32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:08 PM WIB

Biaya Top Up Tidak Fair, YLPK Bali Minta BI Batalkan

RadarBali.com – Diberlakukannya biaya top up atau pengisian pada uang elektronik oleh Bank Indonesia (BI) dianggap merugikan masyarakat.

Pasalnya, aturan pemungutan biaya pengisian uang elektronik dinilai tidak fair dan menjadi kontra produktif.

Bahkan, peraturan yang akan diberlakukan pada akhir September mendatang dinilai bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society.

Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali I Putu Armaya Armaya mengungkapkan, penggunaan uang elektronik sebenarnya sangat menguntungkan pihak Perbankan ketimbang konsumen.

Di mana dalam pengisian uang elektronik tersebut pihak perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi belum dilakukan konsumen.

“Jadi, tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model uang elektronik itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,” tuturnya.

Padahal, perbankan sudah diuntungkan dari penjualan kartu uang elektronik. Misalnya, dalam satu perbankan mematok biaya Rp 20 ribu untuk pembelian kartunya saja.

“Kalau top up dikenakan biaya berapa keuntungan yang didapat perbankan. Karena uang elektronik ini kan memindahkan uang tunai kita ke dalam kartu,” jelas Armaya.

Dengan kondisi ini, sangat tidak pantas sektor perbankan menggali pendapatan lebih mengandalkan “uang recehan”.

Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputar melalui transaksi pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top.

Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah. “Kami mendesak BI untuk membatalkan peraturan tersebut untuk melindungi konsumen,” tegasnya.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali Causa Iman Karana belum bisa memberi keterangan detail terkait kepastian aturan ini dengan alasan masih disusun BI.

“Saya belum tahu rincian aturannya, nanti kalau  sudah terbit pasti kami info,” paparnya.

RadarBali.com – Diberlakukannya biaya top up atau pengisian pada uang elektronik oleh Bank Indonesia (BI) dianggap merugikan masyarakat.

Pasalnya, aturan pemungutan biaya pengisian uang elektronik dinilai tidak fair dan menjadi kontra produktif.

Bahkan, peraturan yang akan diberlakukan pada akhir September mendatang dinilai bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society.

Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali I Putu Armaya Armaya mengungkapkan, penggunaan uang elektronik sebenarnya sangat menguntungkan pihak Perbankan ketimbang konsumen.

Di mana dalam pengisian uang elektronik tersebut pihak perbankan menerima uang dimuka, sementara transaksi belum dilakukan konsumen.

“Jadi, tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model uang elektronik itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,” tuturnya.

Padahal, perbankan sudah diuntungkan dari penjualan kartu uang elektronik. Misalnya, dalam satu perbankan mematok biaya Rp 20 ribu untuk pembelian kartunya saja.

“Kalau top up dikenakan biaya berapa keuntungan yang didapat perbankan. Karena uang elektronik ini kan memindahkan uang tunai kita ke dalam kartu,” jelas Armaya.

Dengan kondisi ini, sangat tidak pantas sektor perbankan menggali pendapatan lebih mengandalkan “uang recehan”.

Seharusnya keuntungan bank berbasis dari modal uang yang diputar melalui transaksi pinjam meminjam, bukan mencatut transaksi recehan dengan mengenakan biaya top.

Apalagi banyak pengguna e-money dari kalangan menengah bawah. “Kami mendesak BI untuk membatalkan peraturan tersebut untuk melindungi konsumen,” tegasnya.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali Causa Iman Karana belum bisa memberi keterangan detail terkait kepastian aturan ini dengan alasan masih disusun BI.

“Saya belum tahu rincian aturannya, nanti kalau  sudah terbit pasti kami info,” paparnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/