Untung. Penerbangan ini lebih dari 12 jam. Cocok untuk menulis agak panjang. Bahwa pembaca DI’s Way akan kelelahan…, ya…, Minal Aidin. Kan masih dalam suasana lebaran: mohon maaf lahir batin.
Ini tentang jembatan. Yang menghubungkan surga dan mayapada. Disebut 盘古大观 (Pan Gu Da Guan). Pemandangan yang agung. Keindahan yang tak terpermanai.
Jembatan surga itulah yang dijadikan nama sebuah superblock. Di Beijing. Salah satu tower di ‘jembatan surga’ itu difungsikan untuk hotel. Namanya: Pangu 7 Star Hotel.
Pemilik superblock inilah yang akan jadi pemeran utama. Dalam drama panjang DI’s Way hari ini. Ada kekayaan. Tingkat tinggi. Ada pengkhianatan. Tingkat tinggi. Ada sex. Tingkat tinggi. Ada persekongkolan antar negara. Tingkat tinggi.
Nama konglomerat itu: Guo Wen Gui (郭文贵).
Lawan utamanya: Wang Qishan, Wakil Presiden Tiongkok saat ini. Tangan kanan dan kepercayaan Presiden Xi Jinping.
Partner mainnya: Steve Bannon, penasehat masalah-masalah strategis Donald Trump. Ia anti Tiongkok. Sampai ubun-ubun. Anti Islam. Sampai tulang sumsum.
Lokasi drama ini: New York, Hongkong, Beijing, Shandong, Zhengzhou, Negeri Atas Angin.
Cerita awalnya sebuah kolusi. Antara pengusaha muda ambisius. Dengan pejabat daerah yang rakus. Didukung oleh orang pusat yang haus.
Saat melakukan riset tulisan ini saya merasa beruntung. Terjawab sudah pertanyaan lama saya. Setiap kali saya ke Beijing. Setiap kali lewat dekat stadion Olimpiade 2008. Setiap kali melihat bangunan tinggi berjajar lima dekat arena aquatic. Tidak jauh dari Stadion Bird’s Nest. Yang jadi pusat pembukaan Olimpiade Beijing 2008 itu.
Jajaran lima gedung itu diakhiri dengan satu gedung tinggi. Tingginya 39 lantai. Desain bagian atasnya –menurut saya– konyol. Tidak indah. Tidak unik. Tidak menarik.
Tapi selera saya saja yang mungkin jelek. Bagian atas gedung itu seperti pistol. Atau seperti mainan. Tapi arsiteknya ternyata punya imajinasi yang berbeda.
Bagian atas gedung itu, katanya, mirip obor. Yang akan selalu menyala selama olimpiade berlangsung. Saya sama sekali tidak melihat di mana kemiripannya.
Setiap kali saya melewati jalan di sebelahnya selalu saja saya ngomel: ini pasti selera orang kaya yang asal buang uang.
Ternyata ada imajinasi lain. Kalau lima gedung itu dilihat dari jauh. Jejeran gedung itu bisa dibayangkan seperti kereta api. Gedung obor itu lokomotifnya. Yang mengeluarkan asap dari cerobongnya. Sedang empat gedung yang lebih rendah itu seperti gerbongnya. Yang lagi ditarik oleh lokomotif berasap.
Lihat sendirilah foto-fotonya di bawah ini. Yang saya ambil dari internet.
Tapi jangan remehkan gedung itu. Jangan dengar pendapat saya itu. Perancang gedung ugly ini bukan sembarang arsitek. Ia adalah Li Zuyuan. Arsitek terkemuka Taiwan. Yang merancang gedung One-O-One. Yang unik itu. Yang mengambil desain bambu itu. Gedung tertinggi di Taipei. Yang pernah jadi gedung tertinggi di dunia. Sebelum Burj Al Khalifah lahir di Dubai.
