebelum ke Pakistan Fahmi mengabdi dulu untuk Gontor. Satu tahun. Bekerja di pabrik roti di Gurah, Kediri. Milik pondok Gontor juga. Lalu Fahmi tinggal selama 2 bulan di kampung Inggris. Di Desa Pare. Tidak jauh dari pabrik roti itu. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. 

Kami pun membahas umur Fahmi yang 49 tahun itu. Apakah tidak terlalu telat. Untuk generasi millennial yang kini seumur Fahmi.

Saya jadi pengin ketemu siapa sih yang memasyarakatkan isu tahun 2045 itu. Kok begitu jauhnya. Saya khawatir generasi millennial dibuat terlalu santai. Merasa tidak ada target cepat yang harus dicapai. 

Di Pakistan mungkin memang sulit diajak maju cepat. Tapi Indonesia sebenarnya sudah lebih siap. Lima tahun lalu pendapatan per kapita kita sudah 5.000 dolar. Setidaknya sudah 4.500 dolar. 

Akhir tahun ini mestinya sudah bisa 7.000 dolar. Begitulah gambaran yang saya perkirakan lima tahun lalu. Tapi setelah lima tahun ini pendapatan per kapita kita justru turun. Menjadi 4.000 dolar. Gara-gara ada gejolak rupiah. Yang mestinya bisa dihindari. Kalau pemerintah kita sukses melakukan ekspor.

Bukan justru sukses impor. Saya pun mengajukan satu pertanyaan pada mereka: apa yang bisa dipelajari dari Pakistan. Asumsi saya, tidak banyak yang bisa diperoleh dari negeri ini. Kalau soal ilmu di Indonesia pun tidak kalah.

Jawaban Fahmi menarik. 

“Kita belajar sabar pak,” ujar Fahmi.

“Setuju!” komentar spontan saya.

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang ‘masyaallah’. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata ‘masyaallah’ sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak tulisan ‘masyallah’ di Pakistan. Dalam huruf Arab bماشاءالله. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan ‘masyaallah’ itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan ‘subhanallah’.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofisnya.

Malam itu kami juga diskusi… hahaha… sepak bola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepak bola kita. Semangat sekali. 

Nuha memang kelihatan agak ‘kacau’. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepak bola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan…apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepak bola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama ‘Karachi City of Kriket’. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. 

Nuha mau bisnis sepak bola. Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di DI’s Way lain kali.

Mereka masih harus pulang ke Islamabad. Harus tetap kuliah. Saya juga belum istirahat sejak jam 4 pagi. 
Diskusi dengan mahasiswa selalu saja lupa lelah. Lupa ngantuk. Terlalu banyak topik yang bisa dibahas. Melihat itu mestinya kita bisa lebih cepat maju.

Atau tidak usah cepat-cepat? Tunggu tahun 2045 saja? Setelah saya tidak ada? 

ماشاءالله

Masyaallah. (Dahlan Iskan)

Tiap hari saya pindah kota. Sulit memutuskan: di mana bisa bikin janji. Untuk bertemu mahasiswa Indonesia yang ada di Pakistan. Untung saya harus balik ke kota Lahore. Untuk ke sungai Irawati. Yang sekarang bernama sungai Ravi itu. (Irawati – DI’s Way 28 Maret 2019). 

Maka di Lahore-lah kami janjian bertemu. Dengan permintaan maaf saya: kasihan mahasiswa yang dari Islamabad. Harus menempuh jarak hampir 400 km.

Misalnya Fahmi Wira Angkasa. Yang kuliah di International Islamic University. Jurusan hukum syariah. Atau Bagus Asri Wibawa dari kampus yang sama. Demikian juga Maulana Ibrahim yang asli Pringsewu, Lampung. Yang lulusan pondok modern Gontor Ponorogo.

Ditambah Nadzif Nuha. Yang sekolahnya dulu hafal Al Quran di pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dekat Cirebon. Nuha kini kuliah di psikologi.

Ali Muhtadin juga datang dari Islamabad. Dengan semangat wartawan. Ali ini lahir di Desa Kanor, Bojonegoro. Rumahnya di sebelah Bupati Suyoto. Ali lulusan Pesantren Persis, Bangil. Kini kuliah di jurusan ushuludin.

