25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:03 AM WIB

EVM via Novelis

Adakah pemilih yang merasa salah coblos di TPS? Lalu minta kartu suara yang baru? Saya belum pernah menemukan yang seperti itu. Pun kalau kelak tidak pakai kartu selebar koran lagi. Diganti dengan kartu elektronik. Yang mesin coblosnya tidak mengenal pilihan ‘cancel’ di layarnya. Begitulah yang dipakai di India. Di Pemilu sekarang ini. Sampai pemilih yang merasa salah pencet pun memotong ujung jarinya. Yang ada tintanya (DI’s Way: Tinta di Jari). India sendiri tidak ujug-ujug begitu saja pakai coblosan elektronik. Ujicobanya sudah panjang. Sejak lebih 30 tahun lalu. Secara bertahap. Berjenjang pula. Mula-mula hanya untuk pilkada. Itu pun hanya di beberapa kota kecil. Isu paling utama tentu kepercayaan. Apakah mesin elektronik itu bisa dipercaya. Maka untuk memperoleh kepercayaan itu di satu pilkada dilakukan paralel: pakai mesin dan pakai kertas. Yang diakui secara hukum adalah yang kertas. Dari situ lantas dilihat: apakah hasilnya berbeda. Ternyata tidak. Hasilnya benar-benar sama. Orang mulai agak percaya pada mesin itu.  Isu krusial berikutnya adalah: apakah tidak ada kecurangan. Misalnya: penyelenggara pemilunya memihak incumbent. Bagaimana kalau itu terjadi?  Perancang mesinnya sebenarnya sudah menjamin. Data yang masuk ke mesin itu tidak bisa diubah oleh siapa pun. Pun oleh pembuat mesinnya. Jangankan data yang masuk. Programnya pun dibuat permanen. Begitu program itu diinstall langsung tergores di silicon. Tidak ada yang bisa menghapus atau mengubah. Program itu tergores permanen di saat mesin itu di produksi. Tapi, siapa percaya? Kan manusia penuh curiga? Bukankah ayat khusnudzon tidak berlaku di setiap pemilu? Tidak masalah. Akan dijawab dengan bukti.  Maka uji coba yang lain pun dilakukan. Di beberapa distrik. Saat pilkada. Carannya: mesin itu dilengkapi printer. Untuk mencetak semacam ‘kwitansi’. Setiap pemilih diharuskan mencetak pilihannya. Print-out itu dilihat oleh si pemilih. Cocok atau tidak. Dengan tombol yang dipencetnya tadi. Berulang kali ujicoba jenis ini dilakukan. Hasilnya memuaskan. Setiap pemilu selalu dilakukan ujicoba. Untuk menjawab seluruh keraguan para politisi. Enaknya ujicoba itu bisa dilakukan sering kali. Di banyak daerah. Di India begitu banyak pemilu. Atau pileg. Ada pileg lima tahunan. Ada pileg sela. Kalau ada anggota DPR atau DPRD yang mati harus ada pileg di distriknya. Untuk menggantikannya.  Uji coba itu dilakukan lebih dari 100 kali. Di begitu banyak daerah. Hasilnya selalu memuaskan. Mengapa? Karena: justru programnya simpel. Hanya untuk pemilu. Tidak bisa digunakan lainnya. Tidak seperti komputer pada umumnya. Yang bisa diapakan saja.  Setelah dipercaya, diproseslah legalitasnya. Lewat  pengadilan tinggi. Di setiap negara bagian. Ada yang cepat menyetujuinya. Ada yang bertahun-tahun. Penggunaan Electronic Voting Machine (EVM) ini akhirnya meluas. Semua pengadilan tinggi akhirnya menyetujuinya. Barulah Mahkamah Agung membuat putusan: boleh dilakukan secara nasional. Di Pemilu tahun 2019 ini. Yang waktu pencoblosannya 36 hari. Mulai 28 April lalu. Baru akan berakhir 19 Mei yang akan datang.  Perancang EVM ini seorang insinyur mesin. Namanya: MB Haneefa. Sudah lama sekali. Tahun 1980 lalu.  