Pemilik ‘kereta api’ itulah Guo Wen Gui. Lakon utama drama ini. Bos besar dari grup konglomerat Zenith Holding. Sang bos sendiri yang memberi nama superblock itu, Ban Gu Da Guan. Satu nama yang populer dalam cerita kuno. Sebagai jembatan antara surga dan bumi.
Keberhasilannya membangun superblock itu berkat kedekatannya dengan Wakil Wali Kota Beijing: Liu Zhihua.
Terbukti. Setelah jembatan surga itu jadi, sang wakil wali kota terlihat. Begitu sering ke situ. Makan di salah satu restorannya. Restoran Jepang. Yang set menu sushi termurahnya Rp 3,5 juta.
Sang wakil wali kota akhirnya terjerat kasus korupsi. Dicopot. Dihukum. Ketahuan pula setiap kali ke jembatan surga itu ia bisa menghabiskan satu menu Rp 10 juta. Mirip dengan makan di Ebeya Steak House, di lantai bawah Ritz-Carlton Pacific Place Jakarta.
Orang seperti Bill Gate juga tinggal di sini. Saat menonton olimpiade dulu. Menghabiskan Rp 12 miliar.
Mantan Menlu Amerika yang legendaris, Henry Kissinger, juga menginap di sini. Pada momentum yang sama.
Hotel 7 Star-nya sendiri tarifnya Rp 5 juta/malam. Tidak terlalu mahal. Dibanding, misalnya, Nihi Sumba di Sumba Barat.
Juga bosnya itu sendiri yang menamakan hotel di jembatan surga itu ‘7 Star’. Ia tidak mau hotelnya dikategorikan bintang 5. Ia ingin disejajarkan dengan hotel bintang 7 di Uni Emirat Arab. Yang dari jauh sangat indah itu. Mirip layarnya perahu layar itu.
Di dunia ini memang tidak ada lembaga perhotelan yang mau memberi ranking bintang 6. Apalagi bintang 7. Ranking tertinggi adalah bintang 5. Hotel terbaik di New York pun, Astoria, juga bintang 5.
Guo ingin serba hebat. Ia namakan sendiri hotelnya ‘7 Star’. Waktu jembatan surga itu diresmikan Guo memang masih berumur 37 tahun. Menyala-menyalanya kehidupan seorang laki-laki sejati.
Guo dan istri.
Salah satu yang membongkar skandal kolusinya itu adalah majalah bisnis Caixin. Milik pengusaha Hu Shuli.
Di Tiongkok kebebasan pers sangat dibatasi. Kalau terkait politik. Tapi sangat-sangat bebas. Kalau masalah bisnis. Majalah Caixin rajanya. Paling sering membongkar skandal kolusi di perusahaan swasta. Caixin sangat ditakuti kalangan pengusaha.
Waktu itu Wang Qishan belum menjadi Wakil Presiden. Masih menjabat ketua KPK-nya Tiongkok. Perkara ini ia tangani dengan tuntas. Tidak peduli dengan rumor menakutkan: Guo dibekingi pejabat tinggi dari pusat.
Bahkan pejabat tinggi itu dibongkar sekalian. Wakil Menteri Keuangan diperiksa. Terbongkar semuanya. Ma Jiang, Wakil Menkeu itu, ditahan. Diadili. Dihukum.
Giliran Wang Qishan mengejar Guo-nya sendiri. Guo ternyata takut. Lari. Ke Timur Tengah. Ke Eropa. Akhirnya ke New York.
Di New York, Guo tinggal di satu apartemen yang ia beli dengan harga sekitar Rp 1 triliun. Istimewa. Menghadap ke Central Park New York yang terkenal itu.
Guo lari dengan membawa beberapa koper kebencian. Benci pada majalah Caixin. Sekaligus kepada bos majalah itu, Hu Shuli. Benci kepada Wang Qishan yang akan menangkapnya. Benci kepada Xi Jinping yang program pemberantasan korupsinya tidak pandang bulu.