Maulana Ibrahim, asal Jakarta juga datang dari Islamabad. 

Mereka menyewa mobil. Bergantian mengemudikannya. Lewat Motorway yang bagus dan murah itu. 

Saya serahkan kepada mereka. Mau sambil makan malam di mana. 

“Suka makan apa?” tanya Fahmi. 

Masakan apa pun saya suka. Toh pilihannya tidak banyak. Kalau tidak kambing ya domba. Kalau tidak chappati ya naan.

Mereka memilih restoran yang unik. Di puncak bangunan tua tujuh lantai. Di lantai yang tidak ada atapnya. Menghadap ke langit. Bisa sambil melihat Masjid Badshahi dari atas. Di waktu malam. Dengan udara sejuk sekitar 22 derajat.

Musik dari lantai bawah terdengar sampai atap ini. Sesekali penyanyinya naik. Dengan mikrofon wireless. Menyanyikan lagu-lagu entahlah. Itu lagu India atau Pakistan. Di telinga saya kedengarannya sama saja.

“Itu lagu Punjabi,” ujar Fahmi.

Toh sama juga. 

Ada beberapa restoran seperti itu di deretan jalan pendek ini. Yang jalannya dibebaskan dari lalu lintas. Banyak kursi di pinggir jalan. Bisa makan sambil mejeng. Untuk yang berlalu-lalang. Atau bisa makan di lantai mana saja di bangunan-bangunan tua itu. 

Itulah food center-nya Lahore. Kawasan ini mestinya akan indah. Dan menarik. Romantis. Kalau Pakistan sudah kaya kelak.

Untuk sementara ini ya begini dulu. Seadanya dulu. Toh kami datang di waktu malam. Sudah hampir jam 21.00 pula. Yang kumuh-kumuh sudah tertutup gelapnya malam. Toh penerangan listrik di Pakistan juga tidak terlalu terang.

Orang Pakistan suka makan malam agak larut. Pun waktu kami meninggalkan resto ini. Sudah hampir jam 12.00 malam. Masih banyak yang baru datang.

Sambil makan saya lebih banyak menatap penara Masjid Badshahi. Juga kubah-kubahnya. 

Itulah masjid terbesar di Pakistan. Sebelum ada Masjid Faisal di Islamabad. Yang dibangun dengan dana Raja Faisal dari Saudi Arabia. 

“Di sini jangan bilang bahwa masjid terbesar itu ada di Indonesia. Masjid Istiqlal. Mereka tidak akan percaya. Untuk urusan Islam Pakistan merasa tidak boleh kalah dari mana pun,” ujar Ali Muhtadin, yang asli Bojonegoro itu. 

Tapi Masjid Badshahi memang hebat. Itulah masjid peninggalan kerajaan Islam Mughal (Mogul). Yang berpusat di Agra, India. Di abad ke 15.

Dari diskusi di bawah langit ini  saya tersadar: generasi millennial kita sudah termakan oleh istilah agenda Indonesia emas tahun 2045.

Di kampus mana pun saya menangkap kesan seperti itu. Mereka merasa seperti disiapkan untuk berperan di tahun 2045. Yang disebut Indonesia emas. 

Setiap kali diskusi di kampus itulah yang dibicarakan millennial. Bahkan di SMA Nur Hidayah di Solo itu. Pun di kampus dalam dan luar negeri. Tapi ketika saya kejar bagaimana tahapan mencapai emas itu tidak ada yang bisa menjelaskan.

“Tahun 2045 itu nanti Anda umur berapa?” tanya saya.

“Umur 49,” jawab Fahmi. Yang ternyata juga ketua umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Di seluruh dunia singkatannya PPI. Hanya di Pakistan ini ada tambahan huruf ‘M’.

Fahmi adalah alumni pondok modern Gontor Ponorogo. Aslinya Banyumas. Ayahnya kepala sekolah. Ibunya perawat. Ibunya-lah yang dulu minta Fahmi sekolah di Gontor.  

