30.2 C
Jakarta
1 Mei 2024, 0:19 AM WIB

Tim Khusus Data Kesenian Langka, Tak Mudah Lakukan Rekonstruksi

SINGARAJA – Sejumlah kesenian di Buleleng yang dianggap langka, mulai diidentifikasi. Sayangnya upaya pendataan itu, bisa dibilang sedikit terlambat.

Sebab sejumlah kesenian kini sudah dipastikan punah, dan tak bisa direkonstruksi lagi. Saat ini tim dari Disbud Buleleng tengah melakukan pendataan ke desa-desa terhadap kesenian yang ada.

Baik itu kesenian yang sudah punah, kesenian sakral, maupun kesenian yang hampir punah. Khusus kesenian-kesenian yang hampir punah, akan digali lebih mendalam sehingga dapat direkonstruksi.

Disbud memilih turun langsung ke desa-desa. Sebab upaya pendataan seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya, kurang efektif.

Terdapat perbedaan persepsi antara petugas teknis dengan masyarakat, sehingga pendataan pada tahun-tahun sebelumnya tidak akurat.

“Kalau dulu-dulu kami kan sebar blangko ke kecamatan. Kemudian diteruskan ke desa, dan diisi. Setelah dicek ternyata banyak penafsiran yang berbeda.

Pernah kami temukan di sebuah kecamatan itu ada blangko yang menyebutkan ada 20 barung gong gede. Setelah kami cek, ternyata barungan gong kebyar.

Memang masyarakat disana menyebutnya gong gede. Makanya ini kan ada perbedaan persepsi,” kata Kabid Kesenian Dinas Kebudayaan Buleleng Wayan Sujana.

Dari hasil identifikasi sementara, ada beberapa kesenian yang sudah mulai langka dan jarang ditarikan. Salah satunya Gambuh Depeha.

Kesenian ini tergolong sakral. Dulunya hanya dipentaskan di pura desa atau di sanggah saat ada krama yang naur sangi.

“Sekarang sudah tidak pernah pentas lagi. Orang yang menarikan itu juga tinggal hitungan jari. Sudah lingsir,” ujarnya.

Selain itu ada pula kesenian yang sudah punah dan tak bisa direkonstruksi lagi. Kesenian yang punah itu adalah Sang Hyang Bojog di Desa Gitgit dan Sang Hyang Lesung di Desa Pancasari.

Keduanya merupakan kesenian sakral. Pemerintah sempat berusaha melakukan rekonstruksi, namun sumber-sumber primer tak dapat ditemukan.

Sang Hyang Bojog misalnya. Kesenian ini disebut bisa membuat orang yang dirasuki Sang Hyang, dapat memanjat pohon tanpa kesulitan. Bahkan bisa melompat dari dahan satu ke dahan yang lain. Gerakannya seperti bojog.

“Kami pernah lakukan pra rekonstruksi, tapi gagal. Sebab salah satu persyaratan itu harus menyucikan diri di sumber air yang terdiri dari sebelas kelebutan. Mungkin karena itu, jadi tidak bisa merasuk,” jelas Sujana.

Sementara untuk kesenian Sang Hyang Lesung, pelakunya sudah meninggal. Saat ini sumber yang bisa ditemui, hanya seorang penglingsir yang sempat menyaksikan kesenian itu.

Sayangnya penglingsir dimaksud, hanya menontonnya saat masih anak-anak. “Katanya kalau sudah merasuk, lesung itu bisa bergeser hanya dengan ditarik benang tridatu.

Itu ada syair kidungnya. Syair ini yang tidak bisa kami temukan, termasuk kidungnya seperti apa juga tidak kami temukan,” imbuhnya.

Nantinya kesenian-kesenian yang sudah punah, akan tetap didata. Pemerintah akan berupaya mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan,

bahwa kesenian itu sempat ada di Buleleng. Sementara kesenian lain, akan didokumentasikan dalam bentuk foto dan video. 

SINGARAJA – Sejumlah kesenian di Buleleng yang dianggap langka, mulai diidentifikasi. Sayangnya upaya pendataan itu, bisa dibilang sedikit terlambat.

Sebab sejumlah kesenian kini sudah dipastikan punah, dan tak bisa direkonstruksi lagi. Saat ini tim dari Disbud Buleleng tengah melakukan pendataan ke desa-desa terhadap kesenian yang ada.

Baik itu kesenian yang sudah punah, kesenian sakral, maupun kesenian yang hampir punah. Khusus kesenian-kesenian yang hampir punah, akan digali lebih mendalam sehingga dapat direkonstruksi.

Disbud memilih turun langsung ke desa-desa. Sebab upaya pendataan seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya, kurang efektif.

Terdapat perbedaan persepsi antara petugas teknis dengan masyarakat, sehingga pendataan pada tahun-tahun sebelumnya tidak akurat.

“Kalau dulu-dulu kami kan sebar blangko ke kecamatan. Kemudian diteruskan ke desa, dan diisi. Setelah dicek ternyata banyak penafsiran yang berbeda.

Pernah kami temukan di sebuah kecamatan itu ada blangko yang menyebutkan ada 20 barung gong gede. Setelah kami cek, ternyata barungan gong kebyar.

Memang masyarakat disana menyebutnya gong gede. Makanya ini kan ada perbedaan persepsi,” kata Kabid Kesenian Dinas Kebudayaan Buleleng Wayan Sujana.

Dari hasil identifikasi sementara, ada beberapa kesenian yang sudah mulai langka dan jarang ditarikan. Salah satunya Gambuh Depeha.

Kesenian ini tergolong sakral. Dulunya hanya dipentaskan di pura desa atau di sanggah saat ada krama yang naur sangi.

“Sekarang sudah tidak pernah pentas lagi. Orang yang menarikan itu juga tinggal hitungan jari. Sudah lingsir,” ujarnya.

Selain itu ada pula kesenian yang sudah punah dan tak bisa direkonstruksi lagi. Kesenian yang punah itu adalah Sang Hyang Bojog di Desa Gitgit dan Sang Hyang Lesung di Desa Pancasari.

Keduanya merupakan kesenian sakral. Pemerintah sempat berusaha melakukan rekonstruksi, namun sumber-sumber primer tak dapat ditemukan.

Sang Hyang Bojog misalnya. Kesenian ini disebut bisa membuat orang yang dirasuki Sang Hyang, dapat memanjat pohon tanpa kesulitan. Bahkan bisa melompat dari dahan satu ke dahan yang lain. Gerakannya seperti bojog.

“Kami pernah lakukan pra rekonstruksi, tapi gagal. Sebab salah satu persyaratan itu harus menyucikan diri di sumber air yang terdiri dari sebelas kelebutan. Mungkin karena itu, jadi tidak bisa merasuk,” jelas Sujana.

Sementara untuk kesenian Sang Hyang Lesung, pelakunya sudah meninggal. Saat ini sumber yang bisa ditemui, hanya seorang penglingsir yang sempat menyaksikan kesenian itu.

Sayangnya penglingsir dimaksud, hanya menontonnya saat masih anak-anak. “Katanya kalau sudah merasuk, lesung itu bisa bergeser hanya dengan ditarik benang tridatu.

Itu ada syair kidungnya. Syair ini yang tidak bisa kami temukan, termasuk kidungnya seperti apa juga tidak kami temukan,” imbuhnya.

Nantinya kesenian-kesenian yang sudah punah, akan tetap didata. Pemerintah akan berupaya mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan,

bahwa kesenian itu sempat ada di Buleleng. Sementara kesenian lain, akan didokumentasikan dalam bentuk foto dan video. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/