Salah satu kepor kebencian itu ia serahkan kepada Steve Bannon. Ia penasehat masalah strategis Presiden Trump. Yang sangat anti Tiongkok. Yang selalu mengusulkan ini: Amerika tidak usah muter-muter, langsung saja runtuhkan pemerintah pusat Tiongkok! (Baca DIs Way: Guo Bannon).
Guo sudah lama mengenal Bannon. Saat menghadiri olimpiade Beijing, Bannon juga tinggal di jembatan surga. Bannon mengaku merinding saat menyaksikan acara pembukaan olimpiade. Emosinya memuncak saat melihat adegan demi adegan di pembukaan itu. Yang ia bayangkan mengandung filsafat ancaman.
Tiongkok akan segera menelan Amerika. Katanya: terbaca dari adegan itu.
Saya juga melihat pembukaan olimpiade itu. Di siaran langsung televisi. Memang dahsyat. Filosofi adegannya sangat dalam. Tentang kejayaan Tiongkok kuno. Yang akan tiba kembali untuk Tiongkok-modern.
Saya dua-tiga kali menonton lagi acara pembukaan itu. Di siaran ulangnya. Memang dahsyat. Tapi imajinasi saya tidak seperti imajinasi Bannon. Saya melihat kebangkitan Tiongkok-modern sebagai keniscayaan. Akibat penderitaannya yang tak tertahankan selama puluhan tahun. Setidaknya selama 70 tahun. Sampai tahun 1985.
Tahun 1966 adalah tipping point bagi Tiongkok. Ketika terjadi revolusi kebudayaan. Wen Hua Da Ge Ming. Ketika kelaparan melanda seluruh negeri.
Setelah lari Guo begitu sering melakukan pertemuan dengan Bannon. Membicarakan bagaimana menumbangkan pemerintah Tiongkok di bawah Xi Jinping. Bagaimana mengakhiri komunisme di negeri itu. Bagaimana Tiongkok tidak jadi ancaman bagi Amerika.
Guo juga menjadi anggota Mar-a-Lago. Sebuah istana mewah milik pribadi Presiden Trump. Di Florida. Yang ada lapangan golfnya. Yang tidak mudah untuk bisa menjadi member-nya.
Mar-a-Lago adalah ‘Gedung Putih’ di musim dingin. Ketika Gedung Putih di Washington bersalju Trump sering tinggal di Mar-a-Lago.
Begitu banyak orang bermimpi bisa ke Mar-a-Lago. Alangkah bangganya kalau sekedar bisa berfoto di sana.
Di Tiongkok ada yang menawarkan tur ke Mar-a-Lago. Tentu tidak bisa masuk. Melihat dari jauh saja. Lumayan. Daripada hanya melihat fotonya.
Ada juga yang bikin penipuan. Menjanjikan bisa membawa orang ke dalam Mar-a-Lago. Asal membayar nilai tertentu.
Tiga bulan lalu itu terjadi beneran. Seorang wanita dari Tiongkok tiba-tiba saja sudah berada di dalam Mar-a-Lago. Berfoto-foto di situ. Paspampres yang di depan kecolongan. Tapi yang di dalam menaruh kecurigaan. Wanita itu ditangkap. Membaca banyak HP.
Awalnya dicurigai sebagai mata-mata. Tapi wanita itu berlagak blo’on. Mengaku sudah bayar mahal untuk kedatangannya itu.
Kamar hotelnya digeledah. Tidak jauh dari Mar-a-Lago. Ditemukan uang USD 8.000. Dan beberapa peralatan elektronik.
Wanita itu kini sedang diadili. Tidak mau pakai pengacara. Juga tidak mau diberi pengacara gratis. Bahasa Inggrisnya bagus tapi sering mengaku tidak paham atas pertanyaan jaksa.
Guo menggunakan satu koper kebenciannya lagi untuk Caixin. Di New York, Guo mendirikan perusahaan media. Namanya: Guo Media.
Mediumnya lengkap: ada di Twitter, YouTube, website, video dan segala macam online. Hanya media cetak yang tidak dibuat.