Sebelum ke Pakistan Fahmi mengabdi dulu untuk Gontor. Satu tahun. Bekerja di pabrik roti di Gurah, Kediri. Milik pondok Gontor juga. Lalu Fahmi tinggal selama 2 bulan di kampung Inggris. Di Desa Pare. Tidak jauh dari pabrik roti itu. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. 

Kami pun membahas umur Fahmi yang 49 tahun itu. Apakah tidak terlalu telat. Untuk generasi millennial yang kini seumur Fahmi.

Saya jadi pengin ketemu siapa sih yang memasyarakatkan isu tahun 2045 itu. Kok begitu jauhnya. Saya khawatir generasi millennial dibuat terlalu santai. Merasa tidak ada target cepat yang harus dicapai. 

Di Pakistan mungkin memang sulit diajak maju cepat. Tapi Indonesia sebenarnya sudah lebih siap. Lima tahun lalu pendapatan per kapita kita sudah 5.000 dolar. Setidaknya sudah 4.500 dolar. 

Akhir tahun ini mestinya sudah bisa 7.000 dolar. Begitulah gambaran yang saya perkirakan lima tahun lalu. Tapi setelah lima tahun ini pendapatan per kapita kita justru turun. Menjadi 4.000 dolar. Gara-gara ada gejolak rupiah. Yang mestinya bisa dihindari. Kalau pemerintah kita sukses melakukan ekspor.

Bukan justru sukses impor. Saya pun mengajukan satu pertanyaan pada mereka: apa yang bisa dipelajari dari Pakistan. Asumsi saya, tidak banyak yang bisa diperoleh dari negeri ini. Kalau soal ilmu di Indonesia pun tidak kalah.

Jawaban Fahmi menarik. 

“Kita belajar sabar pak,” ujar Fahmi.

“Setuju!” komentar spontan saya.

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang ‘masyaallah’. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata ‘masyaallah’ sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak tulisan ‘masyallah’ di Pakistan. Dalam huruf Arab bماشاءالله. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan ‘masyaallah’ itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan ‘subhanallah’.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofisnya.

Malam itu kami juga diskusi… hahaha… sepak bola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepak bola kita. Semangat sekali. 

Nuha memang kelihatan agak ‘kacau’. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepak bola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan…apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepak bola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama ‘Karachi City of Kriket’. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. 

Nuha mau bisnis sepak bola. Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di DI’s Way lain kali.

Tiap hari saya pindah kota. Sulit memutuskan: di mana bisa bikin janji. Untuk bertemu mahasiswa Indonesia yang ada di Pakistan. Untung saya harus balik ke kota Lahore. Untuk ke sungai Irawati. Yang sekarang bernama sungai Ravi itu. (Irawati – DI’s Way 28 Maret 2019). 

Maka di Lahore-lah kami janjian bertemu. Dengan permintaan maaf saya: kasihan mahasiswa yang dari Islamabad. Harus menempuh jarak hampir 400 km.

Misalnya Fahmi Wira Angkasa. Yang kuliah di International Islamic University. Jurusan hukum syariah. Atau Bagus Asri Wibawa dari kampus yang sama. Demikian juga Maulana Ibrahim yang asli Pringsewu, Lampung. Yang lulusan pondok modern Gontor Ponorogo.

Ditambah Nadzif Nuha. Yang sekolahnya dulu hafal Al Quran di pesantren Husnul Khotimah, Kuningan. Dekat Cirebon. Nuha kini kuliah di psikologi.

Ali Muhtadin juga datang dari Islamabad. Dengan semangat wartawan. Ali ini lahir di Desa Kanor, Bojonegoro. Rumahnya di sebelah Bupati Suyoto. Ali lulusan Pesantren Persis, Bangil. Kini kuliah di jurusan ushuludin.

Maulana Ibrahim, asal Jakarta juga datang dari Islamabad. 

Mereka menyewa mobil. Bergantian mengemudikannya. Lewat Motorway yang bagus dan murah itu. 

Saya serahkan kepada mereka. Mau sambil makan malam di mana. 

“Suka makan apa?” tanya Fahmi. 

Masakan apa pun saya suka. Toh pilihannya tidak banyak. Kalau tidak kambing ya domba. Kalau tidak chappati ya naan.

