Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Ni Wayan Sriani, 38, warga Banjar Bentuyung, Kelurahan Ubud, kepeleset di negara tempatnya bekerja di Nigeria, Afrika Tengah, Jumat (1/9) lalu.
Sriani akhirnya mengembuskan nafas terakhir Rabu lalu (6/9). Namun, keterbatasan biaya membuat pihak keluarga tak mampu memulangkan jasadnya. Bagaimana ceritanya?
IB INDRA PRASETIA, Ubud
BEBERAPA kerabat mulai berdatangan ke rumah duka, Ni Wayan Sriani, 35, di Banjar Bentuyung, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Selasa (12/9) kemarin.
Di rumah itu, suami korban, Gusti Nyoman Putra, 51, dan putri Sriani, Gusti Ayu Sukerti, 9, tampak berpakaian adat madya.
Raut wajah putrinya menyembunyikan kesedihannya. “Waktu dikasih tahu meninggal, saya tidak nangis. Tapi besoknya saya menangis,” ujar Ayu Sukerti yang masih duduk di bangku SD ini.
Sukerti sudah merelakan kepergian ibunya. “Saya sudah rela,” paparnya. Sang suami, Gusti Nyoman Putra menceritakan awal mula istri ketiganya itu bekerja di Nigeria.
“Awalnya istri saya diajak sama temannya menjadi terapist spa di Nigeria. Itu sekitar 2013 lalu,” ujar Putra kepada Jawa Pos Radar Bali.
Di tahun pertama, pekerjaannya lancar. “Awalnya tidak punya apa-apa, pasport tak punya. Sekarang jadi punya,” kenangnya.
Di tahun pertama kerja jadi TKI, Sriani sempat kembali ke Bali. “Agen yang pertama ini berizin. Lalu berangkat lagi tahun 2014, tapi agen ini sudah ditutup pemerintah,” ujar Putra.
Sejak 2014 itulah, Sriani memilih bekerja lebih lama di Nigeria. “Rencana mau pulang sudah lama, tapi karena gaji dia di sana tersendat karena krisis, jadi menunggu gaji dulu,” ujar Putra yang seorang sopir hotel itu.
Dijelaskan Putra, gaji Sriani sempat tersendat lima bulan. “Maunya menunggu gaji, ternyata sudah begini (meninggal, red),” keluh Putra sambil terus menghisap dalam-dalam rokok kretek.
Yang mengagetkan, kabar meninggal istri ketiganya itu diketahui lewat Facebook salah satu temannya jika Sriani jatuh di kamar mandi pada Jumat lalu (1/9).
“Ini anak saya (dari istri pertama, red) yang kasih tahu. Lalu kami kontak di sana, katanya jatuh di kamar mandi,” ujarnya.
Selama dirawat di rumah sakit, Sriani dibantu oleh teman-teman sesama warga Indonesia di sana. Tak lama kemudian, Rabu lalu (6/9), nyawa Sriani tak bisa diselamatkan.
“Saat meninggal, kami tidak bisa bawa pulang jenazahnya,” ujar Putra. Itu karena dia tidak punya biaya memulangkan jenazah istrinya.
Saat istrinya meninggal, Putra diberikan tiga opsi mengenai nasib jenazah. Pertama dia diminta uang Rp 120 juta. Uang itu untuk memulangkan jenazah berisi peti.
Dana itu termasuk ongkos dua orang kurir pembawa jenazah. “Itu terlalu mahal, kami tidak mampu,” ujar Putra.
Kemudian opsi kedua, diminta biaya USD 3000 atau setara sekitar Rp 33 juta. “Itu untuk biaya kremasi di sana. Kami juga tidak mampu,” ujarnya.
Opsi terakhir, jasad Sriani bisa dikubur oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Pretoria di Afrika Selatan.
“Tapi untuk penguburan kami belum dalam info lanjutan. Karena penguburannya itu di wilayah Afrika Selatan, jalan darat butuh delapan jam,” ungkapnya.
Opsi ketiga inilah yang terpaksa diikuti oleh pihak keluarganya. “Kami pilih dikubur saja di sana. Tidak ada jalan lain, kami tidak bisa apa-apa. Kami seperti dipersulit,” terangnya.
Selanjutnya, pihak keluarganya pun memohon petunjuk ke gria. “Kami akan gelar upacara Ngeplugin hari Jumat (15/9). Kami perempatan agung menjemput (roh Sriani, red) lalu bawa ke balai dangin,” terangnya.
Selanjutnya memberikan banten Darpana. “Langsung mepegat (upaara memutus hubungan dengan roh, red),” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Gianyar, Anak Agung Dalem Jagaditha, mengaku masih menunggu kabar terbaru nasib jenazah Sriani.
“Nanti KBRI masih berkabar, akan disampaikan ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, red),” ujarnya.
Mengenai pemulangan jenazah, Pemkab Gianyar tidak bisa berbuat banyak. Itu karena Sriani berangkat sendiri tanpa jalur BNP2PTKI. “Makanya kami tidak bisa,” tukasnya.