Mereka yang kini tinggal di Banjar Tegal Bunder, Sumber Kelampok, Gerogak, Buleleng, itu masih belum jelas nasibnya. Meski menempati kawasan hutan produksi terbatas (HPT) di Desa Sumber, tetap saja, statusnya tak jelas.
JULIADI, Singaraja
TAK terasa, matahari sudah setengah perjalanan di ufuk barat. Udara terasa begitu panas, sementara obrolan koran ini dengan para eks provinsi ke-27 Indonesia itu terus berlanjut.
Beberapa dari mereka seusai bertani mulai berdatangan menuju balai bengong milik Nengah Kisid.
“Kalau sudah siang waktunya istirahat dari bertani. Mereka menanam cabai, jagung, jeruk dan lainnya,” ucap Nengah Kisid, seraya meminta untuk dibuatkan kopi kepada istrinya.
Lanjutnya, warga eks transmigrasi Timor-Timur ini masih dihantui perasaan waswas. Karena hingga kini status tanah pekarangan rumah dan lahan pertanian yang digarap puluhan tahun lebih belum ada kejelasan statusnya.
“Sebelum ada kejelasan terkait tanah yang kami tempati di Sumber Kelompok, kami akan tetap berjuang menuntut hak kami dan tanggung jawab pemerintah,” tegas Kisid.
Dituturkan Kisid, beberapa mengajukan audiensi kepada pemerintah daerah untuk mencari solusi terkait lahan pengganti yang ditempati oleh eks Timor-Timur.
Namun, kenyataannya pemerintah selalu saling lempar. Bak main pingpong saja, layaknya. Dulu, saat masih era Gubernur Made Mangku Pastika mereka sempat demo ke kantor DPRD Bali. Tapi, tetap saja tidak ada penyelesaian.
Tetap saja dipingpong oleh Pemkab Buleleng. Kini, tak jauh berbeda nasib mereka dipingpong kembali kepada pemerintah provinsi.
“Kami sudah melayangkan surat ke bupati Buleleng, tetapi diterima Asisten I. Kami disarankan agar penyelesaiannya ke pemerintah provinsi.
Giliran mengirim surat audiensi ke gubernur terpilih Wayan Koster, tertanggal surat 7 Mei 2019. Tapi, sampai sekarang belum ditanggapi sama sekali. Padahal dalam surat tersebut audiensi pada 15 Mei 2019,” terangnya.
Untuk lahan yang digarap dikatakan Kisid sekarang hanya diberikan untuk mengolah, namun tidak menguasai.
“Itu yang kami tanyakan status dan kelanjutan. Kami ingin adanya kepastian hukum. Kami ini ibarat nyantol di lahan tersebut. Karena hingga saat ini ganti rugi lahan transmigrasi di Timor-Timur belum diberikan ganti,” imbuhnya.
Sementara itu, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Bali selaku pendamping pengungsi eks Timor-Timur Ni Made Indrawati menjelaskan
perkara pengungsi eks Timor-Timur menuntut agar lahan mereka diganti oleh pemerintah ketika ditinggalkan, karena Timor-Timur keluar dari NKRI kelanjutan belum nyata saat ini.
Diakui Indrawati memang sempat difasilitasi pihak Balai Perhutanan Sosial dan Lingkungan Hidup (BPSLH) sejak tahun 2018 lalu, terkait masalah lahan tersebut.
“Sejatinya yang diinginkan pengungsi eks hak ganti rugi kepemilikan atas lahan transmigrasi di Timor Leste. Mereka meminta tanah seluas 72,02 hektare dari 107 kepala keluarga yang menempati daerah tersebut,” bebernya.
Tetapi kawasan lahan pertanian yang dikelola merupakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang dikelola oleh UPTD KPH di bawah Pemprov Bali.
“Karena kebetulan saya yang mendampingi Nengah Kisid sebagai tim kerja pengungsi eks Timtim asal Bali,” ujar Indrawati.
Dari hasil audiensi dengan Dinas Kehutanan dikatakan bahwa Dinas Kehutanan tidak berani memberikan lahan tersebut.
Dengan alasan hutan di Bali sekarang sudah kurang dari 30 persen dari luas daratan. Dan, saat ini yang masih tersisa hanya 23,5 persen saja. Rumit, memang.
“Alasan lain juga pihak Dinas Kehutanan meminta lahan pengganti, bahwa lahan seluas 72,02 hektare diberikan kepada pengungsi eks Timtim. Mereka minta tukar guling,” ucapnya.
Dituturkan Indrawati, jika di kilas balik sejatinya dulu tahun 2000 pemerintah provinsi dan kabupaten yang memberi rekomendasi untuk menempati lahan tersebut.
Namun, sekarang mereka seperti lepas tangan ketika eks Timtim mengajukan permohonan atas tanah tersebut untuk mengganti lahan transmigrasi yang ditinggalkan.
“Harapan kami supaya pemerintah memberikan legalitas atas tanah yang digarap eks Timtim agar menjadi hak milik,” pungkasnya. (*)