DENPASAR – Ada suguhan menarik jelang sepekan perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun ini. Para pengunjung yang memadati panggung Ayodya
disuguhkan musik tradisional hasil kolaborasi dua sanggar seni dari dua negara berbeda yakni Jepang dan Bali (Indonesia).
Yakni sanggar musik tradisional Sanshin Shitamchi, kota Okinawa, Tokyo Jepang dengan sanggar seni Kembang Waru, Denpasar, kemarin.
Dari penampilan kedua sanggar musik tradisi ini membawakan lima lagu milik sanggar Sanshin Shitamchi dengan iringan tabuhan Bali.
Partisipan asal Jepang ini menggunakan alat musik Sanshin, yang merupakan alat musik tradisional Jepang yang dimainkan dengan cara dipetik seperti gitar.
“Total lagu yang dimainkan dalam pementasan ini itu ada 18 lagu. Tapi kolaborasinya dengan kami hanya lima lagu,” tutur Ketut Radhita selaku ketua dan pembina sanggar seni Kembang Waru Denpasar ditemui usai pementasan.
Lima lagu yang diiringi okeh sanggar Kembang Waru ini tersebut berjudul Agaroza, Hamachidori, Tsukinukaisha, Shindensa dan Danjyukariyushi.
Ada tiga alat musik tradisional Bali yang digunakan untuk mengiringi lima lagu tersebut di antaranya gender rambat, semara pengulingan dan rindik.
“Saya sengaja pilihkan beberapa alat musik itu supaya ada warna berbeda, supaya tidak monoton. Ada dua nada slendra dan pelog,” paparnya.
Radhita menjelaskan awal mula terciptanya kolaborasi tersebut. Ketika adanya permintaan salah seorang warga Jepang
yang tinggal di Bali menghubungkan antara dia dan salah seorang ketua sanggar seni tradisi asal Okinawa Jepang untuk bisa berkolaborasi.
Sanggar asal Jepang ini memang memiliki keinginan besar untuk bisa tampil di ajang PKB tahun ini.
Namun, tidak mengetahui agar bisa tampil di PKB karena memang ini menjadi pertunjukan perdana bagi sanggar yang didominasi perempuan tersebut.
“Saya sambut baik niat itu. Merek mencoba mengirimkan file rekaman lagu-lagu mereka. Kami pelajari. Tapi selama proses kolaborasi itu ketua mereka datang sampai dua kali.
Untuk menyamakan persepsi agar bisa menemukan komposisi yang pas. Dan baru bisa latihan secara full personel saat satu hari menjelang pementasan ini,” terangnya.
Diakui selama proses kolaborasi ada tantangan mengingat dasar dari seni tradisi yang lahir dari dua budaya yang berbeda.
Perbedaan yang paling mendasar terlihat dari karakter musiknya, terutama tempo. “Kalau kita di Bali kan cenderung dinamis dan ada cepat juga, kalau mereka kadang monoton, datar gitu. Tapi itu bisa disesuaikan,” jelas dia.
Sementara itu, salah satu perwakilan sanggar asal Okinawa, Hiromi mengaku senang bisa tampil di ajang PKB ini.
Dia pun berharap bisa terlibat lagi ke depannya di perhelatan akbar even kesenian ini. “Kalau nanti diminta lagi (tampil) kami akan sangat senang sekali,” tandasnya.