Mereka memilih restoran yang unik. Di puncak bangunan tua tujuh lantai. Di lantai yang tidak ada atapnya. Menghadap ke langit. Bisa sambil melihat Masjid Badshahi dari atas. Di waktu malam. Dengan udara sejuk sekitar 22 derajat.

Musik dari lantai bawah terdengar sampai atap ini. Sesekali penyanyinya naik. Dengan mikrofon wireless. Menyanyikan lagu-lagu entahlah. Itu lagu India atau Pakistan. Di telinga saya kedengarannya sama saja.

“Itu lagu Punjabi,” ujar Fahmi.

Toh sama juga. 

Ada beberapa restoran seperti itu di deretan jalan pendek ini. Yang jalannya dibebaskan dari lalu lintas. Banyak kursi di pinggir jalan. Bisa makan sambil mejeng. Untuk yang berlalu-lalang. Atau bisa makan di lantai mana saja di bangunan-bangunan tua itu. 

Itulah food center-nya Lahore. Kawasan ini mestinya akan indah. Dan menarik. Romantis. Kalau Pakistan sudah kaya kelak.

Untuk sementara ini ya begini dulu. Seadanya dulu. Toh kami datang di waktu malam. Sudah hampir jam 21.00 pula. Yang kumuh-kumuh sudah tertutup gelapnya malam. Toh penerangan listrik di Pakistan juga tidak terlalu terang.

Orang Pakistan suka makan malam agak larut. Pun waktu kami meninggalkan resto ini. Sudah hampir jam 12.00 malam. Masih banyak yang baru datang.

Sambil makan saya lebih banyak menatap penara Masjid Badshahi. Juga kubah-kubahnya. 

Itulah masjid terbesar di Pakistan. Sebelum ada Masjid Faisal di Islamabad. Yang dibangun dengan dana Raja Faisal dari Saudi Arabia. 

“Di sini jangan bilang bahwa masjid terbesar itu ada di Indonesia. Masjid Istiqlal. Mereka tidak akan percaya. Untuk urusan Islam Pakistan merasa tidak boleh kalah dari mana pun,” ujar Ali Muhtadin, yang asli Bojonegoro itu. 

Tapi Masjid Badshahi memang hebat. Itulah masjid peninggalan kerajaan Islam Mughal (Mogul). Yang berpusat di Agra, India. Di abad ke 15.

Dari diskusi di bawah langit ini  saya tersadar: generasi millennial kita sudah termakan oleh istilah agenda Indonesia emas tahun 2045.

Di kampus mana pun saya menangkap kesan seperti itu. Mereka merasa seperti disiapkan untuk berperan di tahun 2045. Yang disebut Indonesia emas. 

Setiap kali diskusi di kampus itulah yang dibicarakan millennial. Bahkan di SMA Nur Hidayah di Solo itu. Pun di kampus dalam dan luar negeri. Tapi ketika saya kejar bagaimana tahapan mencapai emas itu tidak ada yang bisa menjelaskan.

“Tahun 2045 itu nanti Anda umur berapa?” tanya saya.

“Umur 49,” jawab Fahmi. Yang ternyata juga ketua umum Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Pakistan. Di seluruh dunia singkatannya PPI. Hanya di Pakistan ini ada tambahan huruf ‘M’.

Fahmi adalah alumni pondok modern Gontor Ponorogo. Aslinya Banyumas. Ayahnya kepala sekolah. Ibunya perawat. Ibunya-lah yang dulu minta Fahmi sekolah di Gontor.  

Sebelum ke Pakistan Fahmi mengabdi dulu untuk Gontor. Satu tahun. Bekerja di pabrik roti di Gurah, Kediri. Milik pondok Gontor juga. Lalu Fahmi tinggal selama 2 bulan di kampung Inggris. Di Desa Pare. Tidak jauh dari pabrik roti itu. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. 

Kami pun membahas umur Fahmi yang 49 tahun itu. Apakah tidak terlalu telat. Untuk generasi millennial yang kini seumur Fahmi.

Saya jadi pengin ketemu siapa sih yang memasyarakatkan isu tahun 2045 itu. Kok begitu jauhnya. Saya khawatir generasi millennial dibuat terlalu santai. Merasa tidak ada target cepat yang harus dicapai. 

