33.4 C
Jakarta
20 November 2024, 14:47 PM WIB

Jasmine Okubo, Otokritik Posisi Lemah Kaum Hawa

RadarBali.com – Semua sepakat sosok pencuri perhatian di malam puncak Denpasar Film Festival (DFF) 2017, Minggu (10/9) lalu adalah Mireki Jasmine Okubo.

Runner up Penari Indonesia 2006 yang memutuskan berhenti kuliah di semester VI Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dengan alasan kuliah yang terkesan “itu-itu” saja, tampil memukau.

Terinspirasi dari cili, sarana pemujaan ke Dewi Padi sebagai simbol kehidupan manusia dan kesuburan manusia dalam ritual Hindu, perempuan kelahiran Turki ini menghadirkan sosok perempuan yang kuat dalam tariannya.

“Perempuan memiliki sisi lembut, terkesan lemah. Tapi, di balik itu punya kekuatan terpendam,” ujar Jasmine usai tampil di atas pentas.

Menariknya, perempuan 27 tahun ini hanya berlatih dua hari sebelum tampil di malam puncak DDF 2017.

Lewat tari yang diberi nama Cili Warrior, Jasmine menyuguhkan kekuatan sosok kaum hawa bersama dua orang penari latar, Jenny dan Arik.

Properti yang menyiratkan wujud feminis itu adalah bambu. “Ya, mereka mengerjakan pekerjaan perempuan, tapi kelihatan warrior,” tandasnya.

Lewat Cili Warrior, dia ingin menampilkan perjalanan suci seorang perempuan. Citraan itu dalam prolog pentas kala dirinya menarik sehelai kain putih panjang yang didesain mirip busana pengantin.

“Itu simbol perjalanan suci seorang perempuan lewat ekspresi kain. Di sisi lain juga untuk menguatkan artistik,” tandasnya.

Terkait tema yang diusung DDF, yakni air, perempuan, dan anak, Jasmine berujar tanpa air siapa pun tak bisa hidup.

Di sisi lain, perempuan adalah simbol kesuburan; yang menurunkan keturunanan. Sedangkan keceriaan seorang anak adalah berkah kehidupan.

Lalu bagaimana pandangannya terkait sistem patrilineal yang sangat kental di Bali? “Saya seringkali ikut bersedih, apakah saya ini sudah layak menjadi perempuan yang ditempatkan di tempat seperti ini. Mungkin sebenarnya bisa lebih. Sama seperti di sini, di Jepang pun masih kuat tradisi yang memposisikan laki-laki lebih di atas, serba lebih dulu. Di mana pun ada tradisi seperti itu,” ungkapnya.

 Meski demikian, kata dia, adat yang diwariskan leluhur kita juga memuja perempuan dalam posisi paling lemah sekalipun. 

RadarBali.com – Semua sepakat sosok pencuri perhatian di malam puncak Denpasar Film Festival (DFF) 2017, Minggu (10/9) lalu adalah Mireki Jasmine Okubo.

Runner up Penari Indonesia 2006 yang memutuskan berhenti kuliah di semester VI Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dengan alasan kuliah yang terkesan “itu-itu” saja, tampil memukau.

Terinspirasi dari cili, sarana pemujaan ke Dewi Padi sebagai simbol kehidupan manusia dan kesuburan manusia dalam ritual Hindu, perempuan kelahiran Turki ini menghadirkan sosok perempuan yang kuat dalam tariannya.

“Perempuan memiliki sisi lembut, terkesan lemah. Tapi, di balik itu punya kekuatan terpendam,” ujar Jasmine usai tampil di atas pentas.

Menariknya, perempuan 27 tahun ini hanya berlatih dua hari sebelum tampil di malam puncak DDF 2017.

Lewat tari yang diberi nama Cili Warrior, Jasmine menyuguhkan kekuatan sosok kaum hawa bersama dua orang penari latar, Jenny dan Arik.

Properti yang menyiratkan wujud feminis itu adalah bambu. “Ya, mereka mengerjakan pekerjaan perempuan, tapi kelihatan warrior,” tandasnya.

Lewat Cili Warrior, dia ingin menampilkan perjalanan suci seorang perempuan. Citraan itu dalam prolog pentas kala dirinya menarik sehelai kain putih panjang yang didesain mirip busana pengantin.

“Itu simbol perjalanan suci seorang perempuan lewat ekspresi kain. Di sisi lain juga untuk menguatkan artistik,” tandasnya.

Terkait tema yang diusung DDF, yakni air, perempuan, dan anak, Jasmine berujar tanpa air siapa pun tak bisa hidup.

Di sisi lain, perempuan adalah simbol kesuburan; yang menurunkan keturunanan. Sedangkan keceriaan seorang anak adalah berkah kehidupan.

Lalu bagaimana pandangannya terkait sistem patrilineal yang sangat kental di Bali? “Saya seringkali ikut bersedih, apakah saya ini sudah layak menjadi perempuan yang ditempatkan di tempat seperti ini. Mungkin sebenarnya bisa lebih. Sama seperti di sini, di Jepang pun masih kuat tradisi yang memposisikan laki-laki lebih di atas, serba lebih dulu. Di mana pun ada tradisi seperti itu,” ungkapnya.

 Meski demikian, kata dia, adat yang diwariskan leluhur kita juga memuja perempuan dalam posisi paling lemah sekalipun. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/