Di Guo Media banyak dimuat foto-foto Guo dengan Steve Bannon. Menunjukkan betapa erat hubungan dua orang itu.
Semua disediakan dalam dua bahasa; Inggris dan Mandarin. Tapi isinya tidak menarik. Hanya tumpahan kebencian. Kepada musuh-musuh pribadinya. Tidak sebanding dengan Caixin. Yang membawa misi kepentingan umum.
Saya mencoba mengikuti akun Twitter Guo Media. Followernya hanya 5.600. Bandingkan dengan twitter saya: 2,2 juta. Angka itu saya sebut sebagai kenangan bahwa ada kuburan Twitter dengan followers segitu.
Guo menyebut dirinya sebagai ‘peniup peluit’. Whistleblower. Koruptor tapi mau dengan gigih membongkar korupsi yang lebih besar dan lebih tinggi.
Guo juga mengaku ber-KTP Uni Emirat Arab. Yang sampai sekarang tidak ada bantahan dari Emirat. Emirat memang lagi menggalakkan pendatang khusus: orang yang kaya raya. Diberi visa 30 tahun. Setidaknya 20 tahun.
Itu berbalikan arah dengan Inggris. Yang dulu juga mirip-mirip itu. Hasilnya: begitu banyak orang kaya Rusia di London. Sampai-sampai media Inggris menyebut bahwa nama London sudah berganti Londoningrad.
Sejak tahun lalu fasilitas di Inggris itu tidak diberikan lagi. Sampai-sampai bos Rusia ingin menjual Chelsea. Klub sepakbola London yang ia beli dulu. Karena ia kini tidak mudah lagi tinggal di London.
Di Amerika, Guo terus menggunakan kekayaannya. Termasuk untuk mengumpulkan dokumen rahasia. Yang bisa dicuri dari kantor-kantor pemerintah Tiongkok. Ia umumkan terang-terangan. Akan membayar setiap dokumen rahasia yang diserahkan kepadanya.
Ditemukanlah dua anak muda. Yang ia nilai mampu melakukan itu. Dan sudah terbukti mampu mencuri beberapa dokumen rahasia kepolisian.
Akhirnya Guo menggaji dua anak muda itu. Rp 55 juta sebulan. Ditambah biaya operasional pencurian dokumen.
Ketika dokumen-dokumen itu tersiar di Guo Media, Pemerintah Tiongkok bereaksi cepat. Ditemukanlah dua anak muda itu. Ditangkap. Kini sedang diadili di kota Chongqing. Banyak mahasiswa ITCC tahu kota itu. Karena kuliah di situ.
Tentu koper kebencian terbesar ia sediakan untuk Wang Qishan, Wakil Presiden Tiongkok saat ini. Yang kian ia benci: sudah tua kok justru dinaikkan jabatannya. Dari ketua KPK menjadi wakil presiden. Yakni dalam kongres partai komunis tahun lalu.
Segala macam keburukan Wang Qishan ia ungkapkan. Betul atau salah ia tidak peduli. Hantam kromo.
Salah satunya tentang hubungan gelap. Dengan seorang perempuan. Yang sampai melahirkan anak perempuan. Anak gelap itu kini menjadi istri pelukis terkemuka Australia. Dan memberinya dua anak.
Nama perempuan itu Yuge Bromley. Isteri David Bromley. Pelukis dan pematung amat terkemuka. Apalagi kalau sudah melukis perempuan telanjang. Luar biasa. Pelukis itu sudah beberapa kali kawin. Sebelum dengan Yuge.
Yuge Bromley marah dituduh Guo sebagai anak haram.
Yuge sendiri memang perempuan Tionghoa. Tapi membantah keras serangan Guo itu. Kini Yuge lagi mendalami bersama pengacara. Untuk memperkarakan Guo.
Yuge sudah hidup mapan bersama David. Reputasi keluarga ini kian baik setelah membeli hotel bekas penjara di London: Old Castlemaine Gaol. Yang dibangun tahun 1861.
