Masih tersisa satu diantara warga Celukan Bawang yang tetap bertahan di dekat areal pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Ibu Sulayah dengan suaminya Usman. Mereka yang dulunya bermata pencarian berkebun. Kini hanya mengandalkan sebagai seorang peternak sapi.
JULIADI, Singaraja
NASI sudah menjadi bubur itulah peribahasa yang patut diberikan kepada ibu Sulayah korban dari dampak PLTU yang beroperasi sejak tahun 2015 lalu.
Mereka tak mampu berbuat apa, hanya tetap bertahan di tengah gempuran perluasan pembangkit listrik bertenaga 425 mega watt (MW).
Ketika Jawa Pos Radar Bali bertandang di kediamannya perempuan berusia 65 tahun ini tampak duduk termenung di bawah pohon nangka mengenakan baju Muslim lengkap dengan kerudung berwarna orange.
Perempuan dengan perawakan kurus ini menjadi sorotan film dokumenter Sexy Killer yang diputar saat masa tenang pemilu serentak beberapa waktu lalu.
Ibu Sulayah divonis mengidap penyakit radang-radang paru-paru (bronkitis) karena dampak dari PLTU yang beroperasi.
Tak banyak yang tahu kehidupan ibu Sulanyah di areal PLTU, yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter lebih dari pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan dasar batubara.
Ditemui beberapa waktu lalu di rumahnya, Sulayah bercerita sejak awal adanya pembangunan PLTU Celukan Bawang.
Dulunya, kata dia, korban dampak PLTU diberikan santunan oleh PLTU, tapi sekarang tidak lagi, putus begitu saja.
“Santunan hanya bertahan satu tahun saja setiap kepala keluarga (KK) diberikan sebesar Rp 2 juta sebagai pengganti atau kompensasi bagi warga yang terdampak,” kata Sulayah.
Dituturkan Ibu Sulayah, banyak dampak yang ditimbulkan oleh PLTU. Mulai kondisi udara yang panas dan kotor di Celukan Bawang. Itu pun membawa penyakit.
Selain itu dampak lainnya dari PLTU bising karena suara operasi mesin PLTU setiap hari beroperasi siang dan malam.
“Saya hari ini sudah mengidap penyakit radang paru-paru (bronkitis). Sehingga harus kontrol dan periksa ke dokter selama 4 kali dalam sebulan,” ucapnya.
Dituturkan Sulayah, dirinya memiliki tanah seluas 27 are. Dia mengakui jika sempat ada negosiasi dengan pihak PLTU terkait tanah miliknya.
Waktu itu tahun 2014 sampai 2015, per are tanahnya ditawar Rp 65 juta. Tawaran itu tak dia terima. Karena terlalu kecil untuk ganti rugi. Dia memilih untuk bertahan.
“Saya tetap bertahan bersama suami dan anak disini. Bahkan tidak ada rencana lagi untuk menjual tanah kebun ini meski terkena yang terdampak PLTU,” ucap Sulayah.
Menariknya, sejak PLTU yang beroperasi selama 4 tahun ini ternyata juga berdampak pada aktivitas mata pencarian ibu Sulayah yang bercocok tanam di kebun.
Di lahan kebun miliknya sekarang sudah tidak produktif lagi. Tanaman kelapa, pisang, jagung, cabe dan tanaman lainnya tak mampu bertahan lama, mati apabila di tanam.
Dauh kelapa dibuat kering, pisang mati, cabe di taman tak mampu tumbuh. Penyebab adalah getaran dari beroperasinya PLTU.
“Kalau dulu saya dari hasil kebun saya bisa makan. Tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya. Lantaran tak dapat bercocok tanaman dia pun memilih untuk menggembala sapi.
Sapi ini milik orang ada juga milik ibu Sulayah, namun hasil baru didapat sekali setahun. “Di hati kecil saya ingin tidak ada lagi perluasan PLTU, jujur sangat mengganggu kehidupan masyarakat Celukan Bawang,” pungkasnya. (*)