27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 23:34 PM WIB

Perut Gunung

Baru kali ini saya melihat banyak anak kecil. Di Tiongkok. Atau wanita-wanita hamil di jalan trotoar. Itu karena saya lagi di kota kecil Xichang. Kota yang mayoritas penduduknya suku Yi. Salah satu dari 50 suku minoritas di Tiongkok. Suku minoritas memang boleh punya anak berapa pun. Termasuk di saat Tiongkok hanya membolehkan satu anak. Pemandangan pun jadi aneh. Kok banyak anak kecil. Meski tidak sebanyak di Indonesia. Ada juga pemandangan seperti di lingkungan suku Dayak di Kalimantan: wanita menggendong keranjang di punggung mereka. Wajah mereka pun tidak seperti umumnya orang Tiongkok. Yang didominasi suku Han itu. Wajah mereka sangat mirip orang Dayak. Dulu suku ini termasuk yang terpencil. Terasing. Tinggal di pegunungan nan jauh. Di gugusan dataran tinggi Kun Lun. Bahasa mereka berbeda. Pun tulisannya. Punya huruf sendiri. Toko-toko, gedung-gedung, diwajibkan menuliskan nama dengan huruf suku Yi. Baru di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Mandarin.  Sekarang kota Xichang tidak terisolasi lagi. Sejak ada jalan tol yang melewatinya. Yang menembus gunung-gunung tinggi. Yang melintang di atas lembah-lembah yang curam. Jalan tol ke kota Xichang inilah yang videonya banyak beredar di Indonesia. Yang dramatik itu. Yang disebut ‘tol di atas awan’. Atau ‘tol langit’. Tentu saya tidak bisa membuat video sebaik itu. Posisi saya di dalam mobil. Yang dilarang berhenti di jalan tol. Saya hanya bisa memotret sebisa saya. Sedang video yang dramatik itu dibuat secara khusus. Pakai helikopter. Atau drone. Di musim yang dipilih pula: yang awannya sedang menggelayut. Yang cahaya paginya masih penuh kabut. Yang puncak-puncak gunungnya masih penuh salju. Saya ingin sekali lewat tol ini di bulan Januari. Agar bisa memperoleh suasana terbaik. Atau awal Desember. Pun pagi-pagi sudah harus tiba di lokasi ini. Sedang perjalanan saya sekarang ini harus berangkat dari kota Chengdu. Ibukota propinsi Sichuan. Biar pun jam 7 pagi sudah berangkat masih  terlalu siang mencapai lokasi dramatik itu. Apalagi hari itu hari libur nasional: Cing Ming. Yang banyak orang harus mudik. Ke kuburan leluhur. Jalan ke arah luar kota macet sekali. Tapi video yang indah itu pun tidak lengkap. Video itu tidak bisa menggambarkan yang satu ini: bagaimana kondisi di dalam terowongan. Di perut gunung. Yang salah satu terowongannya sepanjang  10 km. Melingkar-lingkar pula. Baru kali ini saya lewat terowongan melingkar di dalam gunung.
Jalan tol yang saya lewati ini pasti mahal sekali. Terowongannya saja 29 buah. Jembatannya lebih banyak lagi. Separo dari panjang jalan ini adalah jembatan dan terowongan. Begitu banyak ujung jembatan yang berupa terowongan. Atau ujung terowongannya langsung jembatan.
Jembatannya pun begitu banyak yang tinggi. Yang pilarnya sampai hampir 200 meter. Yang kalau difoto dari bawah pasti dramatik. Apalagi kalau kabut lagi tebal. Dulu banyak tempat berhenti. Untuk mengambil foto. Di celah-celah tebing. Kini tidak boleh lagi. Lokasi pemberhentian itu hanya cukup untuk tiga mobil. Bikin macet. Tidak sebanding dengan banyaknya yang ingin berhenti.
Mahalnya jalan ini juga karena posisinya yang di patahan bumi. Rawan gempa. Konstruksinya harus memperhitungkan gempa terbesar di situ. Yang pernah terjadi tahun 2013. Yang menghancurkan kawasan Jiu Zai Guo. Daerah wisata bintang lima. Yang sampai sekarang masih tertutup. Belum selesai dibangun kembali. Saya pun harus berhenti di kota Huang Long. Ketika tahun lalu ke Sichuan. 