Tapi Guo masih juga membuat tuduhan lain. Wang Qishan ada main dengan Fan Bingbing. Bintang film Hollywood yang sangat cantik itu. (Lihat DI’s Way:Fan Bingbing). Yang setahun penuh hilang dari peredaran. Sejak skandal pajaknya dibongkar. Fan Bingbing dilaporkan suka bikin kontrak dua macam: yang pro forma untuk dilaporkan ke kantor pajak.
Tentu Pemerintah Tiongkok terus mengejar Guo. Secara resmi sudah pula kirim red notice ke interpol. Tapi Pemerintah Amerika tidak mau menyerahkannya.
Pernah suatu kali Tiongkok kirim orang. Secara khusus. Mirip ketika kirim petugas ke Hongkong. Untuk diam-diam menangkap konglomerat hitam yang bersembunyi di Hongkong. Dan berhasil. Dibawa diam-diam ke Tiongkok. Diadili. Dihukum mati.
Petugas yang dikirim ke New York itu sempat berhasil bertemu Guo. Tapi tidak berhasil membawanya pulang.
Menurut sumber Politico, di internal pemerintah Amerika terbelah. Ada kubu yang ingin Guo diserahkan ke Tiongkok. Ada yang menentangnya. Kementerian Kehakiman bertolak belakang dengan Kementerian Luar Negeri. Alasan untuk tidak menyerahkan: kalau Guo diserahkan ke Tiongkok pasti akan dihukum mati.
Menurut Politico, Jaksa Agung Jeff Sessions termasuk yang pro penyerahan. Tapi Jeff ditekan.
Belakangan Jeff ternyata mengundurkan diri juga. Tidak tahan dengan suasana kerja di bawah Trump. Minggu-minggu ini Jeff jadi topik hangat lagi. Laporan lengkapnya tentang penyelidikan atas Trump tidak diserahkan ke DPR. Yang diserahkan hanya ringkasannya. Jaksa Agung yang sekarang berkeras tidak menyerahkannya. Biar pun DPR terus mendesaknya. Sampai-sampai Jaksa Agung dijatuhi vonis telah melakukan contempt of parliament.
Jaksa Agung bergeming. Katanya: ini demi menjaga presiden.
Minggu ini permintaan laporan itu terus menjadi topik. Kali ini DPR mengajukan tuntutan lewat pengadilan. Minta agar pengadilan memerintahkan Jaksa Agung untuk menyerahkannya. Semua lagi menunggu putusan pengadilan. Bocoran yang ada: salah satu bagian laporan itu sangat merugikan posisi Trump.
Awalnya Guo juga dapat dukungan dari sesama pelarian Tiongkok.
Aktivis anti Tiongkok itu mendirikan LSM.
Belakangan anggota LSM itu retak. Semua masih kompak menyerang Tiongkok. Tapi sudah tidak kompak manakala menyangkut peranan Guo.
Guo sendiri mulai bikin musuh. Di Pengadilan New York, Guo menggugat partnernya. Gugatan itu kini lagi disidangkan.
Yang digugat adalah perusahaan detektif swasta. Nama perusahaan itu: Strategic Vision. Pemiliknya: French Wallop. Janda cerai seorang anggota senat tiga periode: Malcom Wallop. Setiap periode, Malcom ganti istri. Ditambah istri sebelum menjadi senator: menjadi empat.
Malcom dari Dapil Wyoming. Yang saya jelajahi tahun lalu. Ia sebenarnya lahir di New York tapi sangat mencintai pedalaman Amerika. Ia meninggal di pedalaman itu. Di umurnya yang 78 tahun. Makamnya di Big Horn, Wyoming. Kota legendaris suku Indian. Yang penduduknya kini hanya 400 orang.
Guo menyewa perusahaan detektif swasta itu dengan satu tujuan: menyelidiki 10 orang musuhnya. Daftar 10 orang itu dirahasiakan dalam kontrak sepanjang lima halaman. Di situ hanya disebut ‘fish’. Ikan besar. Tapi rasanya tidak jauh-jauh amat dengan yang sudah ada di koper-koper kebencian Guo.