Mula-mula diproduksi oleh Barat Electronic Limited. Di BUMN India ini pernah bekerja seorang insinyur yang juga seniman terkemuka: Sujatha Rangarajan. Ia menulis lebih 100 novel. Sutradara film. Menerbitkan buku puisinya. Tapi juga menulis lebih 10 buku teknologi. Sujatha inilah yang mensupervisi temuan MB Haneefa tadi. Dan akhirnya merekomendasikannya. Publik sangat percaya pada sosok seniman Tamil ini. Tapi ia sendiri sudah meninggal 10  tahun lalu. Di usia 72 tahun. Untunglah sempat menyaksikan banyak ujicobanya. Meski ketika diterapkan secara nasional ia sudah tiada.  Kini Electronics Corporation of India Limited juga memproduksinya. Beberapa negara Afrika pun sudah menggunakannya. Bahkan Namibia-lah yang pertama yang memakai EVM. Ketika di India sendiri masih baru beberapa negara bagian yang mempercayainya.  Kini sudah banyak negara Afrika yang membeli. Sudah terjamin keamanan, kehandalan dan kepercayaannya. Unit EVM prinsipnya ada dua: keyboard untuk memilih dan prosesor. Dua unit ini dipisahkan dengan kabel sepanjang lima meter. Ada baterai untuk penggunaan di daerah yang tidak ada listrik. Atau listriknya byar-pet. Pertanyaan terbanyak dari luar negeri adalah: berapa harganya.  Jangan kaget: satu unit mesin ini hanya sekitar Rp 2 juta. Tepatnya USD 170. Harga di India. Di India EVM ini bisa menghemat 10.000 ton kertas. Setiap pemilu. Belum lagi ongkos distribusinya. Masih tidak percaya pakai mesin? Masih percaya kertas? Masih lebih percaya pakai kartu selebar koran itu? Yang kini formulir C1-nya pun menjadi seperti harta karun? Yang harus diselamatkan, dijaga, dikawal, dan dirumat itu? Formulir C1 sekarang ini sudah seperti berhala. Yang akan jadi penentu siapa yang sebenarnya menang di Pilpres Indonesia 2019 ini.  Mesin yang akan menghabisinya C1 itu nantinya. Mesin -bukan undang-undang dan kitab suci- yang akan membuat manusia terpaksa bisa jujur, ketika manusia sudah sulit diajak jujur.(Dahlan Iskan) 

Adakah pemilih yang merasa salah coblos di TPS? Lalu minta kartu suara yang baru? Saya belum pernah menemukan yang seperti itu. Pun kalau kelak tidak pakai kartu selebar koran lagi. Diganti dengan kartu elektronik. Yang mesin coblosnya tidak mengenal pilihan ‘cancel’ di layarnya. Begitulah yang dipakai di India. Di Pemilu sekarang ini. Sampai pemilih yang merasa salah pencet pun memotong ujung jarinya. Yang ada tintanya (DI’s Way: Tinta di Jari). India sendiri tidak ujug-ujug begitu saja pakai coblosan elektronik. Ujicobanya sudah panjang. Sejak lebih 30 tahun lalu. Secara bertahap. Berjenjang pula. Mula-mula hanya untuk pilkada. Itu pun hanya di beberapa kota kecil. Isu paling utama tentu kepercayaan. Apakah mesin elektronik itu bisa dipercaya. Maka untuk memperoleh kepercayaan itu di satu pilkada dilakukan paralel: pakai mesin dan pakai kertas. Yang diakui secara hukum adalah yang kertas. Dari situ lantas dilihat: apakah hasilnya berbeda. Ternyata tidak. Hasilnya benar-benar sama. Orang mulai agak percaya pada mesin itu.  Isu krusial berikutnya adalah: apakah tidak ada kecurangan. Misalnya: penyelenggara pemilunya memihak incumbent. Bagaimana kalau itu terjadi?  Perancang mesinnya sebenarnya sudah menjamin. Data yang masuk ke mesin itu tidak bisa diubah oleh siapa pun. Pun oleh pembuat mesinnya. Jangankan data yang masuk. Programnya pun dibuat permanen. Begitu program itu diinstall langsung tergores di silicon. Tidak ada yang bisa menghapus atau mengubah. Program itu tergores permanen di saat mesin itu di produksi. Tapi, siapa percaya? Kan manusia penuh curiga? Bukankah ayat khusnudzon tidak berlaku di setiap pemilu? Tidak masalah. Akan dijawab dengan bukti.  