Penggunaan kain songket memang sering kita lihat di acara-acara tradisi di masyarakat. Di Bali, beragam jenis songket pun memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Semakin tua coraknya, semakin mahal harganya.
I WAYAN WIDYANTARA, Singaraja
TUK..tuk..tuk.. terdengar suara pentungan yang dipukul pada sebuah bambu. Suara tersebut berasal dari sebuah rumah di Dusun Gambang, Desa Jinengdaelm, Buleleng.
Jawa Pos Radar Bali pun permisi untuk masuk ke rumah tersebut. Saat memasuki rumah tersebut, terlihat seorang perempuan berbaju hijau duduk di depan alat tenun tua.
Perempuan tersebut bernama Komang Suarmini, 40. Nampak tangannya begitu lihai mengatur benang sutra warna warni. Kami pun kemudian saling sapa dan mengenalkan diri.
Senyum ramah pun mengantar perkenalan kami. Rupanya, ini bukan pertama kalinya Suarmini menerima kunjungan.
Ia bertutur, para wisatawan baik asing maupun domestik pun kerap berkunjung ke rumahnya untuk melihat proses pembuatan kain songket.
Suarmini adalah salah satu perempuan di Desa Jinengdalem yang bekerja sebagai penenun. Bahkan, pekerjaan warisan dari buyutnya tersebut sudah dijalaninya dari waktu duduk di Sekolah Dasar (SD).
“Waduh, saya sudah dari kecil menenun. Udah puluhan tahun menekuni bidang ini,” ungkapnya kepada Jawa Pos Radar Bali.
Bahkan, alat tenun yang dibuat dari kayu tersebut merupakan warisan dari leluhurnya. Ia pun tak bisa meraba-raba umur alat yang berada di depannya tersebut.
Meskipun ada beberapa alat yang sudah ada yang diganti yang baru karena termakan usia. Suarmini terlihat menikmati pekerjaannya sebagai penenun songket.
Meski Jawa Pos Radar Bali kerap mengajak berbincang, matanya terlihat tetap fokus pada warna benang untuk membuat corak songket yang merupakan ciri khas dari Desa Jinengdalem tersebut.
Di Desa Jinengdalem memang terkenal sebagai salah satu penghasil songket tersohor di Bali. Para penenun di desa ini masih mempertahankan motif tua warisan para pendahulunya dan fleksibel untuk acara apapun.
Antara lain, semanggi gunung, bunga sungenge, cakra ayam, patra punggel, pot-potan dan lainnya. Hal tersebutlah yang membuat Songket Jinengdalem tepat eksis.
Di akui oleh Suarmini, dalam pembuatannya untuk satu kain songket tersebut tak memakan waktu bertahun-tahun.
Baginya, untuk motif songket yang mudah bisa dikerjakannya dalam waktu 20 hari saja. Sedangkan, untuk motif yang sulit, dapat dikerjakan selama dua bulan.
Kecepatan Suarmini dalam membuat songket tentu berasal dari pengalamannya yang kurang lebih sudah di jalaninya selama 30 tahun.
Selain itu, tentu karena keuletannya dalam bekerja. “Kalau udah kondisi badan bagus, cepat saya selesaikan,” ujarnya.
Biasanya, Suarmini mulai duduk di depan alat tenun tua tersebut dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 11.00. Merasa sudah lelah, Suarmini kemudian makan dan kemudian lanjutnya istirahat.
Tetapi pukul 14.00, Suarmini kembali menyelesaikan pekerjaannya hingga pukul 18.00. “Malamnya saya nonton sinetron. Tapi, sambil gulung benang,” ujarnya lantas tertawa.
Meski hari-harinya Suarmini berurusan dengan benang, ternyata penghasilannya juga cukup berimbang.
Biasanya, dalam satu bulan, Ia mampu menjual satu kain songket baik kepada pengepul ataupun tamu yang datang ke rumahnya.
Harganya bergantung pada motif yang dibeli oleh para pembeli. Kata Suarmini, untuk motif yang tidak begitu sulit, dia mampu menjual dengan harga Rp 2 juta.
Sedangkan untuk motif yang sulit dia jual dengan harga sekitar Rp 6 juta rupiah. Tentu, cukup mahalnya harga tersebut, berbanding dengan kualitas yang dihasilkan oleh penenun di Desa Jinengdalem.
Hasil penjualan tersebut pun mampu untuk menghidupi keluarganya di rumahnya tersebut. Namun ketika ditanya mengenai generasi penerus, wajah sedih terpancar dari raut wajahnya.
“Penerusnya sih sekarang belum ada. Anak-anak disini banyak yang bekerja ke luar,” ujarnya. Kalau dulu, kata Suarmini, pulang dari sekolah biasanya langsung menenun.
Namun, cerita tersebut hanya kenangan Suarmini. Sekarang sudah jarang sekali yang mau menenun songket di Desa Jinengdalem.
“Dulu laki-laki dan perempuan sama-sama menenun. Saya sih berharap ada generasi penerusnya,” harapnya sambil memukul bambu, tuk…tuk… tuk… setiap selesai mengatur benang songket.