25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:22 AM WIB

Menang Nirkuasa

Dua hari lalu KPU akhirnya mengumumkan hasil pemilu. Hasilnya: partai penguasa kalah. Hanya mendapat 115 kursi. Itu pun dicurigai sudah lewat penggelembungan suara. Hitungan pihak oposisi partai itu hanya mendapat 97 kursi.Tapi partai penguasa itu tampaknya akan tetap berkuasa: Partai Palang Pracharat. Partai ini memang berada di belakang militer. Yang melakukan kudeta lima tahun lalu.

Yang dikudeta adalah perdana menteri wanita: Yingluck Shinawatra. Adik kandung Thaksin Shinawatra, perdana menteri sebelumnya.

Partai yang didukung keluarga Shinawatra inilah yang menang: dapat 136 kursi. Yakni Partai Pheu Thai. Yang menurut hitungan internal mendapat 137 kursi.

Pemenang ketiga ternyata juga partai oposisi: Partai Future Forward. Di bawah pimpinan idola anak muda: konglomerat muda, Thanathorn Juangroongruangkit. Mendapat 80 kursi.

Masih ada empat partai kecil lagi yang akan bergabung ke oposisi. Menurut hitungan internal mereka oposisi akan bisa menguasai 255 kursi. Dari 500 kursi DPR. Berarti cukup untuk menjadi mayoritas. Dan bisa membentuk pemerintahan baru.

Bersejarah, kata mereka. 

Tumbanglah junta militer, pikir mereka. 

Hiduplah demokrasi, teriak mereka. 

Ternyata tidak. 

Hitungan mereka tidak sama dengan hitungan KPU. 

Di Thailand cara menghitung hasil pemilu juga sangat ruwet. Yakni sejak rezim militer mengubah sistem perolehan kursi. Memang, di bawah kekuasaan militer itu, UU Pemilu diperbaharui. Di tahun 2016 lalu.

Kini partai yang gagal di semua dapil pun bisa dapat kursi. Asal suara kecil-kecil di semua dapil itu dikumpulkan di tingkat nasional. Begitu suara itu mencapai 30.000 partai tersebut bisa dapat 1 kursi.

‘Harga’ satu kursi pun juga diturunkan. Dari 71.000 suara menjadi hanya 30.000 suara.

Dengan cara itu kini ada 26 partai kecil yang bisa mendapat kursi di DPR.

Pihak oposisi sejak awal sudah curiga. Cara baru ini dinilai sengaja diciptakan untuk menghadang partai besar. Tujuannya: mempertahankan kekuasaan junta militer. Lewat pemilu yang seolah demokratis.

Dan jangan lupa. 

Kalau pun gabungan oposisi bisa mendapat 255 kursi, masih belum tentu juga bisa berkuasa.

Mengapa? Bukankah 255 kursi sudah melebihi separo kursi di DPR?

Bukan. 

Sekarang, pemilihan perdana menteri tidak hanya berlangsung di DPR. Harus juga dapat mengesahan DPD (senat). Yang anggotanya 250 kursi.

Padahal yang mengusulkan calon anggota senat itu pemerintah. Untuk dimintakan persetujuan raja.

Usulan pemerintah itu sudah diajukan sebelum penobatan raja minggu lalu. Daftarnya sudah di tangan raja. Mereka adalah utusan daerah, utusan suku dan utusan golongan. Yang dianggap aspirasi mereka  tidak terwakili dalam partai-partai.

Di zaman Orde Baru saya pernah diangkat jadi anggota MPR utusan golongan seperti itu. Saya tidak begitu tahu prosesnya. Syaratnya banyak. Salah satunya harus terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Nama saya harus ada dalam DPT. 

Saya mengakui terus terang: saya tidak terdaftar. Tidak pernah mendaftar. Tidak pernah ikut Pemilu.

Saya selalu ikut gerakan golputnya mahasiswa waktu itu.

Sudah telat. Waktu pendaftaran pemilih sudah lama ditutup. 

Tapi tiba-tiba semua persyaratan saya terpenuhi. Entah siapa yang mengurus. Jadilah saya anggota MPR.

Satu-satunya yang tidak pakai jas. Saat mengikuti sidang umum MPR. 

Saya selalu memilih tempat duduk paling belakang. Saya sadar hari itu saya hanya akan jadi stempel demokrasi. Karena itu saya merasa tidak pantas ambil fasilitas mobil. Juga tidak ambil gaji. Tapi juga tidak berani interupsi. Saat secara aklamasi Pak Harto ditetapkan jadi presiden lagi.

Hanya saja di hari terakhir lima tahun kemudian seseorang datang ke kantor saya. Masih di Jalan Prapanca Jakarta. “Saya tahu Pak Dahlan tidak pernah ambil gaji. Ini gaji bapak selama lima tahun. Kalau tidak diambil hangus. Ambil saja. Sumbangkan ke pesantren atau masjid,” katanya.

Saya tahu maksud kedatangannya. Menyerahkan uang itu. Minta tanda tangan saya. Dan ia minta bagian. 

Bayangan saya semua utusan daerah, suku dan golongan di Thailand itu mirip dengan yang saya alami saat muda dulu. Mudah sekali. 

Penguasa militer Thailand hanya perlu 126 saja dari 250 yang diangkat itu.

Satu-dua hari ini raja sudah akan mengeluarkan persetujuan daftar anggota senat itu. Berarti perdana menteri Thailand yang sekarang terpilih lagi. Lalu bisa segera membentuk pemerintahan baru.