Tugas dari Guo adalah mencari data mengenai ikan-ikan besar itu: rekening banknya, wanita gelapnya, video-video pornonya, anak-anak haramnya, dan segala macam sisi buruk si ikan.
Data-data itu sudah harus didapat dalam satu tahun. Nilai kontraknya Rp 140 miliar. Uang mukanya Rp 14 miliar.
Setahun berlalu. Guo marah. Strategic Vision dianggap tidak bisa menyerahkan hasil yang ia inginkan. Bahkan, katanya, tidak bisa masuk ke rekening bank mereka. Padahal menurut Guo, Strategic Vision mengaku punya kemampuan untuk itu. Mengaku sering dipakai para pangeran negara Arab.
Strategic Vision menggugat balik Guo. Di pengadilan distric Selatan New York. Guo dinilai tidak benar. Ketika menyerahkan data-data tentang ‘ikan’ yang disasar. Data komputer yang diserahkannya mengandung software yang mengacau.
Guo juga dinilai berubah terus. Awalnya Guo minta detektif itu mempercayai Kuan Chao Han. Sesama aktivis anti Tiongkok. Belakangan, katanya, Guo bilang jangan percaya orang itu.
Guo memberi nama lain. Yang lebih bisa dipercaya. Tapi lagi-lagi belakangan bilang: jangan percayai orang itu.
Guo juga lagi digugat HNA Group. Konglomerat dari Hainan. Yang antara lain memiliki anak usaha Hainan Airlines. Yang juga membeli banyak perusahaan di Amerika.
Ketika Big Bos HNA meninggal di Prancis tahun lalu, Guo mengungkapkan bahwa Big Bos tersebut sebenarnya bunuh diri. Tidak kuat menanggung utang perusahaan. Guo juga mengungkap kolusi antara HNA dengan pejabat tinggi negara.
Wang Jiang, bos besar itu memang meninggal dengan cara yang tidak biasa. Di umurnya yang masih 56 tahun: kepeleset masuk jurang. Saat berwisata ke salah satu pegunungan di Prancis.
Satu lembaga keuangan di Hongkong juga menggugat Guo: Pacific Alliance Asia Opportunity Fund. Yang pada 2000, Guo ngutang sebesar USD 30 juta. Yang kini sudah menjadi USD 88 juta. Atau hampir Rp 1 triliun.
Dalam peminjaman itu Guo memberikan personal guarantee. Artinya, kalau perusahaan tidak bisa membayar, kekayaan pribadi Guo harus disita.
Guo juga bertengkar di LSM anti Tiongkok itu. Guo menggugat Boies Schiller Flexner. Yang menuduh Guo memberikan sumbangan USD 100 juta kepada capres Hillary Clinton. Juga memberi sumbangan pada Bannon. Saat Bannon berniat maju menjadi capres.
Harta Guo sendiri kini sudah dibekukan. Terutama yang di Tiongkok. Dan yang di Hongkong.
Yang di Beijing tidak usah diselidiki mengapa. Tapi, yang di Hongkong dikaitkan dengan pencucian uang. Yang dilakukan Guo. Sebesar 32 miliar dolar HK.
Dua anak Guo –Guo Mei dan Guo Qiang– menggugat kepolisian Hongkong. Yang membekukan aset ayahnya itu. Tapi polisi bergeming. Gugatan itu sia-sia.
Guo tentu menjadi orang yang paling horeee ketika terjadi perang dagang sekarang ini. Ia dan grupnya memang terus memanas-manasi pemerintah Amerika. Disokong Bannon pula.
Kalau banyak orang menunggu bagaimana akhir perang dagang itu, saya paling menunggu bagaimana akhir drama Guo Wen Gui ini.
Saya pun, setelah menulis panjang ini, rasanya ingin tidak menulis DI’s Way selama seminggu ke depan.
Sayang. Terlanjur janji meneruskan cerita tentang Riau 1.(Dahlan Iskan)