29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:14 AM WIB

Wooww…Anggarkan Rp 6 M untuk Audiensi dengan Eks Gubernur dan Wagub

DENPASAR – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan caleg DPR RI Dapil Bali, dari partai Gerindra, AA Alit Wiraputra bermula pada 2012 lalu.

Saat itu, tersangka yang menjabat Ketua Kadin Bali merayu korban Sutrisno Lukito Dosastro, 58, untuk mengurus ijin dalam rangka pengembangan

Pelabuhan Benoa seluas 400 hektar yang waktu itu dikabarkan akan diserahkan ke pihak ketiga oleh PT Pelindo III.

Pihak ketiga dalam hal ini adalah korban Sutrisno Lukito Dosastro. Untuk memuluskan proyek tersebut, maka diperlukan perijinan dari pihak provinsi Bali. 

Untuk proses tersebut, pelapor dan tersangka sepakat untuk mendirikan perusahaan bernama PT Bangun Segitiga Emas yang direncanakan akan melakukan kerjasama dengan Pelindo III dalam rencana pengembangan pelabuhan Benoa.

Untuk memuluskan upaya tersebut, tersangka dipercaya mengurus semua proses perijinan, hingga persetujuan prinsip dari gubernur Bali saat itu, Mangku Pastika.

“Dalam kerjasama itu nantinya yang membuat draf kerjasama, mengurus izin dengan gubernur adalah tersangka.

Mengurus rekomendasi juga tersangka, persetujuan dan prinsip juga tersangka. Sehingga dibuatlah kesepakatan saling pengertian kerjasama

antara tersangka dengan pelapor,” jelas Direktur Reskrimum Polda Bali Kombes Pol Andi Fairan di Polda Bali kemarin.

Dalam kesepakatan itu, disepakati bahwa biaya operasional yang dikeluarkan oleh korban sebesar Rp 30 miliar.

Untuk mengurus sejumlah berkas perizinan tersebut, Alit Wiraputra meminta Rp 6 miliar untuk digunakan audiensi dengan gubernur dan wakil gubernur.

Kemudian pada tahap kedua, korban kembali memberikan Rp 10 miliar kepada tersangka untuk mendapatkan izin dan rekomendasi dari gubernur saat itu. 

“Yang jadi masalah, sampai di tahap kedua itu izin rekomendasi dari gubernur Bali tidak keluar sedangkan pelapor telah memberikan dana kepada tersangka 16 miliar.

Karena sesuai dengan surat kesepakatan, korban pun melapor ke Polda Bali pada tanggal 20 April 2018,” terang Kombes Andi Fairan.

Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengaku bahwa sejumlah dana yang diterima dari korban, oleh tersangka diserahkan kepada tiga orang yang masing-masing berinisial J, C dan S.

Kepada S, tersangka menyerahkan uang sebesar Rp 7,5 miliar ditambah Rp 800 juta untuk memberikan arahan pihak mana saja yang berkompeten untuk kepentingan pengurusan perizinan.

Kepada C, diserahkan Rp 4,6 miliar untuk mengurus dan menyiapkan gambar dan rancangan pengembangan wilayah.

Dan kepada J diserahkan sebesar Rp 1,1 miliar untuk mengurus legalitas dan surat-surat lain ke Pemprov Bali.

“Ketiga saksi ini sudah kami periksa dan mereka mengakui menerima dan dibuktikan dengan sejumlah bukti transfer,” bebernya.

“Tapi kan dalam kesepakatan kerjasama (antara tersangka dan pelapor) di sini, tersangka menunjuk untuk dirinya sendiri.

Jadi uang yang diterima itu untuk diberikan kepada pihak lain itu urusan dia. Tapi, kewajiban dia itu dengan pihak pelapor,” tandas Kombes Fairan. 

DENPASAR – Kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan caleg DPR RI Dapil Bali, dari partai Gerindra, AA Alit Wiraputra bermula pada 2012 lalu.

Saat itu, tersangka yang menjabat Ketua Kadin Bali merayu korban Sutrisno Lukito Dosastro, 58, untuk mengurus ijin dalam rangka pengembangan

Pelabuhan Benoa seluas 400 hektar yang waktu itu dikabarkan akan diserahkan ke pihak ketiga oleh PT Pelindo III.

Pihak ketiga dalam hal ini adalah korban Sutrisno Lukito Dosastro. Untuk memuluskan proyek tersebut, maka diperlukan perijinan dari pihak provinsi Bali. 

Untuk proses tersebut, pelapor dan tersangka sepakat untuk mendirikan perusahaan bernama PT Bangun Segitiga Emas yang direncanakan akan melakukan kerjasama dengan Pelindo III dalam rencana pengembangan pelabuhan Benoa.

Untuk memuluskan upaya tersebut, tersangka dipercaya mengurus semua proses perijinan, hingga persetujuan prinsip dari gubernur Bali saat itu, Mangku Pastika.

“Dalam kerjasama itu nantinya yang membuat draf kerjasama, mengurus izin dengan gubernur adalah tersangka.

Mengurus rekomendasi juga tersangka, persetujuan dan prinsip juga tersangka. Sehingga dibuatlah kesepakatan saling pengertian kerjasama

antara tersangka dengan pelapor,” jelas Direktur Reskrimum Polda Bali Kombes Pol Andi Fairan di Polda Bali kemarin.

Dalam kesepakatan itu, disepakati bahwa biaya operasional yang dikeluarkan oleh korban sebesar Rp 30 miliar.

Untuk mengurus sejumlah berkas perizinan tersebut, Alit Wiraputra meminta Rp 6 miliar untuk digunakan audiensi dengan gubernur dan wakil gubernur.

Kemudian pada tahap kedua, korban kembali memberikan Rp 10 miliar kepada tersangka untuk mendapatkan izin dan rekomendasi dari gubernur saat itu. 

“Yang jadi masalah, sampai di tahap kedua itu izin rekomendasi dari gubernur Bali tidak keluar sedangkan pelapor telah memberikan dana kepada tersangka 16 miliar.

Karena sesuai dengan surat kesepakatan, korban pun melapor ke Polda Bali pada tanggal 20 April 2018,” terang Kombes Andi Fairan.

Dari hasil pemeriksaan, tersangka mengaku bahwa sejumlah dana yang diterima dari korban, oleh tersangka diserahkan kepada tiga orang yang masing-masing berinisial J, C dan S.

Kepada S, tersangka menyerahkan uang sebesar Rp 7,5 miliar ditambah Rp 800 juta untuk memberikan arahan pihak mana saja yang berkompeten untuk kepentingan pengurusan perizinan.

Kepada C, diserahkan Rp 4,6 miliar untuk mengurus dan menyiapkan gambar dan rancangan pengembangan wilayah.

Dan kepada J diserahkan sebesar Rp 1,1 miliar untuk mengurus legalitas dan surat-surat lain ke Pemprov Bali.

“Ketiga saksi ini sudah kami periksa dan mereka mengakui menerima dan dibuktikan dengan sejumlah bukti transfer,” bebernya.

“Tapi kan dalam kesepakatan kerjasama (antara tersangka dan pelapor) di sini, tersangka menunjuk untuk dirinya sendiri.

Jadi uang yang diterima itu untuk diberikan kepada pihak lain itu urusan dia. Tapi, kewajiban dia itu dengan pihak pelapor,” tandas Kombes Fairan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/