Matinya satwa laut di perairan Jembrana, mengundang pertanyaan banyak pihak. Dalam dua bulan terakhir, sedikitnya 7 ekor penyu mati terdampar.
Terakhir, hiu banteng mati di pantai Sumbersari, Desa Melaya. Meski bukan hewan dilindungi, kematian hiu ini menjadi perhatian Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar.
M.BASIR, Negara
RENCANA BPSPL Denpasar membedah tubuh hiu akhirnya terlaksana, Rabu (12/5) sore yang berlangsung hingga petang atau dua hari setelah hiu ditemukan mati.
Pembedahan atau dalam istilah medis nekropsi ini dilakukan di tanah timbul pinggir pantai, sebelah selatan kolam labuh Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan.
Karena hari sudah gelap, proses pembedahan menggunakan penerangan dengan lampu utama mobil dan senter.
Tepat di sebelah tempat pembedahan hiu, sudah disiapkan lubang untuk mengubur bangkai usai dilakukan operasi.
Lubang digali oleh warga dan satuan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Jembrana. Sekaligus menyiapkan segala proses sebelum dan sesudah dilakukan operasi hiu.
“Kita hanya mempersiapkan kebutuhan selama operasi saja, termasuk pengamanan,” kata koordinator satuan PSDKP Jembrana Albertus Septiono.
Saat dilakukan pembedahan tubuh hiu yang sudah beku itu, bau anyir langsung tercium dari jarak sekitar 5 meter dari lokasi pembedahan.
Pembedahan dilakukan tiga orang dokter hewan dari Kementerian Pertanian Balai Besar Veteriner Denpasar.
Bagian bawah tubuh hiu dibedah dengan pisau tajam lalu satu persatu bagian dalam hiu dikeluarkan untuk diperiksa.
Pemeriksaan difokuskan pada bagian saluran makanan hiu. Mulai dari usus, hati hingga bagian tubuh lain dikeluarkan dan sebagian dipotong kecil lalu dimasukkan ke dalam wadah kecil berbentuk bulat.
Bagian yang dipotong kecil tersebut akan dibawa ke Denpasar untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium. Ada salah satu bagian dalam hiu yang dicurigai sebagai parasit.
Bentuknya panjang, saat ditarik benda berwarna putih pucat itu panjangnya sekitar 50 centimeter. “Mungkin parasit,” kata salah satu dokter lalu memotong sebagian dan dimasukkan ke dalam wadah.
Bagian tubuh hiu yang menarik perhatian adalah sirip. Karena hiu ini kerap diburu hanya diambil bagian siripnya yang memiliki nilai jual sangat tinggi.
Saat proses akhir pembedahan, dua sirip hiu dan ekornya dipotong. Bagian paling berharga dari hiu itu lalu dibawa tim dokter ke Denpasar dengan mobil plat merah.
Sedangkan bagian tubuh hiu yang sudah dibedah dimasukkan ke dalam lubang sekitar 2 meter.
Pembedahan hiu banteng dengan nama latin Carcharhinus leucas ini meski bukan satwa dilindungi menjadi perhatian BPSPL untuk mengetahui secara pasti kematiannya.
Hiu tersebut akan diperiksa dengan membedah saluran pencernaan untuk mencari tahu penyebab matinya, mungkin karena penyakit atau penyebab lain.
Meski dari pemeriksaan bagian luar hiu terdapat luka yang diduga karena “sang petarung” kalah bertarung, harus dibedah untuk memastikan penyebab matinya.
“Seminggu baru bisa ketahui hasilnya,” ujar kata Kepala Seksi Pelestarian dan Pendayagunaan BPSPL Denpasar Mudasir.
Koordinator PSDKP Jembrana Albertus Septiono menambahkan, hiu banteng meski bukan satwa dilindungi sering menjadi target buruan untuk diambil siripnya karena memiliki nilai ekonomi tinggi.
Namun, untuk wilayah Jembrana, perburuan hiu tidak ada. Dilihat dari alat tangkap yang dimiliki, baik pancing maupun jaring.
“Nelayan di Jembrana buruan utamanya lemuru, tongkol dan ikan konsumsi lainnya. Jadi untuk Jembrana tidak ada yang menangkap hiu, tidak ada yang berani,” jelasnya.(*)