DENPASAR – Tragedi Bom Bali 1, Minggu, 12 Oktober 2002 silam terus membekas hingga kini. Dua ledakan, tepatnya di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) Jalan Legian, Kuta merenggut 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka.
Meskipun tiga orang tersangka, yakni Amrozi, Imam Samudra alias Abdul Aziz, dan Ali Ghufron alias Mukhlas telah dieksekusi mati di Bukit Nirbaya,
Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu, 9 November 2008 pukul 00.15 silam, Bali patut waspada terhadap serangan radikal serupa.
Patut disyukuri, keteguhan masyarakat Bali kala itu, baik Hindu, Kristen, Islam, Budha membuat “luka” akibat bom Bali cepat mengering.
“Bali adalah cermin pluralisme dunia. Segala macam hal bisa masuk,berbaur, dan membentuk sesuatu yang indah.
Pulau Dewata memegang roh kehidupan zaman Majapahit,” ucap I Gusti Ngurah Harta, Rabu (10/4) pagi.
Pola hidup harmonis dan penuh toleransi di Bali tentu tak boleh diusik oleh apapun, terutama oleh gerakan-gerakan radikal yang kini menjadi kecemasan masyarakat dunia.
I Gusti Ngurah Harta menilai gerakan radikal dalam agama atau keyakinan apapun patut dienyahkan, khususnya dari tanah air Indonesia.
“Gerakan radikal tidak hanya ada di kelompok-kelompok Islam. Di Hindu, Kristen, Islam, Budha dan agama lain juga ada. Ini yang harus kita waspadai.
Memberikan ruang tumbuh dan berkembang bagi gerakan radikal adalah bom waktu bagi keutuhan Indonesia,” ucap Calon DPD RI nomor urut 31
yang merupakan sosok utama pelaporan Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman lantaran melakukan fitnah keji terhadap pecalang.
Imbuhnya, kewaspadaan ekstra dibutuhkan pemerintah karena sejumlah partai politik, yakni PKS, PAN, dan Gerindra justru pro terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
yang ditolak di berbagai negara termasuk Indonesia. Khusus di Indonesia, penolakan dilakukan sebab diduga kuat HTI ingin mengganti ideologi Pancasila.
“Jangan jadi pahlawan untuk agama, tapi jadilah pahlawan untuk kemanusiaan. Kemanusiaan ini yang lebih penting di atas segala-galanya,” tandas Pinisepuh Perguruan Sandi Murti Indonesia tersebut.
Menariknya, Ngurah Harta menyebut tanpa disadari Bali juga memiliki sejumlah tokoh radikal. Agar paham dan gerakan radikal ini tidak semakin luas, Turah Harta menyebut institusi pendidikan memegang peran sentral.
“Bila ada oknum tertentu yang mengajak umat mempertahankan agama Hindu, namun di sisi lain menghina agama lain maka saya pastikan dia bukan pahlawan, melainkan radikalis.
Pahlawan yang sesungguhnya adalah mereka yang menjaga semua mahkluk ciptaan Tuhan. Ajaran tentang kemanusiaan yang utama,” tandasnya.
Agar aman termasuk mengantisipasi serangan kelompok radikal, I Gusti Ngurah Harta menilai Provinsi Bali harus segera memiliki database kependudukan adat dan non adat Bali.
Aplikasi pendataan penduduk yang berdomisili di wilayah Bali ini bertujuan membantu pemerintah dan aparat keamanan.
Bila Bali tidak dikelola dengan baik, status sebagai destinasi pariwisata dunia hanya akan jadi embel-embel belaka.
“Kita bisa lihat sendiri kebijakan bebas visa membuat gerbong penjahat lintas negara leluasa beraksi di Bali. Peredaran narkoba pun semakin memprihatinkan,” ungkapnya.
Gaya hidup masyarakat Bali, khususnya yang berstatus non adat Bali kian heterogen. Tidak mengenal satu sama lain meski tinggal dalam satu lingkungan.
Hal ini menegaskan pentingnya database kependudukan. “Tata kelola penduduk akan membantu pemerintah mengetahui masalah riil yang dihadapi masyarakat,
khususnya di bidang keamanan, pendidikan dan ekonomi. Database kependudukan berbasis online ini terkoneksi dengan Polri, TNI, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Kenapa LPD?
Karena bagi saya akan sangat baik bila perputaran uang kita dikelola LPD sebab imbasnya demi pemeliharaan adat dan budaya Bali,” ungkapnya. (rba)