Maka uji coba yang lain pun dilakukan. Di beberapa distrik. Saat pilkada. Carannya: mesin itu dilengkapi printer. Untuk mencetak semacam ‘kwitansi’. Setiap pemilih diharuskan mencetak pilihannya. Print-out itu dilihat oleh si pemilih. Cocok atau tidak. Dengan tombol yang dipencetnya tadi. Berulang kali ujicoba jenis ini dilakukan. Hasilnya memuaskan. Setiap pemilu selalu dilakukan ujicoba. Untuk menjawab seluruh keraguan para politisi. Enaknya ujicoba itu bisa dilakukan sering kali. Di banyak daerah. Di India begitu banyak pemilu. Atau pileg. Ada pileg lima tahunan. Ada pileg sela. Kalau ada anggota DPR atau DPRD yang mati harus ada pileg di distriknya. Untuk menggantikannya.  Uji coba itu dilakukan lebih dari 100 kali. Di begitu banyak daerah. Hasilnya selalu memuaskan. Mengapa? Karena: justru programnya simpel. Hanya untuk pemilu. Tidak bisa digunakan lainnya. Tidak seperti komputer pada umumnya. Yang bisa diapakan saja.  Setelah dipercaya, diproseslah legalitasnya. Lewat  pengadilan tinggi. Di setiap negara bagian. Ada yang cepat menyetujuinya. Ada yang bertahun-tahun. Penggunaan Electronic Voting Machine (EVM) ini akhirnya meluas. Semua pengadilan tinggi akhirnya menyetujuinya. Barulah Mahkamah Agung membuat putusan: boleh dilakukan secara nasional. Di Pemilu tahun 2019 ini. Yang waktu pencoblosannya 36 hari. Mulai 28 April lalu. Baru akan berakhir 19 Mei yang akan datang.  Perancang EVM ini seorang insinyur mesin. Namanya: MB Haneefa. Sudah lama sekali. Tahun 1980 lalu.  Mula-mula diproduksi oleh Barat Electronic Limited. Di BUMN India ini pernah bekerja seorang insinyur yang juga seniman terkemuka: Sujatha Rangarajan. Ia menulis lebih 100 novel. Sutradara film. Menerbitkan buku puisinya. Tapi juga menulis lebih 10 buku teknologi. Sujatha inilah yang mensupervisi temuan MB Haneefa tadi. Dan akhirnya merekomendasikannya. Publik sangat percaya pada sosok seniman Tamil ini. Tapi ia sendiri sudah meninggal 10  tahun lalu. Di usia 72 tahun. Untunglah sempat menyaksikan banyak ujicobanya. Meski ketika diterapkan secara nasional ia sudah tiada.  Kini Electronics Corporation of India Limited juga memproduksinya. Beberapa negara Afrika pun sudah menggunakannya. Bahkan Namibia-lah yang pertama yang memakai EVM. Ketika di India sendiri masih baru beberapa negara bagian yang mempercayainya.  Kini sudah banyak negara Afrika yang membeli. Sudah terjamin keamanan, kehandalan dan kepercayaannya. Unit EVM prinsipnya ada dua: keyboard untuk memilih dan prosesor. Dua unit ini dipisahkan dengan kabel sepanjang lima meter. Ada baterai untuk penggunaan di daerah yang tidak ada listrik. Atau listriknya byar-pet. Pertanyaan terbanyak dari luar negeri adalah: berapa harganya.  Jangan kaget: satu unit mesin ini hanya sekitar Rp 2 juta. Tepatnya USD 170. Harga di India. Di India EVM ini bisa menghemat 10.000 ton kertas. Setiap pemilu. Belum lagi ongkos distribusinya. Masih tidak percaya pakai mesin? Masih percaya kertas? Masih lebih percaya pakai kartu selebar koran itu? Yang kini formulir C1-nya pun menjadi seperti harta karun? Yang harus diselamatkan, dijaga, dikawal, dan dirumat itu? Formulir C1 sekarang ini sudah seperti berhala. Yang akan jadi penentu siapa yang sebenarnya menang di Pilpres Indonesia 2019 ini.  Mesin yang akan menghabisinya C1 itu nantinya. Mesin -bukan undang-undang dan kitab suci- yang akan membuat manusia terpaksa bisa jujur, ketika manusia sudah sulit diajak jujur.(Dahlan Iskan) 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/