Xichang kini sudah jadi kota modern. Tidak ada lagi kampung lama suku Yi. Perumahannya sudah apartemen bertingkat. Kotanya tertata rapi. Dengan jalan-jalan lebar. Dengan trotoar lebar. Banyak ditanami pohon bunga JacaRanda. Sakura versi Xichang. Yang bunganya ungu.Yang hanya berbunga di musim Sakura. Selama dua minggu saja. (Lihat postingan instagram saya @dahlaniskan19).
Trotoar yang lebar itu juga dimanfaatkan untuk foto-foto prawedding. Salah satunya juga jadi bahan instagram saya. Kota Xichang sudah disiapkan jadi kota wisata. Menjadi rangkaian dalam satu kalung mutiara: Xichang-Lijiang-Shangrila. Beda provinsi tapi satu gugusan pegunungan Kun Lun. Sudah dilengkapi pula jalan tol ke semua rangkaian itu. Saya pernah merasakan sebelum adanya tol. Dari Lijiang ke Shangrila. Empat jam. Lewat lereng-lereng gunung. Sambil melihat pilar-pilar tinggi yang lagi dibangun. Gunung yang lagi dibor. Untuk rangkaian kalung tol mutiara itu. “Sebelum ada terowongan ini melingkari satu gunung ini saja perlu tiga jam,” ujar sopir saya. Itu satu gunung. Bayangkan banyaknya gunung di sini.  Tiongkok memang lagi “memandang ke barat”. Kawasan yang masih tertinggal. Dibanding daerah timur dan tengah. Untuk mengejar target: tidak boleh lagi ada orang miskin. Di tahun 2024. Di akhir masa jabatan kedua presiden Xi Jinping. Tahun-tahun belakangan saya memang banyak ke daerah barat. Dengan satu tujuan: melihat bagaimana kemiskinan dihilangkan.(Dahlan Iskan) 

Baru kali ini saya melihat banyak anak kecil. Di Tiongkok. Atau wanita-wanita hamil di jalan trotoar. Itu karena saya lagi di kota kecil Xichang. Kota yang mayoritas penduduknya suku Yi. Salah satu dari 50 suku minoritas di Tiongkok. Suku minoritas memang boleh punya anak berapa pun. Termasuk di saat Tiongkok hanya membolehkan satu anak. Pemandangan pun jadi aneh. Kok banyak anak kecil. Meski tidak sebanyak di Indonesia. Ada juga pemandangan seperti di lingkungan suku Dayak di Kalimantan: wanita menggendong keranjang di punggung mereka. Wajah mereka pun tidak seperti umumnya orang Tiongkok. Yang didominasi suku Han itu. Wajah mereka sangat mirip orang Dayak. Dulu suku ini termasuk yang terpencil. Terasing. Tinggal di pegunungan nan jauh. Di gugusan dataran tinggi Kun Lun. Bahasa mereka berbeda. Pun tulisannya. Punya huruf sendiri. Toko-toko, gedung-gedung, diwajibkan menuliskan nama dengan huruf suku Yi. Baru di bawahnya ada tulisan dalam bahasa Mandarin.  Sekarang kota Xichang tidak terisolasi lagi. Sejak ada jalan tol yang melewatinya. Yang menembus gunung-gunung tinggi. Yang melintang di atas lembah-lembah yang curam. Jalan tol ke kota Xichang inilah yang videonya banyak beredar di Indonesia. Yang dramatik itu. Yang disebut ‘tol di atas awan’. Atau ‘tol langit’. Tentu saya tidak bisa membuat video sebaik itu. Posisi saya di dalam mobil. Yang dilarang berhenti di jalan tol. Saya hanya bisa memotret sebisa saya. Sedang video yang dramatik itu dibuat secara khusus. Pakai helikopter. Atau drone. Di musim yang dipilih pula: yang awannya sedang menggelayut. Yang cahaya paginya masih penuh kabut. Yang puncak-puncak gunungnya masih penuh salju. Saya ingin sekali lewat tol ini di bulan Januari. Agar bisa memperoleh suasana terbaik. Atau awal Desember. Pun pagi-pagi sudah harus tiba di lokasi ini. Sedang perjalanan saya sekarang ini harus berangkat dari kota Chengdu. Ibukota propinsi Sichuan. Biar pun jam 7 pagi sudah berangkat masih  terlalu siang mencapai lokasi dramatik itu. Apalagi hari itu hari libur nasional: Cing Ming. Yang banyak orang harus mudik. Ke kuburan leluhur. Jalan ke arah luar kota macet sekali. Tapi video yang indah itu pun tidak lengkap. Video itu tidak bisa menggambarkan yang satu ini: bagaimana kondisi di dalam terowongan. Di perut gunung. Yang salah satu terowongannya sepanjang  10 km. Melingkar-lingkar pula. Baru kali ini saya lewat terowongan melingkar di dalam gunung.
