DENPASAR – Eksepsi atau nota keberatan yang diajukan tim pengacara terdakwa mantan Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali AA Alit Wiraputra alias Alit Ketek, 52, menangkis dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Bali.
mendengarkan eksepsi.
Eksepsi setebal 14 halaman yang dibacakan I Wayan Santoso dan Ali Sadikin itu menyebut setelah membandingkan surat dakwaan JPU dengan hasil penyidikan sebagaimana
tertuang dalam berkas perkara, terdapat bagian-bagian tertentu yang disembunyikan dan dihilangkan JPU dan ada bagian yang ditambahkan JPU.
“Hal ini terlihat dalam dakwaan JPU yang cenderung menekankan terdakwa mengaku sebagai anak angkat Gubernur Bali Mangku Pastika
yang belum jelas buktinya,” tandas I Wayan Santoso di muka majelis hakim yang diketuai IA Nyoman Adnya Dewi, kemarin (24/6).
Lebih lanjut dijelaskan Santoso, seperti yang ada di dalam BAP Putu Pasek Sandoz Prawirotama tertanggal 21 Maret 2019 halaman
22 nomor 45, mengatakan tidak pernah mendengar perkataan bahwa terdakwa mengaku sebagai anak angkat Gubernur Pastika.
Dalam BAP halaman 22 nomor 44 juga dijelaskan Sandoz bahwa surat izin prinsip dari gubernur tidak bisa terbit dalam waktu enam bulan.
“Berdasar uraian tersebut, maka dakwaan JPU masih terlalu prematur (belum waktunya) diajukan ke depan pengadilan,” imbuhnya.
Dalam BAP halaman 37 nomor 74, sejumlah saksi juga menerima uang dari terdakwa. Sandoz menerima total Rp 8,3 miliar, sedangkan saksi Candra Wijaya menerima Rp 4,6 miliar, dan saksi I Made Jayantara menerima Rp 1,1 miliar.
Sedangkan terdakwa hanya menerima Rp 2 miliar. “Yang artinya terdakwa tidak berdiri sendiri dalam menerima dana tersebut, namun dibagi-baikan sesuai peran masing-masing,” beber Santoso.
Karena itu, tim kuasa hukum terdakwa menilai perkara yang menimpa Alit terlalu dipaksakan masuk ke pidana.
“Kalau penipuan, ya masuk ke perdata. Ini terkesan dipaksa ke pidana supaya klien kami ditahan,” imbuh Santoso.
Mereka juga menyebut dakwaan jaksa tidak cermat, tidak didasarkan atas suatu penyidikan sebenarnya.
Menurut penasihat hukum, saksi ahli I Gusti Ketut Ariawan yang menjadi saksi ahli di kepolisian, tidak menjelaskan secara menyeluruh permasalahan yang berlatar dari kesepakatan kerjasama yang memiliki unsur perdata.
Dalam eksepsi tersebut, mereka menuding bukan rahasia lagi banyak oknum penyidik menggunakan peradilan pidana sebagai alat untuk memuaskan
rasa dendam kepada seseorang yang tidak memenuhi keinginannya ataupun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu meski dengan cara “pemaksaan” perkara pidana.
Karenanya mereka memohon pada majelis hakim pimpinan IA Nyoman Adnya Dewi, supaya tidak melanjutkan pemeriksaan atau setidak-tidaknya menunda pemeriksaan perkara pidana atas nama terdakwa.
“Memohonkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan,” tegas Santoso. Sidang akan dilanjutkan Kamis mendatang dengan agenda jawaban dari JPU.