Di Pakistan mungkin memang sulit diajak maju cepat. Tapi Indonesia sebenarnya sudah lebih siap. Lima tahun lalu pendapatan per kapita kita sudah 5.000 dolar. Setidaknya sudah 4.500 dolar. 

Akhir tahun ini mestinya sudah bisa 7.000 dolar. Begitulah gambaran yang saya perkirakan lima tahun lalu. Tapi setelah lima tahun ini pendapatan per kapita kita justru turun. Menjadi 4.000 dolar. Gara-gara ada gejolak rupiah. Yang mestinya bisa dihindari. Kalau pemerintah kita sukses melakukan ekspor.

Bukan justru sukses impor. Saya pun mengajukan satu pertanyaan pada mereka: apa yang bisa dipelajari dari Pakistan. Asumsi saya, tidak banyak yang bisa diperoleh dari negeri ini. Kalau soal ilmu di Indonesia pun tidak kalah.

Jawaban Fahmi menarik. 

“Kita belajar sabar pak,” ujar Fahmi.

“Setuju!” komentar spontan saya.

Saya pun sudah belajar sabar itu. Selama seminggu di Pakistan. Sabar dengan pelayanan yang lambat. Dengan antrian yang tidak tertib. Dengan lalu-lintas yang ‘masyaallah’. Dengan variasi makanan yang terbatas. Dengan perbedaan pendapat yang tajam.

Kata ‘masyaallah’ sengaja saya pergunakan di situ. Untuk menunjukkan kekaguman saya pada Pakistan: begitu banyak tulisan ‘masyallah’ di Pakistan. Dalam huruf Arab bماشاءالله. Dalam berbagai variasi. Di gedung-gedung. Di toko-toko. Di kaca mobil.

Saya sering bertanya pada orang Pakistan: mengapa banyak tulisan ‘masyaallah’ itu. Mengapa misalnya tidak ada tulisan ‘subhanallah’.

Saya belum berhasil menemukan jawaban yang memuaskan. Saya pun minta tolong teman-teman mahasiswa itu. Untuk mencarikan jawaban filosofisnya.

Malam itu kami juga diskusi… hahaha… sepak bola. Yang mengajukan agenda sepakbola itu Nuha. Yang sekolah hafal Quran tadi. Nuha begitu jengkel dengan pengelolaan sepak bola kita. Semangat sekali. 

Nuha memang kelihatan agak ‘kacau’. Dari pesantren hafal Quran ia kuliah psikologi. Di Pakistan pula. Cita-citanya kelak membeli klub sepak bola dunia. Lewat bisnis.

Padahal sepakbola Pakistan…apanya yang bisa dipelajari. Ini negeri kriket. Bukan sepak bola. Lihatlah di jalan-jalan di kota Karachi. Banyak papan nama ‘Karachi City of Kriket’. Perdana menterinya pun pemain dunia kriket. 

Nuha mau bisnis sepak bola. Bagus Asri Wibawa juga bercita-cita ingin bisnis. Ayahnya, orang Pringsewu, Lampung. Pedagang. Bagus juga lulusan Gontor. Pernah mengabdi untuk almamaternya itu satu tahun. Mengajar di pondok alumni di Taliwang, Sumbawa.

Sebelum ke Pakistan Bagus juga membekali bahasa Inggrisnya di kampung Inggris, Pare.

Menurut Bagus, Pakistan sulit maju karena sektariannya luar biasa. Fahmi juga berpendapat yang sama. Tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Untuk membahas sektarian ini. Mungkin di DI’s Way lain kali.

Mereka masih harus pulang ke Islamabad. Harus tetap kuliah. Saya juga belum istirahat sejak jam 4 pagi. 
Diskusi dengan mahasiswa selalu saja lupa lelah. Lupa ngantuk. Terlalu banyak topik yang bisa dibahas. Melihat itu mestinya kita bisa lebih cepat maju.

Atau tidak usah cepat-cepat? Tunggu tahun 2045 saja? Setelah saya tidak ada? 

ماشاءالله

Masyaallah. (Dahlan Iskan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/