Jalan tol yang saya lewati ini pasti mahal sekali. Terowongannya saja 29 buah. Jembatannya lebih banyak lagi. Separo dari panjang jalan ini adalah jembatan dan terowongan. Begitu banyak ujung jembatan yang berupa terowongan. Atau ujung terowongannya langsung jembatan.
Jembatannya pun begitu banyak yang tinggi. Yang pilarnya sampai hampir 200 meter. Yang kalau difoto dari bawah pasti dramatik. Apalagi kalau kabut lagi tebal. Dulu banyak tempat berhenti. Untuk mengambil foto. Di celah-celah tebing. Kini tidak boleh lagi. Lokasi pemberhentian itu hanya cukup untuk tiga mobil. Bikin macet. Tidak sebanding dengan banyaknya yang ingin berhenti.
Mahalnya jalan ini juga karena posisinya yang di patahan bumi. Rawan gempa. Konstruksinya harus memperhitungkan gempa terbesar di situ. Yang pernah terjadi tahun 2013. Yang menghancurkan kawasan Jiu Zai Guo. Daerah wisata bintang lima. Yang sampai sekarang masih tertutup. Belum selesai dibangun kembali. Saya pun harus berhenti di kota Huang Long. Ketika tahun lalu ke Sichuan. 
Xichang kini sudah jadi kota modern. Tidak ada lagi kampung lama suku Yi. Perumahannya sudah apartemen bertingkat. Kotanya tertata rapi. Dengan jalan-jalan lebar. Dengan trotoar lebar. Banyak ditanami pohon bunga JacaRanda. Sakura versi Xichang. Yang bunganya ungu.Yang hanya berbunga di musim Sakura. Selama dua minggu saja. (Lihat postingan instagram saya @dahlaniskan19).
Trotoar yang lebar itu juga dimanfaatkan untuk foto-foto prawedding. Salah satunya juga jadi bahan instagram saya. Kota Xichang sudah disiapkan jadi kota wisata. Menjadi rangkaian dalam satu kalung mutiara: Xichang-Lijiang-Shangrila. Beda provinsi tapi satu gugusan pegunungan Kun Lun. Sudah dilengkapi pula jalan tol ke semua rangkaian itu. Saya pernah merasakan sebelum adanya tol. Dari Lijiang ke Shangrila. Empat jam. Lewat lereng-lereng gunung. Sambil melihat pilar-pilar tinggi yang lagi dibangun. Gunung yang lagi dibor. Untuk rangkaian kalung tol mutiara itu. “Sebelum ada terowongan ini melingkari satu gunung ini saja perlu tiga jam,” ujar sopir saya. Itu satu gunung. Bayangkan banyaknya gunung di sini.  Tiongkok memang lagi “memandang ke barat”. Kawasan yang masih tertinggal. Dibanding daerah timur dan tengah. Untuk mengejar target: tidak boleh lagi ada orang miskin. Di tahun 2024. Di akhir masa jabatan kedua presiden Xi Jinping. Tahun-tahun belakangan saya memang banyak ke daerah barat. Dengan satu tujuan: melihat bagaimana kemiskinan dihilangkan.(Dahlan Iskan) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/