Kondisi pasangan suami istri (pasutri) yang tinggal di Banjar Taman Sari, Desa Tinga-Tinga, Gerogak, Buleleng benar-benar memprihatinkan.
Di usianya yang sudah lanjut usia, pasutri ini harus bertahan hidup dan tinggal di gubuk reot. Seperi apa?
JULIADI, Buleleng
Miris, begitulah saat Jawa Pos Radar Bali bertandang ke rumah Gede Wendra, 75 dan Nyoman Witi, 70.
Gubuk reot yang terbuat dari bamboo yang sudah usang itu dijadikan Witi dan suaminya bertahan hidup.
Selain tak ada perabot berharga, kondisi gubuk yang mereka tempati juga nyaris roboh. Bagian tembok rumah mereka dengan menggunakan bedek bambu, lantai rumah terbuat dari tanah, atap genteng rusak hingga mereka harus pindah tidur di gubuk yang beratapkan alang-alang.
Witi dan Wendra takut tidur di rumahnya lantaran, kondisi rumah yang miring. Sewaktu-waktu akan mengalami roboh.
Selain rumah yang kondisi sudah jauh dari kata layak huni, juga kondisi suami dari Nyoman Witi yang mengalami stoke dam lumpuh sejak 6,5 tahun lalu.
Nyoman Witi yang dijumpai di rumahnya menuturkan hampir 40 tahun dirinya harus tinggal di sana.
Dulunya kondisi rumah diakui masih bisa dihuni. Namun sejak suami mengalami sakit hingga struk dan lumpuh, Witi mengaku tak punya biaya.
“Rumah tersebut tidak dapat saya perbaiki, belum lagi saya yang harus mencari nafkah sebagai kepala keluarga karena kondisi suami yang sakit,” aku Nyoman witi.
Nyoman Witi hidup mencari makan sebagai buruh tani.
Kalau sudah musim panen waktunya dirinya harus bekerja. Pekerjaan lainnya mereka juga sebagai peternak sapi dan babi.
Tetapi sapi dan babi bukan mereka yang memiliki. Hanya sebagai peternak saja. Selain itu sembari Nyoman Witi yang juga sebagai peternak sapi dan babi juga sebagai buruh tani penggarap sawah orang lain.
Meski kondisi suami sakit Nyoman Witi tak pernah menyerah dengan hidupnya. “Apapun yang terjadi saya selalu hadapi. Kalau untuk makan kadang kala anak atau tetangga yang memberikan beras atau makan sehari-hari,” tegasnya.
Menurut Witi meski hidup miskin bertahun-tahun, ia mengaku tak satupun bantuan yang mengalir kepada dirinya. “desa dan pemerintah daerah belum ada perhatian sama sekali.
Hanya beberapa kali ada bantuan dari yayasan berupa sembako,”imbuhnya
Meski tak mendapat bantuan, namun Witi tak pernah menyalahkan. “Mungkin rumah kami yang terlalu jauh dari kota sehingga pemerintah tidak mau turun untuk memberikan program bantuan bedah rumah. Ya lumayan jauh rumah kami dari perkampungan rumah penduduk di Banjar Taman Sari, Desa Tinga-Tinga,” ujarnya.
Lanjutnya, untuk air minum, aktivitas mencuci dan mandi sehari-hari Nyoman Witi harus menempuh jarak 100 meter untuk mengambil air dari Pansimas milik Desa Tinga-Tinga.
Sementara listrik harus nyantel pada rumah penduduk lainnya. Karena tak miliki kilometer listrik.
“Dengan kondisi rumahnya yang reot. Kami bangun balai bengong kecil hanya untuk tempat tidur beratap alang-alang.. Takut jika kami menempati gubuk reot tersebut akan ambruk sewaktu-waktu. Kami berharap bantauan dari pemerintah daerah untuk program bantuan bedah rumah,” pungkasnya.