Sambil berusaha memadamkan gejolak oposisi. Yang merasa ‘menang pemilu tapi kalah di kuasa’. Yang bertekad mulai bergerak minggu depan.(Dahlan Iskan)

 

Dua hari lalu KPU akhirnya mengumumkan hasil pemilu. Hasilnya: partai penguasa kalah. Hanya mendapat 115 kursi. Itu pun dicurigai sudah lewat penggelembungan suara. Hitungan pihak oposisi partai itu hanya mendapat 97 kursi.Tapi partai penguasa itu tampaknya akan tetap berkuasa: Partai Palang Pracharat. Partai ini memang berada di belakang militer. Yang melakukan kudeta lima tahun lalu.

Yang dikudeta adalah perdana menteri wanita: Yingluck Shinawatra. Adik kandung Thaksin Shinawatra, perdana menteri sebelumnya.

Partai yang didukung keluarga Shinawatra inilah yang menang: dapat 136 kursi. Yakni Partai Pheu Thai. Yang menurut hitungan internal mendapat 137 kursi.

Pemenang ketiga ternyata juga partai oposisi: Partai Future Forward. Di bawah pimpinan idola anak muda: konglomerat muda, Thanathorn Juangroongruangkit. Mendapat 80 kursi.

Masih ada empat partai kecil lagi yang akan bergabung ke oposisi. Menurut hitungan internal mereka oposisi akan bisa menguasai 255 kursi. Dari 500 kursi DPR. Berarti cukup untuk menjadi mayoritas. Dan bisa membentuk pemerintahan baru.

Bersejarah, kata mereka. 

Tumbanglah junta militer, pikir mereka. 

Hiduplah demokrasi, teriak mereka. 

Ternyata tidak. 

Hitungan mereka tidak sama dengan hitungan KPU. 

Di Thailand cara menghitung hasil pemilu juga sangat ruwet. Yakni sejak rezim militer mengubah sistem perolehan kursi. Memang, di bawah kekuasaan militer itu, UU Pemilu diperbaharui. Di tahun 2016 lalu.

Kini partai yang gagal di semua dapil pun bisa dapat kursi. Asal suara kecil-kecil di semua dapil itu dikumpulkan di tingkat nasional. Begitu suara itu mencapai 30.000 partai tersebut bisa dapat 1 kursi.

‘Harga’ satu kursi pun juga diturunkan. Dari 71.000 suara menjadi hanya 30.000 suara.

Dengan cara itu kini ada 26 partai kecil yang bisa mendapat kursi di DPR.

Pihak oposisi sejak awal sudah curiga. Cara baru ini dinilai sengaja diciptakan untuk menghadang partai besar. Tujuannya: mempertahankan kekuasaan junta militer. Lewat pemilu yang seolah demokratis.

Dan jangan lupa. 

Kalau pun gabungan oposisi bisa mendapat 255 kursi, masih belum tentu juga bisa berkuasa.

Mengapa? Bukankah 255 kursi sudah melebihi separo kursi di DPR?

Bukan. 

Sekarang, pemilihan perdana menteri tidak hanya berlangsung di DPR. Harus juga dapat mengesahan DPD (senat). Yang anggotanya 250 kursi.

Padahal yang mengusulkan calon anggota senat itu pemerintah. Untuk dimintakan persetujuan raja.

Usulan pemerintah itu sudah diajukan sebelum penobatan raja minggu lalu. Daftarnya sudah di tangan raja. Mereka adalah utusan daerah, utusan suku dan utusan golongan. Yang dianggap aspirasi mereka  tidak terwakili dalam partai-partai.

Di zaman Orde Baru saya pernah diangkat jadi anggota MPR utusan golongan seperti itu. Saya tidak begitu tahu prosesnya. Syaratnya banyak. Salah satunya harus terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Nama saya harus ada dalam DPT. 

Saya mengakui terus terang: saya tidak terdaftar. Tidak pernah mendaftar. Tidak pernah ikut Pemilu.

Saya selalu ikut gerakan golputnya mahasiswa waktu itu.

Sudah telat. Waktu pendaftaran pemilih sudah lama ditutup. 

Tapi tiba-tiba semua persyaratan saya terpenuhi. Entah siapa yang mengurus. Jadilah saya anggota MPR.

Satu-satunya yang tidak pakai jas. Saat mengikuti sidang umum MPR. 

Saya selalu memilih tempat duduk paling belakang. Saya sadar hari itu saya hanya akan jadi stempel demokrasi. Karena itu saya merasa tidak pantas ambil fasilitas mobil. Juga tidak ambil gaji. Tapi juga tidak berani interupsi. Saat secara aklamasi Pak Harto ditetapkan jadi presiden lagi.

Hanya saja di hari terakhir lima tahun kemudian seseorang datang ke kantor saya. Masih di Jalan Prapanca Jakarta. “Saya tahu Pak Dahlan tidak pernah ambil gaji. Ini gaji bapak selama lima tahun. Kalau tidak diambil hangus. Ambil saja. Sumbangkan ke pesantren atau masjid,” katanya.

Saya tahu maksud kedatangannya. Menyerahkan uang itu. Minta tanda tangan saya. Dan ia minta bagian. 

Bayangan saya semua utusan daerah, suku dan golongan di Thailand itu mirip dengan yang saya alami saat muda dulu. Mudah sekali. 

Penguasa militer Thailand hanya perlu 126 saja dari 250 yang diangkat itu.

Satu-dua hari ini raja sudah akan mengeluarkan persetujuan daftar anggota senat itu. Berarti perdana menteri Thailand yang sekarang terpilih lagi. Lalu bisa segera membentuk pemerintahan baru.

Sambil berusaha memadamkan gejolak oposisi. Yang merasa ‘menang pemilu tapi kalah di kuasa’. Yang bertekad mulai bergerak minggu depan.(Dahlan Iskan)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/